Putaran Roda Kerja

04.34 / Diposting oleh Phyrman /

Kalo kita tanya pada semua orang, perlukah jabatan presiden dibatasi hanya 2 periode saja, saya yakin akan muncul yang hampir seragam yaitu perlu. Dan setelah itu akan muncul beragam alasan yang mendukungnya. Misalnya
1. Untuk menghindari munculnya rezim dictator
2. Agar terjadi regenerasi kepemimpinan
3. Guna menyeimbangkan pembagian rejeki antara kroni dan oposisi
4. Biar orangnya gak itu-itu saja alias lo lagi lo lagi
5. dan lain sebagainya

Intinya hampir semua orang setuju, bahwa pembatasan masa kepemimpinan seseorang itu perlu bahkan sangat perlu. Trus kalo muncul pertanyaan, bagaimana jika kinerja sang presiden itu bagus, tidak korup, dan menyejahterakan rakyat? Perlukah kita mengamandemen UUD yang berlaku, tentu jawabanya berbeda, ada yang pro dan ada yang kontra. Tapi saya yakin secara akademis, mayoritas pengamat akan mengatakan, terlalu beresiko, kalo setiap kepemimpinan terjadi amandemen UUD, apalagi pemimpin yang tidak korup kan muncul tidak setiap periode, jadi secara matematis akan lebih banyak pemimpin korup dibanding yang gak korup. So, lebih baik biarkan saja ada UU pembatasan masa jabatan.

Bagaimana kalo didunia dunia kerja, perlukah terjadi pembatasan kepemimpinan seperti halnya presiden disebuah negara. Nah disini saya yakin jawaban bisa berbalik 180 derajat. Sebagian karyawan dan konsultan perusahaan mungkin akan menolaknya. Pihak yang menolak akan mengatakan bahwa dunia kerja adalah dunia professional sejati, murni berdasarkan kinerja, kemampuan individu karyawan, output pada perusahaan, absensi, manajerial dll, intinya dunia kerja tidak sama dengan dunia politik. Dunia kerja adalah DUNIA PROFESIONAL. Titik.

Secara teori mungkin benar, sepanjang pengetahuan saya tidak ada buku yang mengajarkan karyawan untuk berpolitik dalam pekerjaan, semuanya mengarahkan karyawan agar bekerja sebaik mungkin bagi perusahaan.

Tapi apakah anda setuju dengan pendapat saya, bahwa terkadang dalam dunia kerja pun terjadi intrik-intrik politik antar kubu. Mungkin dalam hati anda mengakui, walaupun tidak mungkin anda mengatakan bahwa anda berniat berpolitik dalam pekerjaan. Anda pasti akan tetap mengatakan bahwa anda adalah professional sejati, bukan politikus kerja.

Saya jadi teringat cerita saudara saya, yang kebetulan bekerja sebagai PNS disebuah departemen pemerintahan, sekitar 2 KM dari kantor saya di Sency, menurutnya dikantor tersebut sebagian karyawan terbelah dalam dua kubu besar, yang masing-masing kubu dikelola oleh alumni sebuah universitas negeri dikota Y versus universitas negeri dikota B. Kalo kebetulan secara politis yang diangkat pak menteri sebagai pimpinan adalah alumni dari universits Y, maka yang kan memegang jabatan strategis adalah rekan-rekan se-alumninya, demikian juga sebaliknya.

Trus bagaimana dengan karyawan lain yang bukan alumni dari kedua universitas tersebut, atau yang alumni tapi tidak berkubu? Sebagaian ikut bergabung pada salahsatu kubu, sebagian lagi menjadi oportunis bagi kedua kubu alias kutu loncat sana-sini dan sebagian lainnya tetap komitmen pada pekerjaan, siapapun pemimpinnya. Dan sebenarnya orang-orang yang berdedikasi tinggi tersebut lumayan banyak jumlahnya, walau tak kentara. Mungkin seperti golput, walau mayoritas jumlahnya, tapi tidak kelihatan wujudnya, karena tidak ada organisasinya. Kalo dalam putaran sebuah roda kerja, mereka lebih sering berada di bagian “ban dalam” sebuah roda, tidak tampak dari luar tapi ada. Padahal posisinya amat menentukan kenyamanan sang pengendara, coba anda bayangkan naik kendaraan dengan “ban dalam” yang minim angin atau bocor, pasti tidak nyaman bukan.

Tapi Tuhan tidak tidur,kata saudara saya yang kebetulan lebih memilih bersikap netral dan apa adanya itu. Setiap pergantian pemimpin, maka akan terjadi banyak orang yang terlempar dari lingkaran kekuasaannya tersebut. Kalo diibaratkan kekuasaan adalah sebuah “as roda”, maka posisi karyawan pada transisi kekuasaan sangat beragam. Ada yang terlempar dari pelek roda tapi masih nyantol di bagian “ban dalam”, ada yang terlempar agak jauh di bagian “ban luar” yang terinjak-injak dan terintimidasi, bahkan ada juga yang terlempar keluar dari lingkaran roda alias mutasi, pensiun dini atau mengundurkan diri. Ibarat menerjang tembok karet, semakit kuat menekan akan semakin jauh terlempar.

Mungkin anda akan berkomentar, wajar dong hal itu terjadi pada institusi pemerintahan, wong sistem kerjanya aja amburadul dan tidak professional. Jangan samakan dengan perusahaan swasta, pasti beda manajemennya, kalo menteri kan diangkat secara politis jadi wajar departemennya pun banyak “politisi kerja”, kalo swasta kan professional.

Tapi yakinkah anda bahwa perusahaan swasta pun 100% professional, saya kok tidak yakin yaa. Karena pemegang saham pasti punya kepentingan terhadap perusahaannya, dan dia akan memberikan jabatan strategis bagi pemimpin terbaik yang dipercayainya. Dan pemimpin tersebut pasti akan mengangkat manajer yang berada dikubunya, trus berlanjut seterusnya sampai level terbawah.

Nah, apakah anda yakin bahwa pengangkatan karyawan tersebut berdasar penilaian kinerja, kalo jawabannya iya, berarti pemimpin tersebut sangat professional dan cerdas.
Karakter ini akan melebur dinding perseteruan antar kubu dan mengubahnya menjadi persaingan antar individu yang fair play. Siapa hebat, dia yang akan dapat penghargaan.

Tapi ternyata tidak semua pemimpin punya kemampuan sehebat itu, sebagian lagi lebih memilih pendekatan personal terhadap orang-orang dekatnya, yang penting dia loyal, maka akan diberinya kenyamanan. Pada momen inilah akan muncul “politikus kerja”, yang tebar pesona sana sini, yang bergaya sok paling jago teknologi, dan kalo perlu dikit2 sikut kawan kanan kiri. Jika sang pemimpin tidak sadar akan hal ini dan terjebak pada bibir manis orang terdekatnya, maka kejatuhannya tinggal menunggu waktu. Kalo sang pemimpin jatuh, maka akan banyak korban pada lingkungan dekatnya. Dan roda kekuasaan pun kembali berputar.

Dunia bisnis memang tipis batasnya dengan dunia politis, di banyak perusahaan ternyata banyak pemimpin swasta yang terpaksa naik/turun karena alasan politis, misalnya dia sudah terlanjur dekat dengan parpol tertentu, sedangkan sang owner lebih condong partai yang lain. Ya maaf aja, ini dunia kerja, bukan ajang politik. Saya tidak berani membahasnya, takut ada yang mempolitisir hehehe…

Saya langsung teringat omongan kawan, yang kebetulan dapat nasihat bagus dari temannya yang “tidak bertuhan”, katanya, bekerjalah dengan hati, berdedikasi tinggi, mengembangkan kemampuan diri, dan membangun relasi. Sedangkan gaji hanyalah bagian kecil dari rejeki yang penuh misteri. Benar juga, kata orang-orang tua, rejeki itu sudah ada yang mengatur kok, kita hanya tinggal menjalaninya aja. Tapi mungkin teman kawanku itu lupa bahwa ada Yang Maha Pengatur dan Maha Misteri.

Dalam sebuah obrolan ringan, seorang kawan yang lain mengajak untuk bergabung dengan salahsatu "partai", katanya hanya dengan cara inilah kita bisa dapat adjusment gaji dalam waktu singkat, karena kalo hanya nunggu appraisal, kapan kita bisa kaya… upss, saya langsung bingung, kok dikantor ada yang kayak gitu yaa, perasaan selama ini baek2 aja dech, atau jangan2 gw yang gak gaul yaa? hehehe…

Ah, sementara ini aku jadi “ban dalam” saja dech…

Celesta, 18 April 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar