Agama dan Keikhlasan

01.28 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Agama adalah sebuah keyakinan pribadi manusia
Sebuah pilihan jalan yang mengarahkan manusia kemana akan meniti tujuan spritualnya.
Sesuatu yang secara materi, jika manusia tak memilih pun tidak ada dampak sosialnya
Laa ikrohaa fiddiin, tidak ada paksaan dalam (memilih) agama

Agama kemudian berkembang menjadi jalan hidup, aturan sosial, hukum bermasyarakat, hingga landasan sebuah Negara.
Tak ada yang bisa menghentikan perkembangan agama, karena itu adalah pilihan manusia sendiri untuk membesarkannya.
Tuhan sebagai tujuan akhir seseorang beragama, selalu menjadi pemersatunya.
DIA yang menjadi pencipta manusia dan alam semesta, diagungkan dalam setiap upacara ritual.

Pengagungan akan kebesaran Tuhan yang sebelumnya bersifat pribadi dari hati manusia, kemudian di”lembaga”kan.
Lalu muncullah apa yang disebut identitas agama, yang oleh manusia diperlihatkan dengan pakaian agamis, status kependudukan, lembaga agama, partai politik berbasis agama, dan seterusnya.
Identitas diri ini kemudian menjelma menjadi egoisme kelompok, golongan, komunitas, yang berhitung dalam pikiran materi.
Kemenangan agama dihitung dari data statistik, ada penganut mayoritas dan minoritas.

Yang mayoritas berpikir bahwa hegemoni statistiknya harus dipertahankan jumlahnya.
Maka dia hanya mengusahakan mempertahankan jumlah komunitasnya, kalau perlu menambahnya.
Yang minoritas berpikir untuk mengembangkan jumlahnya.
Maka disusunlah strategi masuk ke area yang belum terjamah, demi membesarkan komunitasnya.

Tak jarang gesekan sering terjadi dan berujung pada kekerasan fisik dan mental.

Kekerasan fisik terjadi dengan pemaksaan, pemukulan atau benturan kekuatan antar penganut.
Kekerasan mental dilakukan dengan cara yang terselubung; larangan beribadah, penghilangan tempat ibadah, intimidasi sosial, dan sebagainya.
Yang kelebihan kekuatan fisik mengintimidasi yang lebih lemah.
Dan yang kelebihan ekonomi mengintimidasi yang lebih miskin.

Dan semua nya hanya diniatkan demi “membesarkan” lembaga agama nya.

Di sebuah komplek perumahan, pembangunan tempat ibadah yang sudah direncanakan terpaksa ditunda karena ada penolakan dari seorang warga yang berbeda agama.
Dia menolak karena takut anaknya kelak akan terpengaruh ajaran agama lain.
Di sebuah kampung, beberapa warga menolak tetangga nya menggelar ibadah.
Alasannya pun sama, dia takut lingkungannya akan terpengaruh untuk diajak masuk agama lain.

Sesederhana itukah pikiran manusia?

Yang mayoritas takut kelak akan menjadi minoritas.
Yang minoritas takut kelak akan menjadi lebih minoritas.

Ketakutan menjadi minoritas membuat manusia lebih berpikir untuk menghambat laju perkembangan agama lain, daripada menjalankan agamanya sendiri.
Energinya habis untuk mengutuk, mencerca, dan menghalangi orang lain berkembang.
Bukan mengoptimalkan usahanya dalam mengembangkan diri sendiri.
Agama kemudian menjadi kontra produktif.

Disebuah wilayah yang terjadi friksi antar penganut agama, hampir dipastikan perkembangan pembangunannya menjadi tertinggal.
Disebuah perusahaan yang muncul intimidasi antar penganut agama, hampir dipastikan peningkatan usahanya akan stagnan dan melemah.

Mayoritas di wilayah A, bisa jadi menjadi minoritas di wilayah B.
Akhirnya kalau sentiment agama nya tinggi, maka mereka akan saling berbaku intimidasi.

Sambil tersenyum seorang kawan atheis berkata lembut, “jika agama hanya melahirkan konflik, untuk apa beragama? Bukankah manusia akan lebih ikhlas beramal, jika tidak memikirkan agama apakah yang dimiliki orang yang akan ditolong.”

Sebuah pertanyaan kritis untuk direnungkan oleh sesama manusia yang masih percaya Tuhan.

Nabi mengajarkan agar kita mengormati tamu, bahwa orang berbeda keyakinan yang ada disekitar kita dan tidak mengganggu (agama) kita adalah tamu. Maka lindungilah mereka seperti kita melindungi saudara-saudara seagama. Perlakukanlah mereka seperti kita memperlakukan saudara-saudara sendiri.

Jika kita merasa butuh beribadah, maka biarkanlah mereka beribadah, sama seperti saat kita rindu untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Itu adalah wujud toleransi yang paling sederhana.

Ada sebuah kisah dalam kitab suci, tentang seorang pelacur yang diangkat derajatnya masuk surga, karena dia ikhlas memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan. Dan karena tindakannya itu, sang pelacur menghembuskan nafas terakhirnya. Demi melihat keikhlasannya maka Tuhan pun mengampuni segala dosanya.

Pelacur adalah gambaran manusia pendosa, yang dianggap berada diluar lingkaran lembaga agama, dia selalu dihujat dan dianggap perusak moral.
Seteguk air adalah harta tertinggi yang dimiliki sang pelacur, karena itulah yang akan menentukan hidup matinya.
Sedangkan anjing adalah gambaran binatang yang dianggap najis dan kotor.

Keikhlasan paling tulus adalah memberi yang terbaik yang kita miliki, kepada makhluk yang kita pandang paling rendah, dan itu adalah sebuah wujud toleransi yang paling tinggi.

Ya, jalan termudah untuk masuk surga dan damai disisiNYA adalah ikhlas.
Ikhlas bersifat personal bukan lembaga, karena berasal dari hati bukan organisasi.
Ikhlas adalah representasi langkah manusia, karena ia adalah niat.
Dan penghuni surga bukanlah berdasarka data statistik pemeluk agama, tapi nilai tertinggi keikhlasan

Jadi bisakah kita sesama manusia yang masih percaya Tuhan ikhlas bertoleransi hidup berdampingan?

Celesta, 9 Oktober 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

SAMBUTAN

01.14 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Treeva, bidadari kecilku protes “Pa, kenapa sih sekarang gak pernah mau menyambutku didepan pintu sepulang sekolah? Dulu pas aku masih TK, papa selalu melakukannya, tapi setelah SD kok gak pernah lagi”. Sejenak aku tertegun mendengar protesnya, sepenting itukah nilai sebuah sambutan didepan pintu. Bukankah yang terpenting adalah aku ada dan menemaninya dirumah, tanpa harus ada “upacara” kecil seperti itu.

Dan saat dikemudian hari, kucoba untuk menjalankan upacara penyambutan kecil didepan pintu, memang muncul ekspresi wajah yang jauh lebih ceria, ada aura kebahagiaan, seolah dengan aku menjemputnya didepan pintu adalah wujud penghargaanku kepadanya. Padahal ada sambutan atau tidak, aku pasti akan selalu menyayanginya… (ya iyalah hehehe).

Sambutan ternyata bersifat kodrati. Bahkan semakin dewasa manusia, kebutuhan akan penghargaan semakin tinggi. Lebih variatif, unik dan terkadang irasionil. Diberbagai bidang kehidupan kita temui beragam sambutan. Di bandara, saat seorang menteri turun dari pesawat dalam rangka kunjungan ke daerah, maka kalungan bunga dan tari-tarian tradisional akan digelar, walau hanya berdurasi beberapa menit saja. Meski itu bukanlah tujuan dari kunjungan tersebut, tapi dari ekspresi wajah sang menteri tampak muncul rasa kebanggaan bahwa dia dikenal dan dihargai oleh penduduk lokal, kendati tidak dikenalnya.

Demi “merebut” hati pejabat pemerintah pusat, seringkali pegawai pemda menyambut dengan acara yang wah dan mahal, sedangkan inti acara kunjungan sendiri terkadang hanya berupa dialog pak menteri dengan petani atau nelayan, yang digelar ditengah sawah dengan cara sederhana, disertai janji memberi bantuan. Ini menjadi antiklimaks, karena terkadang “harga” sambutan lebih mahal dibanding dengan nominal yang diterima petani dan nelayan setelah “dipotong” aparat pemda.

Saya pernah menemukan sebuah kasus sambutan yang agak unik dan terkesan dipaksakan. Beberapa tahun silam, saya ikut kunjungan presiden ke Sumatera Utara, tujuannya adalah ke Danau Toba, yang menempuh waktu beberapa jam dari kota Medan. Sambutan masyarakat sangat luar biasa, disepanjang jalan kota Medan, masyarakat berjejer dipinggir jalan untuk menyaksikan iring-iringan mobil pejabat yang “mengular” hingga sepanjang hampir 1 KM. Kalo itu masyarakat umum, saya masih percaya bahwa itu berasal dari “hasrat” masyarakat sendiri untuk melihat presidennya. Tapi jelang bergerak ke luar kota, hampir di sepanjang jalan, ratusan bahkan mungkin ribuan murid SD berjejer rapi dengan berseragam merah putih dan pramuka berbaris mengibarkan bendera plastik kecil. Dan dari pengamatan saya, sepertinya mereka sudah berdiri berjam-jam disitu dan dilakukan pada jam sekolah, yang artinya sekolah meliburkan proses belajar mengajar pada hari itu, dan menggiring murid-muridnya yang masih kecil untuk berdiri di pinggir jalan selama berjam-jam.

Sepenting itukah sebuah upacara sambutan, sehingga harus mengorbankan proses belajar mengajar di sekolah. Jika para murid tidak menyambut, apakah acara kunjungan akan gagal. Saya pikir tidak ada hubungannya sama sekali.

Kasus lain adalah sambutan terhadap anggota DPR RI periode terbaru. Demi menghargai calon wakil rakyat tersebut, pemerintah harus mengeluarkan duit rakyat sekitar 46 milyar untuk sebuah upacara pelantikan. Esensi dari upacara itu hanyalah pemberian surat keputusan tentang pengangkatan sebagai anggota DPR RI, agar mereka bisa segera bertugas. Kalo hanya serah terima surat SK, sebenarnya hal itu bisa dilakukan dengan cara yang sederhana tanpa menghamburkan banyak uang, wong rakyat yang diwakilinya aja masih banyak yang miskin kok. Tapi mungkin itulah watak bangsa kita yang narsis, semua hal kecil harus diselenggarakan dengan cara yang mewah dan megah, dan mengorbankan orang lain. Coba kalo biaya pelantikan ditanggung renteng oleh anggota DPR yang dilantik, saya yakin mereka akan teriak dan menuntut pelantikan yang sederhana, atau kalo perlu tidak ada pelantikan dan SK cukup dikirim via pos hehehe…

Sebagai tuan rumah kita memang wajib menyambut tamu dengan layak, tapi juga harus tetap memperhitungkan kondisi ekonomi, sama seperti aparat Pemda, mennyambut pejabat yang datang berkunjung memang wajar, asalkan tidak terus menghabiskan dana APBD yang seharusnya dialokasikan ke bidang lain.

Pun sebagai tamu, sangat manusiawi jika mengharap mendapat sambutan dari tuan rumah, asalkan tidak menuntut untuk disambut dengan mewah, standar-standar saja, jangan sampai si tuan rumah menggerutu dan mendoakan kita untuk tidak datang lagi karena merepotkan.

Dan yang paling parah adalah tuan rumah yang berlagak jadi tamu, sehingga menuntut untuk mendapat sambutan di setiap kegiatan. Pejabat Negara sejatinya adalah tuan rumah di negeri sendiri, jadi seharusnya dia memposisikan dirinya bukan sebagai tamu. Alangkah besar uang negara yang akan dihemat, jika setiap pejabat yang berkunjung cukup disambut oleh aparat lokal dengan salaman erat dan pelukan mesra, tanpa upacara yang megah dan mewah.

Celesta, 13 Oktober 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label: