Mobil Baru Lagi, Nge-les Lagiii…

12.04 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Pejabat negeri kita emang paling jago kalo suruh nge-les, bukan nge-les dalam arti positif mengajarkan ilmunya pada orang lain; les inggris, les sempoa atau les piano. Tapi nge-les dalam arti negative yaitu mencari jawaban-jawaban yang gak nyambung, terkesan dipaksakan, dan membodohi rakyatnya…

Coba kita baca respon para pejabat usai mendapat mobil dinas baru Toyota Crown Royal Saloon 3.000 cc, seharga 1,3 M.

Mensesneg Sudi Silalahi:
"Usia pakai kendaraan selama lima tahun sudah menunjukkan ketidakefektifan lagi. Digunakan Camry, kita sering kali masuk bengkel.”

Ketua DPR RI Marzuki Ali :
”Rasanya masih bagus mobil Mercy saya kok”.
"Ya mobil negara dikasih, harus pakai, ya gimana lagi. Barang sudah dibeli gimana menolak, tadinya memang tidak mau pakai.”

Menkoperek Hatta Radjasa:
"Mobilnya lebih kecil dari yang dulu, dalamnya kita lihat tuh lebih sempit".

Hehehe, tapi jangan pada ngiri yaa…
Kita lihat bagaimana kehebatan mobil ini

Toyota Crown Royal Saloon ini sekelas dengan BMW Seri 5 (530), Mercedes E-Class, dan Audi A6 (dari Jerman). Di Jepang, kompetitornya adalah Honda Legend dan Nissan Fuga. Royal Crown 2009 adalah sedan mewah canggih dan terlengkap di kelasnya. Di Jepang, mobil ini ditawarkan dengan dua versi mesin, yaitu V6, 2,5 liter dan V6, 3,0 liter. Crown buat para menteri adalah versi yang terakhir.

Di negara asalnya, mobil ini dilengkapi dengan sistem navigasi satelit 3D yang dikendalikan oleh G-BOOK. Fitur khas ini hanya dimiliki Crown.Dengan fitur tersebut, peredaman suspensi bekerja secara otomatis sesuai dengan kondisi permukaan jalan. Misalnya, jika ada lubang atau jalan bergelombang, maka peredam suspensi akan berubah. Begitu juga ketika membelok. Pengemudi tak perlu repot menekan tombol. Inilah kehebatan teknologi yang disebut Toyota dengan VDIM atau Vehicle Dynamics Integrated Management.

Bahkan, perpindahan gigi bisa diatur sendiri. Komputer mobil akan mengaktifkan efek pengereman mesin ketika mendekati gerbang tol. Radar yang digunakannya sangat presisi dan bisa mengukur sampai ke tingkat milimeter. Konsumsi bahan bakarnya, diklaim Toyota, mencapai 11,8 km/liter.

Di Jepang, mobil ini juga dilengkapi night vision system yang mendeteksi pejalan kaki melalui kamera inframerah jarak dekat. Tambahan lain adalah intelligent parking assist system untuk membantu pengemudi agar mudah parkir dengan berbagai posisi.

Wow, fantastis bukan?

Saya yakin jika saya atau anda ditawarin mobil sehebat ini, pasti akan lebih memilih mengumpulkan 1001 kalimat nge-les daripada menolaknya. Tak usahlah terlalu idealis dengan mendengarkan teriakan iri hati dari para rakyat kecil, yang mengatakan ini pemborosan, tidak sensitif terhadap warga miskin, bentuk kesombongan pejabat atau apapun kata cercaan iri hati lainnya. pokoknya the show must go on.

Makanya mulai sekarang cobalah setiap hari mencatat di diari atau note anda, jawaban-jawaban nge-les yang layak dan logis untuk dilontarkan.

Siapa tahu periode 5 atau 10 tahun berikutnya, bapak presiden yang baru akan khilaf, sehingga memilih saya atau anda menjadi menteri di kabinetnya…

Siapa tahu saya atau anda beruntung? Hehehe…

Sency, 29 Desember 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Mbak Luna dan Arogansi Profesi

05.20 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Sengketa kecil antara Luna Maya (artis, pesinetron, penyanyi dan MC) dengan pekerja infotainmen memasuki babak yang penuh opini. Sebagian masyarakat yang pro infotainmen “merasa” adalah sungguh tidak tahu diri jika seorang artis yang (notebene) dibesarkan oleh industri infotainmen lewat kucuran keringat para pekerja nya, tiba2 menghujat orang yang telah mengangkat namanya, dari bukan siapa2 menjadi artis tenar termahal di negeri ini. Kendati sebenarnya “klaim” tersebut juga berjalan sepihak, karena sang artis pun merasa kesuksesannya karena telenta dan kerja keras, bukan hasil ”pemberian” dari pekerja infotainment.

Yang pro mbak Luna tentunya sepakat, bahwa sebagai manusia memiliki hak individu yang namanya ”privacy” dan ini dilindungi oleh UU tertinggi manusia yaitu Hak Azasi Manusia (HAM), dimana tidak seorang pun atas nama profesi apapun berhak untuk mengganggu kenyamanan hidup orang lain. Jadi kalo seseorang merasa terganggu dengan kehadiran orang lain yang ”memaksa” dia untuk membuka kisah pribadinya, hal itu bisa masuk pada pasal pidana. Namun seringkali pekerja media membenturkan dengan (sedikit menyeleweng tafsiran) UU pers, bahwa seseorang tidak boleh menghalangi wartawan untuk mendapatkan informasi. Nah lho?

Menghadapi ”update status” Mbak Luna di twitter nya yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik para pekerja infotainmen, saya langsung bertanya-tanya, benarkah itu sebuah penghinaan? Trus kenapa seseorang harus merasa terhina padahal dalam tulisan itu tidak menyebut sebuah institusi atau pribadi seseorang. Atas dasar apa seseorang berhak merasa menjadi ”korban” pencemaran nama baik. Apakah jika saya mengatakan ”para pejabat memang koruptor dan penjahat” lalu semua orang pejabat pemerintahan dari tingkat pusat hingga kelurahan berhak melaporkan saya ke pengadilan terkait pasal pencemaran nama baik. Jika itu terjadi maka semua demonstran yang biasa kritis, bisa2 langsung masuk bui hehehe...

Saya teringat cerita seorang kawan wartawan televisi yang ditugaskan mewawancarai seorang tokoh reformasi yang terkenal kritis dan tajam. Saat bertemu di kantornya, sang narasumber berkata ”kamu dari TV mana?” lalu kawan saya menunjukkan logo mic, dan spontan si narasumber berkata ”Kamu tahu gak, saya dulu sangat mengagumi berita2 di TV mu yang ikut menentukan sejarah suksesnya gerakan reformasi 1998, tapi sekarang saya muak melihat isi beritanya, seperti sampah!” Kawan saya langsung terdiam dan tersenyum kecut. Tapi dengan cool dia tetap merayu agar bisa mendapatkan wawancara si narasumber, karena merasa bahwa keberhasilannya menjalankan profesi adalah dengan sukses mendapat wawancara eksklusif kendati harus mendengar caci maki terlebih dahulu.

Kenapa kawan saya tidak tersinggung atau melaporkan si narasumber ke polisi karena menyebut ”sampah” pada institusinya. Karena dia paham, bahwa kata-kata itu adalah kritikan membangun terhadap kekurangannya dalam membangun sebuah berita yang ”mencerdaskan” masyarakat.

Kembali ke twiter Mbak Luna, dia mengatakan ”derajat infotainmen lebih rendah dari pelacur dan pembunuh”. Secara teks dia tidak menyebut sebuah profesi tertentu, kata infotainmen sendiri bermakna program bukan profesi. Dan bisa jadi itu infotainmen di amerika atau arab saudi bukan di Indonesia, artinya banyak tafsir yang mungkin muncul dari istilah tersebut. Dari segi konteks, itu hanya luapan emosi yang mungkin terganggu akibat pemberitaan infotainmen yang merugikannya atau etika pekerja infotainmen dalam mencari berita yang sangat mengganggunya. Maknanya adalah kalo dari dua hal ini menimbulkan multitafsir, kenapa orang lain yang mungkin bukanlah orang yang dimaksud oleh Luna harus merasa tersinggung dan geer (gedhe rumangsa-red). Lebay banget sich hehehe... Btw, lebay adalah salah satu akar dari arogansi pribadi.

Secara psikologis, lebay atau berlebihan dalam memandang diri sendiri bisa disebabkan oleh dua hal, pertama karena dia ingin dipuja dan dianggap sebagai orang yang hebat. Kedua adalah menutupi karakter pribadinya yang sebenarnya minder dan tertekan. Merasa tidak hebat tapi ingin dianggap hebat. Kalo dua hal ini berpadu dalam satu pembenaran pendapat maka jadilah sosok orang yang tidak pernah merasa bersalah dan arogan. Profesi dijadikan pembenaran untuk merugikan orang lain, demi menghindari ”tekanan” dari kantor yang seringkali bertentangan dengan hati nuraninya.

Ini sebenarnya mewakili perasaan saya pribadi yang pernah menjalani profesi sebagai pekerja infotainmen dan pekerja media. Ini hanya sekedar pendapat pribadi, karena bisa jadi orang lain memiliki pengalaman yang berbeda. Saat beberapa tahun silam iseng-iseng side job sebagai kamerawan infotainmen, hal pertama yang saya rasakan adalah hasrat yang besar untuk mendapatkan gosip menarik plus rasa tidak tega untuk mencampuri atau mengetahui urusan pribadi orang lain. Dan ini membuat saya tertekan, pertama saya menyadari bahwa adalah hak si artis untuk menjaga rahasia pribadinya, tetapi berita tentang prestasi si artis bukanlah gosip yang menarik dan berating tinggi.

Kedua, secara kasat mata, penampilan materi si artis jauh lebih glamour dibanding saya dan seorang kawan yang untuk datang ke lokasi artis, hanya menggunakan motor butut. Ada rasa minder sebenarnya, tapi kita tetap harus menjaga image agar terlihat setara hehehe...

Ketiga, usaha kita untuk meliput seringkali tidak diakomodir oleh perusahaan, sehingga butuh kerja keras untuk sekedar bisa datang ke TKP, sementara tuntutannya adalah berita bagus. Pun jikalau kita gagal mendapat berita panas, resiko pemecatan dari Rumah Produksi tempat kita bekerja sangat besar, karena seringkali tidak ada kontrak kerja yang sesuai UU bagi pekerja infotainmen, apalagi asuransi.

Keempat, tidak adanya training jurnalistik (btw, pekerja infotainmen termasuk jurnalis bukan yaa?) membuat wawasan kita tentang etika profesi dan aturan peliputan menjadi nihil. Kita seperti anak-anak yang langsung diterjunkan ke lapangan tanpa pengetahuan sama sekali.

Kelima, infotainmen tetaplah disebut berita gosip, yang kendati berating lebih tinggi dibanding berita politik, sosial budaya etc. Tapi tetap dianggap ”berita sampah” oleh para pengamat media, tokoh masyarakat, praktisi pendidikan. Yang dianggap hanya merusak moral masyarakat dan tidak mencerdaskan.

Terjepit diantara kebanggan diri dan penilaian miring orang lain, seringkali membuat kita kehilangan akal sehat saat melakukan peliputan, dan mungkin hal ini masih berlaku hingga sekarang. Ketidaktahuan tentang etika profesi jurnalistik ditambah tuntutan rumah produksi untuk selalu mendapat gosip terpanas, membuat kita terkadang harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita. Dan inilah yang menurut saya melatarbelakangi seringnya terjadi benturan tidak etis dalam peliputan.

Kembali ke soal merasa arogan berprofesi wartawan. Menurut saya ini karakter wartawan pemula yang masih eforia dengan dirinya dan tidak paham konsekuensi atas profesinya. Ada perasaan bangga yang berlebihan bahwa profesi ini adalah pilar keempat yang menentukan kesuksesan suatu bangsa. Bahwa UU pers melindungi wartawan dari tuntutan hukum dalam melaksanakan pekerjaan. Bahwa wartawan bisa menaikkan atau menjatuhkan narasumber nya. Bahwa dirinya berhak untuk mendapatkan informasi dan menyebarluaskan ke masyarakat. Kebanggan-kebanggan ini kalo tidak dikontrol akan menghasilkan sosok pribadi yang kehilangan rasio, dengan memandang semua masalah dari sudut pandang diri sendiri, bukan orang lain.

Dan ternyata hal itu terbukti nyata, pelaporan oleh pekerja infotainmen terhadap mbak Luna ke polisi dengan mengadukan pasal-pasal UU ITE malah didukung oleh korps Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), padahal UU itu sedang diprotes oleh insan media karena dianggap menghalangi kebebasan pers. Entah apa motivasi pekerja infotanmen dan PWI memakai pasal karet yang jelas-jelas berpotensi memberangus profesinya.

Secara pribadi saya mendukung AJI yang berusaha mendamaikan ”sengketa kecil”ini dalam ranah musyawarah, antara insan pers dengan narasumbernya.

Lebih baik kembali menjadi pilar bangsa yang mencerdaskan masyarakat daripada tampil arogan mempertontonkan keunggulan profesinya untuk sesuatu yang ”SANGAT TIDAK PENTING” ini.


Celesta, 22 Desember 2009


http://ruangstudio.blogspot.com

Dan Berkarya lah, Maka Dunia Akan Memelukmu...

11.12 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

1
Sosok Ardiansyah menjadi titik balik bahwa Indonesia masih memiliki pahlawan-pahlawan yang mempunyai semangat besar mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Adalah seorang pegulat asal Kalimantan Timur yang baru pertama kali ikut dalam Sea Games, berangkat tanpa target apapun karena kondisi organ tubuh yang memiliki kekurangan yaitu hanya memiliki satu paru-paru. Ternyata mampu membuktikan bahwa ”semangat & kerja keras” mampu mengalahkan segala hambatan fisik. Pegulat kelahiran 19 September 1983 mampu menjawab kepercayaan sang pelatih dengan meraih medali emas di gaya Greco-Roman kelas 50 kilogram pada Sea Games Laos 2009.

”Begitu dinyatakan sebagai pemenang, Ardiansyah langsung jatuh tertelungkup ke matras gulat Booyong Gymnasium, Vientiane. Para pelatihnya segera berlari mendatanginya untuk memberikan pertolongan. Beberapa saat kemudian, ia pun sudah bisa duduk dan lalu berdiri. Sambil memegangi dadanya yang sakit, ia berusaha mengacungkan tinjunya sebagai selebrasi kemenangannya.” (Kompas, 16/12/09).

Semangat, belajar & kerja keras adalah kuncinya...




Ardiansyah mampu melupakan rasa sakit yang mungkin dialaminya saat sedang bertanding, dan melepaskannya usai menjadi juara. Kekurangan udara pernafasan yang dirasakannya diganti dengan ”oksigen semangat” yang tidak memerlukan paru-paru tambahan untuk memompa.

Kedua telinga nya yang juga mengalami gangguan pendengaran, ternyata tidak menghalangi untuk mendengarkan nasehat dan wejangan dari sang pelatih, sehingga semua pelajaran tentang teknik gulat mampu dipelajarinya dengan baik.

Ah, kita yang punya dua telinga normal malah seringkali berlagak tuli untuk mendengarkan kebaikan dari orang lain.

Kemenangan Ardiansyah didapat dari sebuah kerja keras selama bertahun-tahun, dan karya nya ditunjukkan dalam sebuah pertandingan yang mungkin hanya berjalan beberapa menit saja.

Fase inilah yang tidak dimiliki atlet indonesia lain, yaitu berlatih keras untuk meraih kemenangan. Selama ini mereka hanya memiliki hasrat besar untuk mencapai kemenangan secara instan tanpa mau berusaha. Contoh terbaru adalah Tim sepakbola U-23 yang dua tahun ”bersekolah” di Uruguay dan hasilnya adalah sebagai juru kunci babak penyisihan Sea Games tanpa pernah menang sekalipun. ”Sungguh memalukan” kata bang Rhoma Irama.


2
Ria Nurlaela Badaria, 25 tahun, adalah peraih Khatulistiwa Literacy Award 2009 untuk kategori Penulis Muda Berbakat, novel pertamanya bergenre metropop berjudul Fortunata, dianugerahi penghargaan bergengsi itu, mengungguli tujuh karya finalis lainnya.

Coba simak bagaimana cara dia berkarya:
Dia mulai menulis novelnya dengan tangan di kamarnya sejak 2006. Ketika tulisan tangannya sudah cukup panjang, dia pergi naik angkutan kota sejam perjalanan ke penyewaan komputer di kota Bogor untuk mengetik karyanya. "Kalau sudah di rental, bisa sampai seharian saya menulis," kata Ria.
Pengalaman kehilangan naskah pun dialaminya. Sepuluh bab pertama Fortunata, yang tersimpan di disket, hilang karena disket terjatuh dan rusak. "Terpaksa saya mengetik ulang," kata Ria, yang kadang meminjam laptop temannya untuk menulis novel. (Koran Tempo, 6/12/09).

Bagi para fesbuker yang tiap hari nongkrong di depan komputer pantas iri hati, karena keterbatasan fasilitas pendukung (komputer-red) ternyata tidak menghalangi Ria Nurlela untuk tetap berkarya. Sebuah novel yang ditulis tangan, karena tidak memiliki komputer.

Semangat Ria mungkin bisa disamakan dengan Pramoedya A. Toer atau Soekarno yang menulis buku dengan tangan dari dalam penjara pada jaman pra kemerdekaan atau awal-awal orde baru yang penuh intimidasi.

==

Ardiansyah dan Ria adalah gambaran semangat pantang menyerah yang sangat layak kita tiru. Keterbatasan fisik dan fasilitas tidak menghalangi untuk tetap berkarya. Karena hanya dengan ”karya” lah eksistensi kita sebagai manusia akan diakui oleh orang lain.

Penilaian terhadap hasil sebuah karya adalah obyektif. Namun sebenarnya ada yang lebih penting dari karya itu sendiri, yaitu bagaimana proses sebuah karya dihasilkan. Kisah proses ini seringkali mampu menginspirasi orang lain dan menjadikannya sebuah pelajaran berharga.

Dan dunia pun akan selalu mengapresiasi orang yang mau berkarya.

Celesta, 17 Desember 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Untuk Anakku...

02.20 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Insya allah akan kuberi nama Gibran Muhammad Difiansyah

Gibran adalah Kahlil Gibran, sang penyair pantang menyerah
Sang Nabi yang mencipta Sayap-sayap Patah
Yang karyanya merangkum tiga agama langit
Yang tutur katanya menggugah hati untuk bangkit

Gibran artinya cerdas (arab-red)

Muhammad adalah manusia terbaik yang dipilih Tuhan
Rasul terakhir yang berhasil merubah dunia
Yang memiliki kecerdasan, kepercayaan, keyakinan, dan kejujuran
Yang baginya telah disempurnakan agamaku

Muhammad artinya orang yang terpuji (arab-red)

Difiansyah hanyalah sebuah nama tanpa makna
Sekedar merefleksikan pertautan dua hati orang tuanya
Sekedar penanda ada dua jiwa yang menyatu didalamnya
Sekedar pengingat bahwa dia hanyalah manusia biasa

Anak adalah titipan Tuhan
Dia adalah anak panah yang siap dilepas untuk menembus sang waktu
Yang kepadanya lah harapan segala kebaikan hidup
Semoga kelak aku bisa mendidiknya, menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama

Ya Allah,
Berikanlah kepadanya kesehatan fisik dan hati
Bukalah pintu nurani dan pikiran akan kebenaran
Ajarkanlah dia membaca ciptaanMU

Ya Allah,
Permudahkanlah kami dalam merawatnya
Lancarkanlah rejeki kami agar bisa memberinya kehidupan terbaik
Bimbinglah kami dalam meletakkan dasar-dasar pelajaran baginya


Celesta, 10 Desember 2009


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Haruskah Kita Bersedekah Kepada “Pengemis”?

11.22 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Sengaja saya menuliskan kata “pengemis” dengan penanda kutipan, karena makna pengemis yang saya maksud memang bukan pengemis yang sesungguhnya. Sebagai catatan, menurut PP NO 31 TAHUN 1980, Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Atau dalam Wikipedia disebutkan mengemis adalah hal yang dilakukan oleh seseorang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal atau hal lainnya dari orang yang mereka temui dengan meminta. Umumnya di kota besar sering terlihat pengemis meminta uang, makanan atau benda lainnya. Pengemis sering meminta dengan menggunakan gelas, kotak kecil, topi atau benda lainnya yang dapat dimasukan uang dan terkadang menggunakan pesan seperti, "Tolong, aku tidak punya rumah" atau "Tolonglah korban bencana alam ini".

“Pengemis” dengan tanda kutip yang saya maksud adalah pengemis yang kita tidak pernah tahu status sosial mereka yang sebenarnya, apakah benar-benar orang yang membutuhkan bantuan karena tidak mampu lagi untuk mandiri, atau orang-orang yang sengaja berpenampilan lusuh dan kumal untuk mempercepat mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras.

Ngomong2 soal “pengemis”, saya jadi ingat beberapa tahun silam, saat dalam perjalanan naik bis Sinar Jaya dari Banjarnegara ke Jakarta, berdiskusi dengan seseorang “ustadz” yang duduk di sebelah bangku saya. Secara pribadi saya tidak kenal dia, bahkan namanya pun tak sempat tanya, karena baru kenalan. Beliau cukup ramah, lumayan menguasai ilmu agama, dan mengaku sedang belajar untuk mencoba mengaplikasikan pemahaman yang dimilikinya dalam kehidupan nyata.

Dalam perjalanan yang cukup panjang itu, saya melemparkan pertanyaan serius, “haruskah kita memberi sedekah kepada pengemis?”. Dan dengan mengutip surat Al Mauun, beliau menjelaskan bahwa kalau memang ada rejeki, adalah sangat berpahala jika kita mensedekahkan sedikit harta kita kepada orang lain. Dan kita tidak boleh berburuk sangka dengan berpikir bahwa orang yang kita beri (pengemis-red) hanyalah orang yang berbohong (dengan pakaiannya), karena itu akan mengurangi keikhlasan kita.

Lalu pertanyaan kedua saya lontarkan, “bagaimana dengan efek negatif berupa rusaknya mental para pengemis itu?. Karena menurut saya, kalo mereka menjadi ketergantungan hidup sebagai pengemis, maka cepat atau lambat itu akan menjadi virus budaya yang merusak moral umat islam itu sendiri? Budaya pengemis adalah budaya instan, dimana seseorang bisa meraih harta, tanpa harus banyak berkeringat. Bahkan seringkali pendapatan mereka jauh lebih besar dibanding orang yang bekerja keras sebagai pedagang kaki lima.”

Beliau sejenak terdiam, lalu berkata “Itu adalah PR buat kita semua. Saya sendiri tidak bisa menjawab mana hal terbaik yang sebaiknya kita lakukan. Karena dalam kondisi ini, para pengemis itu seringkali sudah tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Artinya mereka mendzolimi diri mereka sendiri dengan menurunkan harga dirinya menjadi “pengemis”, padahal sebenarnya mereka mampu kalau mau berusaha. Maaf mas, saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.”
===

Pengemis dan “pengemis” adalah dua sosok yang memiliki penampilan sama; lusuh, kumal, dan dekil. Tapi mereka dibedakan oleh mental dan kejujuran. Si pengemis adalah orang yang terkadang malu untuk mengemis, tapi keadaanlah yang memaksa mereka melakukan tindakan itu. Sedangkan “pengemis” adalah orang yang bangga, tidak jujur dan suka memanfaatkan status orang lain (pengemis-red) untuk kepentingan pribadinya, yaitu mencari uang secara instan.

Ada sebuah kisah yang sangat menarik di harian Jawa Pos yang menginvestigasi karir seorang “pengemis”, berikut cuplikan berita nya :

“Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.

Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.

Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.”
(sumber: http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=5373 )

====

Mungkin kita masih ingat, beberapa waktu lalu Pemda DKI Jakarta mengeluarkan Perda baru yang cukup kontroversial, yaitu denda bagi masyarakat yang ketahuan memberi sedekah kepada pengemis. Denda 150 ribu hingga 300 ribu kepada pelaku sedekah, sempat berjalan cukup efektif dan mengurangi pemberian kepada para pengemis. Tapi memang banyak “perlawanan” dari berbagai LSM yang menganggap hal itu keterlaluan dan malah melanggar hak manusia untuk memberi. Bagaimana tidak, lha wong ada orang beramal kok malah dihukum, ini adalah aturan yang salah kaprah, kata para penentang.

Namun alasan Dinas Sosial memberlakukan Perda itu pun cukup masuk akal, menurut Budihardjo, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, mengemis sudah dijadikan sebagian warga sebagai profesi, bukan lagi lantaran kemiskinan. “Membantu orang miskin merupakan kewajiban kita, tetapi bila mengemis sudah dijadikan profesi tentu tidak bisa dibiarkan”.
(sumber: Pos Kota)

Kalau membaca berita pro dan kontra tentang dunia pengemis, kita menjadi semakin paham, bahwa tidak semua tindakan atau perbuatan pribadi kita menjadi urusan individu. Karena seringkali hal-hal yang sepele dan bersifat mikro, ternyata memiliki implikasi besar yang bersifat makro.
Bersedekah adalah urusan pribadi, tetapi kalau ribuan sedekah malah menghasilkan keruwetan sosial berupa munculnya profesi pengemis, maka ini tentu tidak lagi menjadi masalah personal.

====

Secara sadar atau tidak, kita sering menghakimi bahwa seorang “pengemis” yang ada dihadapan kita hanyalah aktor yang sedang memainkan peran profesinya. Dan lantas kita ragu-ragu untuk memberinya. Ada yang kemudian tetap meyakinkan diri untuk tidak memberi, dengan membenarkan “pikiran”nya. Tapi ada juga yang akhirnya terpaksa memberi, karena merasa bersalah dan tidak tega, toh memberi “recehan” tidak akan membuat miskin hehehe...

Saya tidak akan menjawab pertanyaan yang saya lontarkan, karena semua hal diatas bersifat pilihan, dimana masing-masing individu, dengan pengalaman dan pengetahuannya masing-masinglah yang lebih tahu, mana pilihan terbaik untuk beramal...

Sency, 28 November 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Setelah KAKAO, Kini SEMANGKA…

12.18 / Diposting oleh Phyrman / komentar (1)

Tragis…
Mungkin ini kata yang paling pas untuk melukiskan nasib orang miskin di negeri penuh berbagai jenis buah ini.
Keanekaragaman hayati yang dengan mudah tumbuh di tanah nan subur, ternyata tak pernah mensejahterakan manusianya.
Indonesia adalah salah satu penghasil jenis buah-buahan terbanyak di seluruh dunia, dari buah yang bisa langsung dimakan seperti; pisang, pepaya, durian, apel, jeruk, nanas, SEMANGKA, dll. Hingga buah yang lebih nikmat diolah dulu sebelum dimakan; alpokat, KAKAO, dst…

Jaman saya dan teman-teman masih kecil di desa dulu, mencuri mangga atau jambu di kebun tetangga adalah kenakalan sehari-hari. Kalo ketahuan oleh pemilik yang baik hati, kita hanya dinasehati, lalu diberi buah yang kita ambil, bahkan seringkali diberi bonus untuk memetik lagi, asalkan esok hari kita tidak mencuri lagi.
Tapi kalo ketemu juragan buah yang pelit, maka lemparan batu atau bentakan menjadi hal yang biasa, karena saya dan teman-teman pasti langsung lari terbirit-birit, kendati esok mungkin datang lagi hehehe…

Semuanya ada, mudah dan murah didapat…

Tapi setelah hampir dua dekade berlalu, ternyata banyak hal yang berubah.
Harga buah menjadi sangat mahal.
Saking mahalnya, hingga seorang pencuri 1 butir buah saja bisa berurusan dengan penjara.
Sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan, saat mencuri buah-buahan dulu.

Di Purwokerto, sebuah kota kecil tempat saya bersekolah SMA dulu
Sebuah vonis pengadilan menjatuhkan hukuman 45 hari bagi seorang nenek bernama Minah, 65 tahun, karena ketahuan mengambil 3 buah kakao, yang kata pemiliknya harganya 30 ribu tapi kata warga cuman 10 ribu.
Nenek minah memang tidak sampai di bui, tapi sebagai seorang yang sudah tua renta seperti itu, kok kayaknya tidak adil kalo diperlakukan tanpa belas kasihan oleh orang yang mungkin seumuran dengan anak atau cucunya, walau itu atas nama hukum.

Tidak adakah rasa belas kasihan dari Juragan buah yang kaya raya itu
Tidak adakah ada rasa toleransi dari pak polisi yang biasanya mudah menghentikan sebuah kasus pidana, jika ada permintaan (+ uang suap) dari pelaku.
Tidak bisakah pak jaksa mengeluarkan SKPP atau depoonering untuk kasus se”murah” itu. Atas nama rasa keadilan.

Padahal alasan nenek Minah mencuri KAKAO pun hanya sekedar dipakai untuk bibit, agar bisa ditanam di halaman rumahnya yang sempit. Jelas-jelas bukan untuk memperkaya diri, seperti para pejabat korup di negeri ini.

Di Kediri, sebuah kota tempat pabrik rokok terbesar no 2 di Indonesia bersemayam
Basar (40 tahun) dan Kholil (51 tahun), juga diperiksa polisi dan diajukan ke meja hijau, gara-gara ketahuan mencuri 1 buah SEMANGKA.
Kedua rakyat miskin ini lebih malang lagi, karena sempat mengalami penganiayaan oleh pemilik buah, ditodong pakai pistol dan dihajar hingga 3 gigi Khalil yang sudah tua itu tanggal.
Bahkan keluarga pelaku, mengaku sempat diperas 1 juta rupiah sebagai uang damai, oleh seorang oknum polisi. Namun kasusnya tetap dibawa ke pengadilan.
Nilai 1 juta adalah nilai yang berlipat-lipat dari harga sebuah SEMANGKA.

Kasus pencurian memang merupakan tindak pidana, tapi jauh lebih kecil daripada tindak penganiayaan oleh juragan buah yang mereka alami. Harusnya pihak kepolisian mengusut tuntas tindak kekerasan sewenang-wenang ini, bukan malah menutup-nutupinya. Lalu, tindak pemerasan 1 juta oleh oknum polisi kepada keluarga pelaku, jauh lebih besar nilainya dari harga sebuah SEMANGKA. Maka sudah selayaknya polisi juga mengusut tuntas kebobrokan oleh oknum institusinyai.

Hilangnya KAKAO dan SEMANGKA
Adalah gambaran hilangnya nurani rakyat negeri ini.
Pertanda hilangnya rasa saling berbagi sesama manusia
Perlambang jahatnya kekuasaan aparat penegak hukum
Bukti bahwa kita masih tega untuk menindas dan menjajah saudara sendiri

Kalau Nenek Minah hanya mencuri 3 KAKAO
Basar dan Khalil hanya mencuri 1 SEMANGKA
Saya dan teman-teman kecil dulu pernah mencuri jambu, mangga, nanas, durian, pepaya
Yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang mereka curi

Ah, seandainya saya mencuri buah di era reformasi
Mungkin sekarang saya sudah di bui…

*ditulis sambil ngantuk-ngantuk hehehe...

Sency, 27 November 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Mental Kepiting

11.35 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Manny “Pac-man” Pacquiao, peraih tujuh gelar tinju dunia di kelas yang berbeda memberi petuah yang menarik kepada para wartawan yang meliputnya, "Mari kita tanggalkan mental kepiting dalam diri kita. Saya memohon kepada Anda semua untuk menanggalkannya. Mari kita bersatu agar bisa bergembira."

Pac-man menyindir dengan kata-kata itu terkait perilaku wartawan lokal Filipina yang lebih memilih membesar-besarkan gosip keretakan rumah tangganya dibanding prestasi tingkat dunia yang telah berhasil diraih. Istilah mental kepiting biasanya digunakan untuk menggambarkan kemiskinan yang meluas di Filipina. Istilah itu merujuk ke perilaku sekumpulan kepiting yang terjebak di tong. Ketika seekor kepiting coba meloloskan diri dengan memanjat dinding tong, temannya di belakang menariknya, sehingga dia terjebak lagi di dasar tong.

Membaca cuplikan berita di Warta Kota itu membuat saya teringat perilaku pejabat-pejabat kita yang juga bermental kepiting. Jika ada salah satu pejabat yang mau bertobat dari korupsi, atau berusaha keluar dari lingkaran setan yang menyengsarakan rakyat itu, maka rekan yang lain langsung mencapitnya untuk ditarik kembali masuk dalam tong sampah korupsi.

Mental kepiting juga berarti saling mencapit untuk menjaga harmonisasi kejahatan. Semua kepiting saling mengancam capit ke rekannya yang diprediksi akan berkhianat atau membeberkan kejahatan mereka. Pada awalnya, para kepiting saling kompak dalam menilep uang negara; kepiting A bertugas membuat UU yang bisa melegalkan korupsi, kepiting B bertugas membuat proyek dan memelintir laporan keuangan, kepiting C bertugas melindungi dari kasus hukum jika terungkap. Masing-masing kepiting akan berusaha saling menutupi karena hasil kejahatan sudah dibagi secara merata. Jenis kepiting seperti ini akan rela menyamakan persepsi dan fakta untuk bersepakat dalam kebohongan. Tapi jika ada yang berkhianat, maka capit-capit rekannya yang akan mengoyak tubuh.

Saya membayangkan, bagaimana beban moril yang dialami oleh sebagian pejabat negara yang lurus dan idealis.

Dalam sebuah sistem yang terlanjur korup, maka hampir pasti semua orang didalamnya pernah mendapatkan uang haram, walau mungkin oleh sebagian orang tidak pernah diniatkannya. Lalu jika ada seorang pejabat yang berhati baik menolak hasil sebuah tindak kejahatan, maka dia berdiri berhadapan dengan kepiting korup dan secara otomatis berada didalam ancaman capit mereka. Ancaman bisa berasal dari atasan yang korup, rekan staf yang korup atau bawahan yang korup. Semua kepiting korup pasti mengancam akan membeberkan kekhilafan pejabat baik menerima uang haram di masa lalu, atau mencari celah untuk menjatuhkannya. Tidak ada kepiting korup yang rela membiarkan rekannya keluar dari tong korupsi, karena khawatir akan membuka tabir kejahatan.

Kasus perseteruan KPK vs Polri juga mirip perilaku kepiting yang hobi memamerkan capit. Seorang pejabat Polri yang mengetahui dirinya sedang disidik oleh institusi lain terkait kasus suap bank Century, maka sebelum dirinya ditangkap, lebih dulu dia mencapit lawannya di institusi KPK dengan tuduhan yang tidak jelas alias rekayasa. Tidak penting apakah tuduhannya terbukti atau tidak, yang penting adalah dirinya berhasil mencapit lawan, kendati kemudian terpaksa dilepaskan karena besarnya tuntutan masyarakat.

Hobi mengancam dan mengoyak tubuh lawan dengan capit ala kepiting, juga terjadi dalam kasus lain, apalagi yang melibatkan masyarakat miskin yang lemah. Dalam sebuah penggusuran lahan misalnya, pemerintah daerah menggunakan capit satpol PP sebagai strategi membumihanguskan rumah-rumah warga, padahal seringkali kasus sengketa hukumnya masih berjalan di pengadilan. Atau kasus tewasnya Subagyo, seorang sopir angkot di Depok Jawa Barat, saat penggrebekan judi oleh polisi. Tanpa alasan yang jelas capit arogan itu mengeluarkan tiga timah panas yang menembus tubuh korban.

Tapi sebaliknya capit besi penegak hukum bisa tiba-tiba melempem, bila berhadapan dengan pengusaha kaya yang sudah menggelontorkan milyaran rupiah ke saku-saku mereka. Anggodo yang sudah jelas-jelas melanggar hukum, minimal pasal pencemaran nama baik presiden atau polri, malah tak tersentuh hukum. Capit-capit polisi dan jaksa tak mampu mencubit kulit orang yang telah memperkaya mereka. Bahkan sang pemimpin tertinggi pun terdiam, sebagian gosip mengatakan bahwa si pengusaha ini adalah donatur kampanye yang cukup besar.

Hehehe, kok malah jadi ngelantur bercerita tentang atraksi capit-capit kepiting sih…

Kembali ke nasehat Mr. Pacman yang telah berhasil memecahkan rekor dunia dengan meraih tujuh gelar juara tinju di kelas yang berbeda.

Sebagai manusia, tak ada salahnya kita sejenak merenung, apakah kita bangsa indonesia juga termasuk orang-orang yang bermental kepiting. Karena bisa jadi kemiskinan yang saat ini dialami oleh mayoritas rakyat, juga adalah gambaran dari diri kita sendiri. Yang punya mindset bahwa “kita rela menderita asalkan ada kawan yang lebih menderita.”

Contoh sederhana adalah cara atlet sepakbola bermain. Mental kepiting para pemain ini membuat mereka memilih membuat kerusuhan atau huru-hara, entah dengan mengganjal pemain lawan, menonjok wasit hingga memprovokasi penonton untuk anarkis. Jika tim nya kalah dalam pertandingan. Karena berpikir negatif, maka orientasi mereka adalah mencederai lawan, bukan membangun diri untuk meraih kemenangan dengan mencetak gol hingga detik-detik terakhir.

Ah, jadi ingat filosofi semut nich.

Biar kecil tapi tetap kompak dan berpikir positif, sehingga seberat apapun beban yang harus dicapai, akan bisa terpenuhi, karena ada kebersamaan dalam kebaikan.

Sency, 20 November 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Membela yang ber-ma(Salah)

08.53 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Menonton hiruk pikuk informasi hari ini, ada satu berita yang menurut saya agak2 nyleneh dan lucu. Sebuah aksi demonstrasi di depan Mahkamah Konstitusi yang menuntut Mahfud MD, ketua MK mundur dari jabatannya karena dianggap mempermalukan dan mencemarkan institusi Polri dan Jaksa terkait pemutaran rekaman pembicaraan Anggodo kepada publik.

Entah kenapa, sekarang saya jadi suka me-logika-kan alasan narasumber berita yang seringkali gak nyambung dengan pemikiran saya. Pertanyaan sederhana atas berita demonstrasi diatas adalah “Kenapa pak Mahfud dituduh mempermalukan orang?”. Memangnya Pak Mahfud ngomong apa, kok dianggap mempermalukan?
Beliau kan hanya menunjukkan sebuah fakta, kenapa orang lain jadi malu.
Kalo tidak merasa bersalah kenapa harus malu dan merasa tercemar?
Kalo emang ada institusi lain merasa tercemar nama baiknya, kan bisa melaporkan secara hukum.
Trus kenapa orang-orang yang jelas-jelas bukan polisi atau jaksa yang berdemonstrasi? Wong, karyawan atau pejabat kedua institusi tersebut juga santai-santai saja kok..
Kenapa harus demo membela orang lain yang tidak minta dibela?
Ini kan aneh…

Opini, oh opini…
Sedemikian besar usaha orang untuk membentuk opini yang “berbeda” pada masyarakat.
Ketika khalayak mayoritas secara jujur berkumpul dan menyatukan hati untuk melawan ketidakadilan dengan membentuk komunitas secara natural. Misalnya; di dunia maya ada komunitas sejuta facebooker dukung Bibit dan Chandra, atau di dunia nyata ada komunitas artis, tokoh masyarakat, pelajar yang menolak kriminalisasi KPK.

Tiba-tiba muncul sekelompok minoritas orang yang “tampil beda” dan mendukung pihak lain yang bermasalah, ini tentu sangat mencurigakan.

Mereka, para demonstran ini biasanya tampil dengan nama organisasi baru yang tidak pernah terdengar aktifitas sebelumnya. Hadir dengan pimpinan atau juru kampanye baru yang juga tidak pernah tampak sebelumnya. Dan berorasi dengan nada keras dan profokatif tanpa ada data fakta yang jelas.

Sayang dalam berita itu, tidak ada reporter yang bertanya pada demonstran, apakah mereka sudah mendengarkan hasil rekaman tersebut. Soalnya bisa jadi mereka hanyalah orang2 suruhan yang sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakan. Mereka bergerak karena uang, lalu membubarkan diri tanpa jejak. Strategi kick n run, biasanya dipakai intelejen hanya untuk mengacaukan konsentrasi musuh, guna membangun sebuah strategi pembentukan opini lain yang lebih kokoh.

Syukur, dalam hal ini media massa tidak terlalu terpancing untuk membesar2kan beritanya. Informasi hanya disajikan secara sekilas saja, bahkan kalo perlu, gak usah ditayangkan juga tidak akan menurunkan rating kok hehehe…

Tapi apakah demonstrasi seperti ini efektif untuk merubah opini masyarakat? Saya pikir tidak. Tindakan seperti ini justru membuat masyarakat semakin muak dan percaya, bahwa memang telah terjadi sebuah “tindak kejahatan” terselubung. Walau, mungkin ada juga sebagian khalayak yang “goyah” keyakinannya dan membenarkan aksi ini. Tapi saya yakin jumlahnya sangat kecil.

Yang seringkali saya bingung adalah kenapa ada orang2 yang mau berpanas2 ria untuk membela sesuatu yang salah yaa? Sesuatu yang mungkin para demonstran itu sendiri itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka datang dengan wajah-wajah polos dan lugu, membawa spanduk dan bergandengan tangan, tanpa pernah memikirkan bahwa langkah mereka adalah sebuah “dukungan” terhadap para koruptor. Yang selama ini telah menyengsarakan diri mereka dan rakyat lainnya.

Ah, mungkin saya yang keterlaluan.
Karena bisa jadi kawan2 demonstran itu dapat uang yang cukup untuk makan beberapa hari ke depan. Sementara saudara2 lain yang berteriak anti korupsi, hanya berteriak-teriak meminta dukungan rakyat, tanpa pernah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada mereka hehehe…

Celesta, 9 November 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Negeri Para Aktor

06.44 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Paul Watson, pakar konstruktivis media, mengatakan bahwa “konsep kebenaran yang dianut media bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang oleh masyarakat dianggap sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa.”
Teori tersebut ingin menjelaskan bahwa sebuah realitas yang diberitakan oleh media massa, bukanlah realitas yang sebenarnya, tapi ada faktor lain yang mempengaruhinya, dari dalam adalah faktor psikologis wartawan; wawasan, ideologi, pengalaman, dan sebagainya. Sedangkan dari luar adalah faktor sosiologis; kondisi sosial masyarakat, aturan hukum, opini khalayak, dan lain-lain.

Imajinasi saya membayangkan, sebuah realitas yang “benar dan shoheh” saja bisa diinterpretasikan secara berbeda oleh wartawan. Artinya sebuah informasi atau cerita peristiwa yang diperoleh dari seorang narasumber bisa ditampilkan secara tidak utuh dari peristiwa yang sebenarnya. Lalu bagaimana jika “realitas” itu sendiri sudah tidak benar.

Kisah ini yang sedang terjadi di negeri kita tercinta.

Saya yakin para wartawan pasti sedang bingung untuk merangkai kisah-kisah yang muncul, menjadi sebuah jalinan cerita dalam paket berita. Bagaimana tidak? Dalam kasus perseteruan antara Cicak VS Buaya alias KPK VS Polri, ada dua keterangan yang saling bertentangan. Dan dua-duanya berani bersumpah atas nama Tuhan.

Ada dua cerita yang saling bertentangan
Versi 1:
Kapolri : Ada penyerahan dana dari Anggodo lewat Ary Muladi ke pimpinan KPK.

Chandra M Hamzah : Yang saya terima itu hanya uang dari Negara. Penghasilan saya dari Negara.

Bibit S Riyanto: Saya tidak pernah menerima uang, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari Ary Mulady atau Yulianto…

Versi 2:
Kapolri : Ary Muladi enam kali dating ke KPK

Ary Muladi : Saya hanya ke sana sekali dan sama sekali tidak bertemu pimpinan KPK.

Versi 3:
Kapolri : Ada bukti hubungan telepon

Chandra M Hamzah: Saya tidak kenal yang namanya Ary Muladi, tidak pernah bertemu dengan Ary Muladi ….., apalagi hubungan telepon, apalagi hubungan yang lain.

Bibit S Riyanto : Saya tidak pernah ketemu langsung dan tidak langsung dari mereka semua. Kenal juga tidak.

(Sumber: Kompas, 7 November 2009)


Lalu bagaimana akting narasumber dalam menjalankan perannya?

Ekspresi ala Susno Duadji (Kabareskrim Polri)

#Gembira dan penuh percaya diri#
Sambil bersiul Susno berangkat menuju pertemuan dengan Tim Delapan. Setiba di Gedung Wantimpres, Ia langsung melangkah ke ruang pertemuan, tempat para anggota TPF sudah menanti

#Merasa sedih dan teraniaya#
Sehari sebelumnya, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, ia tampil percaya diri bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Tapi saat tanya jawab berlangsung, perlahan emosinya berubah bahkan sampai menangis.

#Religius#
Kepala Badan Reserse Kriminal yang mundur sementara Komisaris Jenderal Polisi Susno Duaji membantah menerima duit Rp 10 miliar terkait dengan kasus Bank Century. "Sebagai seorang muslim, lillahi taala, saya tak pernah mendapat Rp 10 miliar dari siapa pun terkait dengan kasus Bank Century," sumpah Susno sambil mengangkat tangan kanannya ke atas saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (5/11) malam.

(Sumber: Liputan6.com, 7 November 2009)

Dan adegan yang kocak dan membingungkan adalah saat anggota DPR RI komisi III bertepuk tangan saat mendengarkan pemaparan Kapolri dalam rapat kerja (5/11/09), terkait isu kriminalisasi KPK. Bukannya bersikap kritis dan mencari kebenaran yang sejati, tapi malah menelan mentah-mentah informasi tersebut, seolah para anggota dewan itu mendukung polisi yang sedang bermasalah. Sungguh aneh…

Melihat berita-berita yang muncul di media, saya langsung tambah pusing. Kebenaran realitas yang harusnya didapat dari narasumber, ternyata sudah “dikonstruksi” sendiri oleh si narasumber, sebelum sampai pada wartawan. Yang artinya, kebenaran informasi dari narasumber tersebut diragukan “kredibilitas”nya. Nah, kalo narasumber nya saja sudah berbohong dan beradu akting didepan wartawan. Bagaimana bisa si wartawan menerjemahkan informasi tersebut secara benar (sesuai kenyataan-red)?

Sayang, Paul Watson tidak hidup dan tinggal di Indonesia. Kalo melihat kondisi dimana “nilai kejujuran” sudah hilang dari budaya masyarakat, mungkin dia akan mencabut teori nya diatas, dan menggantinya dengan teori baru bahwa “Kebenaran (berita) bukanlah ditentukan oleh media massa, tapi oleh Tuhan. Karena hanya DIA yang tahu kebenaran ucapan sang narasumber” hehehe…

Celesta, 7 November 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

"Kebingungan" Pak Mahfud

16.56 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Tadi malam ada sebuah dialog yang sangat memberikan pencerahan di program Save Our Nation Metro TV (04/11/09). Saya agak terlambat mengikutinya, karena asyik menonton dialog pada tv lain yang cenderung lebih heboh dan keras hehehe… Program dialog yang dipandu Pak Saur Hutabarat ini menghadirkan sosok yang oleh harian Kompas disebut sebagai orang yang berani melakukan sebuah tindakan bersejarah dalam penegakan hukum di Indonesia, ketua Mahkamah Konstitusi, pak Mahfud MD. Jujur, secara pribadi saya sangat mengidolakan beliau, karena diantara beragam pejabat dari berbagai institusi yang dalam beberapa hari terakhir muncul di tv, hanya beliau yang saya anggap lurus dan benar-benar punya visi bagus dalam pemberantasan korupsi. Beliau rendah hati, tidak mencari popularitas dan benar-benar berpikir untuk memberi shock therapy pada para koruptor agar bertobat.

Dialog berlangsung datar tapi dalam dan penuh perenungan, di akhir acara ada sebuah pertanyaan penting, yang menurut saya adalah hal yang paling substansi dalam penyelesaian kasus hukum cicak vs buaya. Bagaimana pertimbangan MK dalam keputusan sela terkait judicial review terkait penonaktifan Chandra dan Bibit?.

Pak Mahfud menjawab secara jelas, bahwa ada dua pertimbangan yang berbenturan, dan harus dipilih yang paling meminimalkan penyalahgunakan kekuasaan oleh penegak hukum. Pertama, adalah mengembalikan aturan hukum tentang tatacara non aktif pejabat KPK jika terjerat kasus hukum, seperti UU yang lain. Karena dianggap melanggar hak asasi pejabat KPK. Artinya pejabat KPK hanya bisa dinonaktifkan, jika sudah ada putusan hakim tertinggi. Ini membuat pejabat KPK menjadi penguasa sebuah lembaga superbodi yang independent dan memiliki wewenang penghancuran korupsi, tanpa dapat diintervensi oleh institusi lain.

Pertimbangan positif nya adalah kasus yang menimpa Chandra dan Bibit, yaitu dinonaktifkan oleh presiden terkait kasus hukum yang ternyata adalah sebuah rekayasa hukum oleh jaksa dan polisi. Ini tentu sangat membahayakan eksistensi dan kewibawaan KPK, karena institusi penegak hukum lain bisa mengacak-acak, hanya melalui selembar surat sangkaan.

Pertimbangan negatifnya adalah seandainya masih dalam proses hukum pengadilan, maka seorang pejabat KPK yang korup pun masih berwenang untuk menghukum koruptor lain. Ini tentu sangat membahayakan, karena posisi keistimewaan KPK yang superbodi untuk menyidik, menuntut dan menghukum koruptor. Sangat ironi jika institusi istimewa seperti KPK diisi oleh orang-orang yang salah dan representasi dari mafia korupsi. Beliau sangat paham, bahwa penyelesaian suatu kasus hukum di Indonesia bisa sangat lama, sehingga jika pertimbangan ini yang dipilih, bukan tidak mungkin seorang pejabat KPK yang korup dan dalam proses pengadilan akan berlenggang ria hingga akhir jabatannya.

Kedua, mempertahankan aturan tentang non aktif pejabat KPK sama seperti yang sudah berjalan sekarang. Artinya pejabat KPK bisa non aktif, jika ada sangkaan kasus hukum pidana.

Pertimbangan positif nya adalah KPK akan diisi oleh orang-orang yang bersih, karena jika ada pejabat KPK yang korup, maka cukup dengan adanya pelaporan kasus hukum kepada polisi, presiden bisa langsung mengeluarkan perpu non aktif seperti sekarang.

Pertimbangan negative nya adalah intervensi dari institusi lain akan sangat membahayakan kewenangan KPK, potensi untuk kriminalisasi terhadap pejabat KPK sangat besar. KPK bisa hanya jadi macan ompong dalam penegakan hukum di Indonesia. Jika ini terjadi, maka spirit pendirian KPK yang berpengharapan besar terhadap pemberantasan korupsi akan sirna.

Ya, Pak Mahfud pantas bingung, ibarat makan buah simalakama, kalo keputusannya pro KPK, nantinya ditakutkan pejabatnya malah jadi berani korup. Tapi kalo kontra KPK, institusi lain yang jadi tambah korup, karena tidak ada yang mengawasi.

Pak Mahfud, saya yakin kebijakan yang akan anda pilih adalah yang terbaik untuk negeri ini. Semoga Allah memberi petunjuk yang tepat.


Sebagai masyarakat awam, saya langsung berandai-andai, akan seperti apa negeri ini, jika ternyata kasus yang sedang ramai dibicarakan oleh lebih jutaan penduduk Indonesia ini, tidak lebih dari sekedar pertarungan antar mafia korupsi. Masing2 orang yang terlibat hanyalah pejabat korup yang berlindung dibalik kewenangan institusinya dan berpura-pura mencari perlindungan hukum. Semuanya tidak lebih dari orang2 yang berkepribadian ganda, di satu sisi dia menghukum orang lain demi popularitas, dan di sisi lain mencari celah untuk memperkaya diri.

Tiba-tiba saya merasa bermimpi buruk, bagaimana jika realitas nya adalah ada pejabat KPK yang benar2 memeras Anggoro, sebagaimana pernyataan Anggodo di TV One, bahwa dia harus menyerahkan milyaran uang untuk menghentikan kasus yang menjerat kakaknya. Dan polisi yang mengendus kasus itu lalu berusaha mengungkapnya.

Bagaimana jika kenyataannya adalah ada pejabat tinggi polri yang benar-benar mendapat suap terkait kasus bank Century. Lalu KPK mengendus dan berusaha mengungkapnya.

Dan sebelum lawannya mengungkap, maka mending ditangkap duluan hehehe…

Bagaimana jika kejadian sebenarnya adalah pertarungan dua pejabat berlainan institusi yang saling menyelamatkan diri dari kasus korupsi yang dilakukannya. Dan masing-masing berusaha mencari dukungan publik untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.

Jadi sebagus apapun undang-undang yang dihasilkan oleh MK nantinya, tetap aja ada celah untuk melanggarnya. Mungkin ini hanya soal moral, bukan lagi soal aturan hukum.

Ah, daripada pusing mikirin korupsi, mending ngrampungin skripsi hehehe…


Celesta, 5 November 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Agama dan Keikhlasan

01.28 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Agama adalah sebuah keyakinan pribadi manusia
Sebuah pilihan jalan yang mengarahkan manusia kemana akan meniti tujuan spritualnya.
Sesuatu yang secara materi, jika manusia tak memilih pun tidak ada dampak sosialnya
Laa ikrohaa fiddiin, tidak ada paksaan dalam (memilih) agama

Agama kemudian berkembang menjadi jalan hidup, aturan sosial, hukum bermasyarakat, hingga landasan sebuah Negara.
Tak ada yang bisa menghentikan perkembangan agama, karena itu adalah pilihan manusia sendiri untuk membesarkannya.
Tuhan sebagai tujuan akhir seseorang beragama, selalu menjadi pemersatunya.
DIA yang menjadi pencipta manusia dan alam semesta, diagungkan dalam setiap upacara ritual.

Pengagungan akan kebesaran Tuhan yang sebelumnya bersifat pribadi dari hati manusia, kemudian di”lembaga”kan.
Lalu muncullah apa yang disebut identitas agama, yang oleh manusia diperlihatkan dengan pakaian agamis, status kependudukan, lembaga agama, partai politik berbasis agama, dan seterusnya.
Identitas diri ini kemudian menjelma menjadi egoisme kelompok, golongan, komunitas, yang berhitung dalam pikiran materi.
Kemenangan agama dihitung dari data statistik, ada penganut mayoritas dan minoritas.

Yang mayoritas berpikir bahwa hegemoni statistiknya harus dipertahankan jumlahnya.
Maka dia hanya mengusahakan mempertahankan jumlah komunitasnya, kalau perlu menambahnya.
Yang minoritas berpikir untuk mengembangkan jumlahnya.
Maka disusunlah strategi masuk ke area yang belum terjamah, demi membesarkan komunitasnya.

Tak jarang gesekan sering terjadi dan berujung pada kekerasan fisik dan mental.

Kekerasan fisik terjadi dengan pemaksaan, pemukulan atau benturan kekuatan antar penganut.
Kekerasan mental dilakukan dengan cara yang terselubung; larangan beribadah, penghilangan tempat ibadah, intimidasi sosial, dan sebagainya.
Yang kelebihan kekuatan fisik mengintimidasi yang lebih lemah.
Dan yang kelebihan ekonomi mengintimidasi yang lebih miskin.

Dan semua nya hanya diniatkan demi “membesarkan” lembaga agama nya.

Di sebuah komplek perumahan, pembangunan tempat ibadah yang sudah direncanakan terpaksa ditunda karena ada penolakan dari seorang warga yang berbeda agama.
Dia menolak karena takut anaknya kelak akan terpengaruh ajaran agama lain.
Di sebuah kampung, beberapa warga menolak tetangga nya menggelar ibadah.
Alasannya pun sama, dia takut lingkungannya akan terpengaruh untuk diajak masuk agama lain.

Sesederhana itukah pikiran manusia?

Yang mayoritas takut kelak akan menjadi minoritas.
Yang minoritas takut kelak akan menjadi lebih minoritas.

Ketakutan menjadi minoritas membuat manusia lebih berpikir untuk menghambat laju perkembangan agama lain, daripada menjalankan agamanya sendiri.
Energinya habis untuk mengutuk, mencerca, dan menghalangi orang lain berkembang.
Bukan mengoptimalkan usahanya dalam mengembangkan diri sendiri.
Agama kemudian menjadi kontra produktif.

Disebuah wilayah yang terjadi friksi antar penganut agama, hampir dipastikan perkembangan pembangunannya menjadi tertinggal.
Disebuah perusahaan yang muncul intimidasi antar penganut agama, hampir dipastikan peningkatan usahanya akan stagnan dan melemah.

Mayoritas di wilayah A, bisa jadi menjadi minoritas di wilayah B.
Akhirnya kalau sentiment agama nya tinggi, maka mereka akan saling berbaku intimidasi.

Sambil tersenyum seorang kawan atheis berkata lembut, “jika agama hanya melahirkan konflik, untuk apa beragama? Bukankah manusia akan lebih ikhlas beramal, jika tidak memikirkan agama apakah yang dimiliki orang yang akan ditolong.”

Sebuah pertanyaan kritis untuk direnungkan oleh sesama manusia yang masih percaya Tuhan.

Nabi mengajarkan agar kita mengormati tamu, bahwa orang berbeda keyakinan yang ada disekitar kita dan tidak mengganggu (agama) kita adalah tamu. Maka lindungilah mereka seperti kita melindungi saudara-saudara seagama. Perlakukanlah mereka seperti kita memperlakukan saudara-saudara sendiri.

Jika kita merasa butuh beribadah, maka biarkanlah mereka beribadah, sama seperti saat kita rindu untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Itu adalah wujud toleransi yang paling sederhana.

Ada sebuah kisah dalam kitab suci, tentang seorang pelacur yang diangkat derajatnya masuk surga, karena dia ikhlas memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan. Dan karena tindakannya itu, sang pelacur menghembuskan nafas terakhirnya. Demi melihat keikhlasannya maka Tuhan pun mengampuni segala dosanya.

Pelacur adalah gambaran manusia pendosa, yang dianggap berada diluar lingkaran lembaga agama, dia selalu dihujat dan dianggap perusak moral.
Seteguk air adalah harta tertinggi yang dimiliki sang pelacur, karena itulah yang akan menentukan hidup matinya.
Sedangkan anjing adalah gambaran binatang yang dianggap najis dan kotor.

Keikhlasan paling tulus adalah memberi yang terbaik yang kita miliki, kepada makhluk yang kita pandang paling rendah, dan itu adalah sebuah wujud toleransi yang paling tinggi.

Ya, jalan termudah untuk masuk surga dan damai disisiNYA adalah ikhlas.
Ikhlas bersifat personal bukan lembaga, karena berasal dari hati bukan organisasi.
Ikhlas adalah representasi langkah manusia, karena ia adalah niat.
Dan penghuni surga bukanlah berdasarka data statistik pemeluk agama, tapi nilai tertinggi keikhlasan

Jadi bisakah kita sesama manusia yang masih percaya Tuhan ikhlas bertoleransi hidup berdampingan?

Celesta, 9 Oktober 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

SAMBUTAN

01.14 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Treeva, bidadari kecilku protes “Pa, kenapa sih sekarang gak pernah mau menyambutku didepan pintu sepulang sekolah? Dulu pas aku masih TK, papa selalu melakukannya, tapi setelah SD kok gak pernah lagi”. Sejenak aku tertegun mendengar protesnya, sepenting itukah nilai sebuah sambutan didepan pintu. Bukankah yang terpenting adalah aku ada dan menemaninya dirumah, tanpa harus ada “upacara” kecil seperti itu.

Dan saat dikemudian hari, kucoba untuk menjalankan upacara penyambutan kecil didepan pintu, memang muncul ekspresi wajah yang jauh lebih ceria, ada aura kebahagiaan, seolah dengan aku menjemputnya didepan pintu adalah wujud penghargaanku kepadanya. Padahal ada sambutan atau tidak, aku pasti akan selalu menyayanginya… (ya iyalah hehehe).

Sambutan ternyata bersifat kodrati. Bahkan semakin dewasa manusia, kebutuhan akan penghargaan semakin tinggi. Lebih variatif, unik dan terkadang irasionil. Diberbagai bidang kehidupan kita temui beragam sambutan. Di bandara, saat seorang menteri turun dari pesawat dalam rangka kunjungan ke daerah, maka kalungan bunga dan tari-tarian tradisional akan digelar, walau hanya berdurasi beberapa menit saja. Meski itu bukanlah tujuan dari kunjungan tersebut, tapi dari ekspresi wajah sang menteri tampak muncul rasa kebanggaan bahwa dia dikenal dan dihargai oleh penduduk lokal, kendati tidak dikenalnya.

Demi “merebut” hati pejabat pemerintah pusat, seringkali pegawai pemda menyambut dengan acara yang wah dan mahal, sedangkan inti acara kunjungan sendiri terkadang hanya berupa dialog pak menteri dengan petani atau nelayan, yang digelar ditengah sawah dengan cara sederhana, disertai janji memberi bantuan. Ini menjadi antiklimaks, karena terkadang “harga” sambutan lebih mahal dibanding dengan nominal yang diterima petani dan nelayan setelah “dipotong” aparat pemda.

Saya pernah menemukan sebuah kasus sambutan yang agak unik dan terkesan dipaksakan. Beberapa tahun silam, saya ikut kunjungan presiden ke Sumatera Utara, tujuannya adalah ke Danau Toba, yang menempuh waktu beberapa jam dari kota Medan. Sambutan masyarakat sangat luar biasa, disepanjang jalan kota Medan, masyarakat berjejer dipinggir jalan untuk menyaksikan iring-iringan mobil pejabat yang “mengular” hingga sepanjang hampir 1 KM. Kalo itu masyarakat umum, saya masih percaya bahwa itu berasal dari “hasrat” masyarakat sendiri untuk melihat presidennya. Tapi jelang bergerak ke luar kota, hampir di sepanjang jalan, ratusan bahkan mungkin ribuan murid SD berjejer rapi dengan berseragam merah putih dan pramuka berbaris mengibarkan bendera plastik kecil. Dan dari pengamatan saya, sepertinya mereka sudah berdiri berjam-jam disitu dan dilakukan pada jam sekolah, yang artinya sekolah meliburkan proses belajar mengajar pada hari itu, dan menggiring murid-muridnya yang masih kecil untuk berdiri di pinggir jalan selama berjam-jam.

Sepenting itukah sebuah upacara sambutan, sehingga harus mengorbankan proses belajar mengajar di sekolah. Jika para murid tidak menyambut, apakah acara kunjungan akan gagal. Saya pikir tidak ada hubungannya sama sekali.

Kasus lain adalah sambutan terhadap anggota DPR RI periode terbaru. Demi menghargai calon wakil rakyat tersebut, pemerintah harus mengeluarkan duit rakyat sekitar 46 milyar untuk sebuah upacara pelantikan. Esensi dari upacara itu hanyalah pemberian surat keputusan tentang pengangkatan sebagai anggota DPR RI, agar mereka bisa segera bertugas. Kalo hanya serah terima surat SK, sebenarnya hal itu bisa dilakukan dengan cara yang sederhana tanpa menghamburkan banyak uang, wong rakyat yang diwakilinya aja masih banyak yang miskin kok. Tapi mungkin itulah watak bangsa kita yang narsis, semua hal kecil harus diselenggarakan dengan cara yang mewah dan megah, dan mengorbankan orang lain. Coba kalo biaya pelantikan ditanggung renteng oleh anggota DPR yang dilantik, saya yakin mereka akan teriak dan menuntut pelantikan yang sederhana, atau kalo perlu tidak ada pelantikan dan SK cukup dikirim via pos hehehe…

Sebagai tuan rumah kita memang wajib menyambut tamu dengan layak, tapi juga harus tetap memperhitungkan kondisi ekonomi, sama seperti aparat Pemda, mennyambut pejabat yang datang berkunjung memang wajar, asalkan tidak terus menghabiskan dana APBD yang seharusnya dialokasikan ke bidang lain.

Pun sebagai tamu, sangat manusiawi jika mengharap mendapat sambutan dari tuan rumah, asalkan tidak menuntut untuk disambut dengan mewah, standar-standar saja, jangan sampai si tuan rumah menggerutu dan mendoakan kita untuk tidak datang lagi karena merepotkan.

Dan yang paling parah adalah tuan rumah yang berlagak jadi tamu, sehingga menuntut untuk mendapat sambutan di setiap kegiatan. Pejabat Negara sejatinya adalah tuan rumah di negeri sendiri, jadi seharusnya dia memposisikan dirinya bukan sebagai tamu. Alangkah besar uang negara yang akan dihemat, jika setiap pejabat yang berkunjung cukup disambut oleh aparat lokal dengan salaman erat dan pelukan mesra, tanpa upacara yang megah dan mewah.

Celesta, 13 Oktober 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Slank: “Kalo ada yang mencuri, kita ceburin ke kali…”

20.15 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Dalam sebuah dialog tentang korupsi di Liputan 6 Pagi SCTV (27/09/09), grup musik Slank yang sedang aktif dalam mempromosikan anti korupsi di Indonesia bercerita tentang bagaimana mereka berusaha menanamkan budaya anti korupsi di kalangan Slankers atau para pendukung Slank. Ada satu cerita Bimbim yang menurut saya cukup menarik, “Kalo ada anak Potlot yang berkelahi, kita pisahin. Kalo ada anak Potlot yang pake narkoba, kita anterin ke dokter supaya sembuh. Tapi kalo ada anak Potlot yang mencuri, langsung kita ceburin ramai-ramai ke kali (sungai-red) dibelakang markas, dan kita usir dia supaya tidak datang lagi.”

Komitmen mereka untuk menghapus budaya korupsi dari orang-orang terdekatnya, sangat layak kita apresiasi tentunya. Mereka sama sekali tidak menolelir terhadap aksi clepto (pencurian-red), apapun alasannya. Argumen mereka cukup bagus, dengan membuka budaya kejujuran dan keterbukaan diantara para pendukungnya. Jika ada yang tidak punya uang untuk makan, bilang saja, nanti yang lain akan berusaha membantunya, tapi jangan mencuri.

Saya sangat setuju pendapat itu. Dalam sebuah tindak pencurian, ada beberapa nilai yang dilanggar.
Pertama, nilai kejujuran, orang yang berani mencuri adalah orang yang takut meminta. Banyak alasan kenapa orang menjadi takut meminta, bisa karena faktor gengsi atau prestise yang akan turun, atau takut dianggap sebagai warga kelas dua karena merepotkan teman dsb. Kalo kita melihat realita kehidupan, maraknya aksi korupsi di berbagai lapisan masyarakat Indonesia, seringkali disebabkan oleh faktor gengsi. Orang lebih memilih tidak jujur pada lingkungannya, daripada dipandang rendah. Seorang suami lebih suka korupsi, daripada dianggap tidak mampu memenuhi standar hidup keluarganya yang tinggi. Padahal jika mau, mungkin mereka masih bisa hidup layak dan sederhana tanpa korupsi. Seorang pejabat atau tokoh masyarakat lebih memilih korupsi, daripada dianggap tidak mampu menunaikan haji berkali-kali, atau tidak mampu memberi sumbangan kepada masyarakatnya. Dengan alasan prestise, seringkali mereka harus mempertontonkan kehidupan yang lebih “wah” dibanding pendapatannya.

Kedua, nilai kemanusiaan, orang yang berani mencuri adalah orang yang tidak memikirkan kondisi sosial pemilik yang dicurinya. Seorang pencuri tidak pernah peduli, apakah si pemilik harta memang berlimpah atau kebetulan sedang memegang uang untuk keperluan lain. Bagaimana jika uang yang dicuri tersebut sangat dibutuhkan oleh pemiliknya sebagai biaya pengobatan keluarganya, bukankah dampaknya bisa sangat fatal. Demikian pula seorang koruptor, dia tidak pernah peduli peruntukkan uang yang dikorupsinya. Kasus paling “mengerikan” terhadap sisi kamanusiaan adalah korupsi terhadap dana bantuan bencana. Seorang koruptor tetap tega menyelewengkan dana bantuan tersebut, tanpa memikirkan bahwa uang itu sangat dibutuhkan oleh para korban bencana, yang sedang kesulitan menjalani hidup. Yang jelas akibat terjadinya korupsi, jutaan masyarakat miskin tidak mampu meletakkan standar hidupnya dalam posisi normal.

Ketiga, nilai kepercayaan, mungkinkah kita bisa ikhlas berteman dan bersahabat dengan orang yang pernah mencuri uang kita, dan dimasa depan bukan tidak mungkin akan terulang lagi? Pastinya tidak ada lagi kepercayaan terhadap si pencuri, dan kita pun akan selalu merasa waswas jika berdekatan dengannya. Demikian pula seorang koruptor, kendati kamar prodeo belum mengurungnya, tapi kepercayaan masyarakat pasti langsung sirna, jika mereka tahu bahwa si pejabat, si tokoh masyarakat atau si pengusaha itu menyalahgunakan kekuasaan untuk mencuri uang mereka. Petani yang dijanjikan mendapat subsidi pupuk pasti akan marah, jika tahu bahwa penyuluh pertaniannya malah menyelewengkan dana subsidi untuk mereka. Wali murid pasti akan emosi, jika dana subsidi sekolah gratis malah diselewengkan oleh pejabat diknas dan kepala sekolahnya. Karyawan pasti akan mogok, jika tahu hak bonus mereka ditilep oleh pemilik perusahaan.

Kembali ke Slank, dalam dialog itu Bimbim juga bercerita tentang hal kecil yang mereka coba lakukan dalam memutus mata rantai budaya korupsi, katanya “Segmen yang kami tuju dalam ikut mengkampanyekan anti korupsi adalah generasi muda yang berumur dibawah kita (rata-rata usia personil Slank-red), karena kalo sama yang lebih tua, kami takut kualat hehehe… Kami juga belajar dari pengalaman bapak-bapak kita dulu yang juga melakukannya”. Saya kurang paham maksud kalimat terakhir, tapi penafsiran saya, Bimbim ingin mengatakan bahwa orangtua mereka dulu juga melakukan korupsi kecil-kecilan, sama seperti bapak saya, mungkin juga bapak anda, karena saat itu memang budaya korupsi sedang nge-tren.

Yup, saya sangat setuju dengan Bimbim. Segmentasi pasar yang dituju sebagai sasaran kampanye anti korupsi adalah generasi muda yang biasanya masih punya idealisme. Anak-anak yang akan malu memakai mobil bapaknya, jika tahu itu didapat dari hasil korupsi. Anak-anak yang otaknya masih bersih dan masih bisa diisi dengan budaya produktif bukan konsumtif. Anak-anak yang belum terlanjur terbiasa menikmati kehidupan mewah diatas penderitaan orang lain.

Jika anak-anak muda malu memiliki bapak koruptor, dia tentu akan menjauh dari harta bapaknya. Dan bisa jadi akan lebih menyentuh nurani sang bapak, daripada nasehat orang lain atau ancaman hukuman KPK. Bimbim dan rekan-rekannya di Slank mencoba menjadi anak yang sholeh, dengan menjadi anak baik dan tidak mencuri. Bukankah tidak ada orangtua yang mengajarkan anaknya untuk mencuri, walau dia sendiri adalah seorang pencuri. Saya tidak sedang mengatakan bahwa bapak-bapak Slank adalah koruptor, saya hanya ingin memberi gambaran bahwa pada masa bapak-bapak kita dulu, budaya korupsi sangat marak dan terkesan menjadi sesuatu yang legal dan halal. Dan Slank pun merasakan hal yang sama, sehingga dia ingin merubah budaya yang terjadi pada orang tuanya, dengan budaya baru yang anti korupsi bagi generasi dibawahnya.

Menurut saya, langkah sederhana Slank dalam membentuk budaya anti korupsi, adalah sebuah strategi yang cerdas, kreatif dan tepat sasaran. Yang mungkin bisa kita tiru dalam menjalankan kehidupan sosial kita.

Slank yang notabene jauh dari hingar bingar aktifitas pemberantasan korupsi aja berani “melemparkan” orang-orang terdekatnya yang terbukti mencuri ke dalam sungai. Tentunya, harapan kita kedepan, instansi resmi Negara yang masuk dalam lingkaran pemberantasan korupsi seperti KPK, Polri, Kejagung dan MA bisa “menghukum” lebih para koruptor daripada apa yang kawan-kawan Slank telah lakukan.

Jika pendukung Slank yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah saja bisa merubah budaya mereka untuk berkomitmen tidak mencuri, maka sudah seharusnya, para pejabat, pengusaha, anggota DPR dan perangkat pemerintahan yang jauh lebih kaya dan mapan, juga ikut berkomitmen untuk tidak korupsi.

Ah, Slank…
Terlalu manis untuk dilupakan
Kenangan yang indah bersamamu…



Celesta, 27 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Jangan Pernah Ingin Memiliki Hak Orang Lain!

10.19 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Masih teringat di memori otak saya yang ber IQ rendah ini, sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang kawan yang mengutip salah satu butir dalam 10 Perintah Tuhan pada nabi Musa. Kalimat itu berbunyi “Jangan pernah ingin memiliki hak orang lain!”.

“Ingin aja tidak boleh, apalagi (sudah) memilikinya” urai kawanku itu lagi.

Entah kenapa, kalimat sederhana itu tersimpan dalam pikiran saya.
Saya mencoba menghitung berapa banyak hasrat kita untuk merampas hak orang lain demi keinginan untuk memiliki sesuatu yang menjadi hak nya. Dari hal yang paling sederhana dan tak mungkin tercapai, sampai hal yang berat dan kita usahakan untuk memperolehnya.

Kalau baru sebatas “ingin”, tentu jumlahnya tak terhitung.
Dari melihat pacar orang lain yang cantik dan aduhai, lalu membayangkan untuk memiliki kekasih itu.
Atau menyaksikan kawan yang kaya raya, dan kita tergoda untuk mendapat sedekah harta darinya.
Atau mendengar rekan kantor promosi jabatan, dan kita ingin menggantikannya.
Pasti sangat, dan sangat banyak…

Dan dalam realitanya, perintah Tuhan itu sudah banyak dilanggar oleh kita sebagai manusia, baik secara halus maupun kasar, baik secara kasat mata maupun terselubung, baik secara diam-diam maupun terang-terangan.

Seorang perampok “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara merampas harta korban secara terang-terangan, kasar bahkan terkadang kriminal dengan melukainya.

Seorang pejabat “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara korupsi secara halus dan terselubung, tanpa diketahui oleh rakyat sebagai pemilik harta.

Seorang pengusaha “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan memutarbalikkan data keuangan perusahaan, sehingga bonus yang menjadi hak karyawan bisa ditilep dengan cara tersamar.

Seorang seniman atau ilmuwan “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara menjiplak karya seni atau hasil riset orang lain, dan diakui sebagai karya orisinilnya.

Seorang karyawan “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara merebut jabatan rekannya, dengan cara yang licik dan penuh intrik politik.


Melihat maraknya aksi “pemilikan” hak orang lain untuk diri sendiri, maka memang tak salah jika Tuhan mencantumkan larangan itu dalam 10 perintahnya di awal turunnya agama langit.

Kalo kita coba putar bahasa secara sederhana, kata “ingin” berarti baru sebatas niat di hati, belum ada eksekusi. Jika ke“ingin”an tersebut bisa dihapuskan dari hati kita, maka bisa diartikan dimasa depan tidak akan ada “eksekusi” pemilikan hak orang lain untuk diri kita.

Tapi mungkinkah…
Seorang perampok menghapus “keinginan” untuk memiliki harta korban, sehingga batal merampas.
Seorang pejabat menghapus “keinginan” untuk memiliki harta rakyat, sehingga batal korupsi.
Seorang pengusaha menghapus “keinginan” untuk memiliki harta karyawan, sehingga batal menilep
Seorang seniman/ilmuwan menghapus “keinginan” untuk memiliki karya orang, sehingga batal menjiplak.
Seorang karyawan menghapus “keinginan” untuk memiliki jabatan rekannya, sehingga batal memfitnah.

Tapi, bagaimanakah caranya?


Celesta, 24 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Tim Solid, kok dibilang Konflik…

10.18 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Seperti cerita komik Lucky Luke, yang digambarkan bisa bergerak lebih cepat dibanding bayangannya. Itu lah hal yang menurut saya paling menarik dan berkesan tentang bagaimana sebuah isu bisa menyebar dan berkembang biak lebih cepat dibanding informasi dari narasumber resmi. Bagaimana tidak? Wong kita yang menjadi narasumber gossip aja masih berpikir, kok tiba-tiba sudah diisukan terjadi konflik dalam tim.

Ini cerita lucu tentang pengalaman liputan arus mudik kemarin, kami ber 20 orang yang sedang asyik leyeh-leyeh menikmati hidangan buka puasa di rumah makan teh Irma, langsung terbengong-bengong saat Pak PO kami yang bijak, mengajak semua kru duduk mendekat dan melingkar guna membahas telepon dari kantor, yang isinya mempertanyakan adanya konflik di tim liputan jalur selatan. Lho kok bisa? Kami dituduh terjadi konflik internal sehingga meminta kepulangan tim dimajukan satu hari, padahal alasannya sederhana, karena lebaran pun maju satu hari.

Masing-masing kru saling berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak…

Saat kreatifitas kami mengalir lancar, dengan menggelar “show” siaran langsung yang tidak biasa. Saat kami bersemangat mengambil angle kemacetan dari sudut pandang yang unik; dari atas SNG atau atap pos polisi, maupun dari pinggir jalanan yang hanya berjarak beberapa centimeter dari bis-bis besar . Saat kami bahu-membahu mengatasi panas menyengat sambil tetap berpuasa, demi menghasilkan tayangan terbaik. Lalu ada orang nun jauh disana yang “muncul” menjadi pahlawan kesiangan dan melemparkan isu terjadi konflik, ini tentu sangat menggelikan.


Saya ingin flashback bercerita tentang bagaimana tim kami berjalan dengan hati tanpa ada paksaan struktural. Dari awal, Pak PO sudah menyarankan agar dalam liputan nanti kita bekerja dengan hati, tidak usah terlalu memperdulikan “tugas struktural”, artinya satu sama lain bisa berganti jabatan sesuai kebutuhan. Dan beliau pun mencontohkan dengan santun tanpa banyak bicara; walau secara struktur adalah pimpinan proyek, tapi beliau tetap mau turun kebawah, melakukan pekerjaan kasar; membantu menggulung kabel yang kotor berdebu, memasang banner dan mencari batu pengganjalnya. Padahal itu adalah tugas seorang helper, yang notabene secara struktur memiliki jabatan terendah.

Kerendahan hati itulah yang menginspirasi kami untuk nyaman bekerja.

Hal lain yang sangat menyenangkan adalah toleransi beragama yang tinggi. Sebelum kami tiga kamerawan membagi tugas liputan, salah seorang kawan yang kebetulan beragama non muslim langsung menawarkan diri untuk mengambil jatah liputan siang hari, yang pastinya adalah tugas terberat, karena kami yang muslim harus mempertahankan puasa. Lalu sebagai balasan, kami membiarkannya beristirahat untuk tidak bertugas pada siaran pagi hari, karena dilakukan usai sahur.

Pun saat kawan non muslim kehabisan jatah sarapan pagi, karena restoran hotel di Tasikmalaya hanya menyediakan menu untuk sahur. Kita pun beramai-ramai mengantarkan untuk mencari makanan, yang ternyata sangat susah didapat, karena restoran atau rumah makan disana sangat taat pada aturan Pemda, untuk tutup pada pagi hingga siang hari selama bulan puasa. Setelah berputar-putar keliling kota, akhirnya ketemu McDonald yang buka setengah pintu dan melarang konsumennya untuk makan didalam restoran. Wal hasil, didalam mobil kami harus ikhlas melirik Hamburger + kentang goreng + Coca Cola berkeringat dingin yang dengan lahap dikunyah oleh kawan itu nyam, nyam, nyam hehehe...

Bukankah semakin besar godaan, berarti semakin besar pula pahalanya.
So, kami harus berterimakasih, karena godaan Coca-Cola dingin itu juga berarti menambah poin kami untuk masuk surga hehehe…

Malam hari adalah malam wisata kuliner, karena tiada waktu tanpa gaul dan nongkrong. Selama 9 hari liputan, hampir setiap malam kita menyusuri berbagai sudut daerah untuk sekedar mencicipi makanan yang tidak khas, disebut tidak khas karena menu ini hampir diseluruh pelosok Indonesia pasti ada, walau mungkin berbeda rasa. Ada STMJ di samping Unpad Jatinangor, Bandrek susu + roti bakar di Dago Bandung, lalu bubur ayam dan jagung bakar ala Tasikmalaya.

Bukan “rasa” yang kami cari, tapi “kebersamaan”.

Pelajaran penting yang saya dapat dari liputan kali ini adalah sangat penting untuk berpikir secara “esensi”, bukan secara struktur, jabatan, aturan, wewenang, kekuasaan dsb yang bahkan akan bisa merusak nilai dan tujuan yang ada. Karena hal-hal diatas hanyalah buatan manusia, yang sangat mungkin salah atau disalahgunakan.

Pak PO berpikir secara esensi, maka beliau ikhlas turun kebawah ikut menggulung kabel demi mengajarkan cara meletakkan dasar sistem yang benar.

Kawan non muslim berpikir secara esensi, bahwa pekerjaan duniawi tapi kemudian melanggar aturan agama dengan batal berpuasa bukanlah tujuan kawan muslim. Maka dia rela memberi kemudahan dengan mengambil jatah tugas terberat.

Kru berpikir secara esensi, bahwa kebersamaan informal sangat penting untuk bisa saling memahami watak dan kepribadian yang lain, maka diadakanlah wisata kuliner.

Jika hanya berpikir secara struktur dan wewenang,
Maka Pak PO pasti akan gengsi untuk menggulung kabel dan lebih memilih berteriak menyuruh helper.
Maka kawan non muslim akan egois membagi tugas sama berat dengan muslim yang berpuasa.
Maka tidak akan ada wisata kuliner sebagai sarana berbagi cerita, yang foto-fotonya langsung diupload di facebook hehehe…

Yup, bukankah lebih enak bekerja dalam suasana riang
Karena dalam kegembiraan itulah, sebuah kreatifitas liar biasanya spontan tercipta
Bukankah lebih nikmat berbagi tugas dalam keikhlasan
Karena semua rekan dianggap sederajat dan seimbang

Tak ada yang berteriak mencari “kambing hitam”, jika urung mencapai keberhasilan
Kesalahan satu orang adalah kesalahan satu tim yang lalai mengingatkan
Tak ada yang arogan bercerita tentang kehebatan individu
Karena masing-masing sadar untuk berbagi peran

Tatkala orang lain mendesain interior artistic nan lux, guna memancing imajinasi kreatif
Kami membangun imajinasi dari pojok tukang roti bakar pinggir jalan yang sederhana
Tatkala orang lain memasang sofa kulit yang nyaman, guna merancang ide brilian
Kami menemukan ide unik justru dari kepulan asap jagung bakar yang memedaskan mata

Jadi, sebenarnya ini tim konflik, solid atau hura-hura?


Celesta, 22 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Budaya Islam Abangan, Isu Teroris dan Kesalahpahaman Masyarakat Dalam Menilainya

10.32 / Diposting oleh Phyrman / komentar (1)

I. Pendahuluan
Pada harian Kompas (Minggu, 23/08/2009) halaman 4, ada berita tentang penghakiman masyarakat terhadap budaya islam abangan terkait maraknya isu terorisme paska ledakan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot, Mega Kuningan, Jakarta.

Judul : “Dihadang Warga karena Berjenggot dan Bercadar”,
Cuplikan isi berita :
“Sial nian nasib suami istri Daud dan Kasitri gara-gara berjenggot dan bercadar, keduanya dihadang dan diinterogasi habis-habisan oleh sejumlah warga seusai bersembahyang di Masjid Al Barokah Kampung Kedinding, Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten. Bahkan, keduanya sempat dibawa ke markas polisi…..” (Kompas, Minggu, 23/08/2009).

Berita tersebut mewakili maraknya kasus-kasus sejenis tentang terjadinya benturan budaya antara masyarakat muslim sekuler dengan budaya islam abangan yang berciri seperti diatas. Kendati tidak secara langsung menuduh bahwa ajaran islam abangan ini sangat dekat dengan keyakinan teroris yang dianalogikan polisi sebagai teroris jaringan Noordin M Top, yang merupakan sempalan Jamaah Islamiyah garis keras, namun akibat pemberitaan media massa yang bertubi-tubi tanpa adanya berita pembanding, maka opini masyarakat pun tergiring bahwa dalam kehidupan sosialnya para buronan teroris akan berpenampilan seperti rilis pihak kepolisian. Dampaknya adalah pembentukan persepsi masyarakat terhadap ciri profil buronan teroris, sehingga ketika menemukan orang, atau sekelompok orang yang berpakaian baju koko, celana menggantung, dan berjenggot akan dicurigai sebagai teroris.

Pertanyaannya adalah kenapa masyarakat yang sebelumnya bisa hidup berdampingan dengan budaya tersebut diatas, kemudian berubah menjadi curiga dan khawatir?

II. Landasan Teori
a). Pengertian budaya
Budaya dalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang dan waktu, konsep alam semesta, obyek-obyek materi, merupakan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Budaya sebagai alat untuk memahami perilaku manusia atau orang lain seringkali tidak dimaksimalkan manfaatnya. Mestinya perspektif yang obyektif harus digunakan untuk mengimbangi subyektifitas dalam memandang perbedaan budaya. Budaya muncul bukan karena kebetulan saja, budaya merupakan hasil proses adaptif manusia terhadap lingkungannya baik secara fisik dan biologisnya. Lalu diturunkan, diwariskan pada keturunannya terus menerrus hingga tidak disadari dari mana asal warisan kebijakan tersebut.

b). Memahami Perbedaan budaya
Perbedaan budaya adalah perbedaan “dunia” seseorang dalam kaitannya dengan komunikasi, kita harus mampu menengok “dunia”mereka yang berbeda dengan dunia kita dan berkata dalam dunia mereka.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada suku bangsa dan kebudayaan. Keanekaragaman tersebut menimbulkan berbagai permasalahan dalam komunikasi interpersonal lintas suku bangsa, dikarenakan perbedaan persepsi dalam penerimaan pesan saat berkomunikasi.

Dalam kehidupan yang multikultural seperti di Indonesia ini, perlu untuk memahami apa yang terjadi dan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi permasalahan perbedaan budaya. Semakin kita mengenal budaya orang lain, semakin terampilah kita memperkirakan ekspektasi orang lain dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Jika hal ini berhasil maka pencapaian tujuan dalam kehidupan akan terwujud sesuai target. Kunci pokok yang dapat mengantarkan kita ke dalam tujuan besar itu diperlukan pemahaman akan perbedaan budaya yang ada dan mendasari latar belakang perilaku seseorang dan pemahaman akan sebuah komunikasi antar budaya diantara pelaku komunikasi tersebut.

c). Komunikasi antar budaya
“Intercultural communication is the art of understanding & being understood by the audience of another culture” (Sitaram, 1970), komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami & dipahami oleh khalayak yang memiliki budaya yang berbeda.

“Intercultural communication is communications which occurs under condition of culture, different – language, values, costumes & habits” (Stewart, 1974), komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

d). Benturan budaya
Benturan budaya terjadi karena perbedaan budaya dalam persepsi, keyakinan dan sebagainya.

e). Konstruksi sosial atas realitas oleh media massa
Dalam buku; Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisis Semiotik dan Analisi Framing, karangan Alex Sobur, ada beberapa definisi Konstruksi sosial atas realitas oleh media massa:

Dalam pandangan Gaye Tuchman mengenai sifat dan fakta media massa, “disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita.” (hal.88)

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”. (hal.87).

Menurut Alex Sobur; “Ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain; misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal. Kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.” (hal.30)

III. Pembahasan
Kalau kita mengikuti perkembangan berita-berita di media massa Indonesia paska serangan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot Jakarta, 27 Juli 2009. Maka akan tampak ciri-ciri buronan teroris yang diduga kuat oleh Polri sebagai jaringan pelaku, yaitu:
- Biasanya berpakaian; baju koko, peci putih, dan celana tinggi (menggantung).
- Biasanya berjenggot.
- Biasanya rajin sholat di masjid/mushola terdekat.
- Biasanya ramah dan baik dengan tetangga, namun orangnya agak tertutup.
- Biasanya menyimpan Al quran dan buku-buku berbahasa arab di rumahnya.
- Biasanya memasang kaligrafi atau stiker tentang jihad di rumahnya.
- Biasanya pendatang baru dan suka berpindah kos.

Profil tersebut adalah gambaran penampilan fisik, budaya berpakaian, dan perilaku keseharian yang biasa dijalankan oleh mayoritas islam abangan di Indonesia. Adanya persamaan profil teroris yang dirilis pihak kepolisian dengan budaya islam abangan, tentunya bisa menciptakan terjadinya perubahan persepsi masyarakat terhadap budaya tersebut. Dan hal ini bisa menyebabkan terjadinya benturan budaya antara masyarakat umum Indonesia yang didominasi oleh muslim garis tengah (sekuler) dengan masyarakat yang kuat memegang budaya islam abangan.

Sebelum terjadinya ledakan bom di kedua hotel yang menyebabkan 56 warga meninggal dunia, nyaris tidak pernah benturan budaya diantara mereka. Semua hidup rukun berdampingan, berusaha saling memahami dan menghormati terhadap ketaatan menjalankan ajaran agama masing-masing. Semua disatukan oleh besarnya toleransi antar budaya.
Lalu kenapa persepsi masyarakat bisa berubah sedemikian cepat? Dari yang sebelumnya saling toleransi berubah menjadi curiga dan khawatir.

Menurut pendapat penulis, hal itu disebabkan besarnya pemberitaan media massa dalam memberitakan isu-isu teroris tersebut kepada masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan, usai terjadinya bom, hampir semua headline media massa terfokus pada penyelusuran jejak pelaku bom tersebut. Setiap hari media massa merilis perkembangan kasus perburuan teroris oleh pihak kepolisian. Keterbatasan narasumber alternative yang mengerti tentang “dunia teroris” menjadikan rilis kepolisian menjadi satu-satunya kebenaran tentang buronan teroris. Dan kebenaran itu sangat dipercaya oleh masyarakat yang menjadi komunikan dari isi pesan media massa.

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”(Dalam Alex Sobur;2001).

Kebenaran rilis kepolisian yang ditayangkan media massa, oleh masyarakat kemudian dianggap menjadi kebenaran sejati tentang profil buronan teroris. Akibatnya masyarakat menjadi sangat percaya, bahwa dalam kehidupan sosialnya, para pelaku terror itu berbudaya (pakaian, perilaku-red) seperti itu. Dampaknya adalah masyarakat islam abangan yang memiliki ciri budaya seperti itu dicurigai oleh masyarakat lain sebagai pelaku teroris.

Adanya rasa curiga, khawatir dan takut terhadap pelaku teror (yang juga digambarkan media massa, sebagai manusia yang berwatak kejam dan nekat), menjadikan masyarakat bersikap agresif dan preventif terhadap warga yang berciri sama. Akibatnya sering terjadi benturan budaya, dimana masyarakat yang curiga itu, lalu menangkap, menginterogasi dan menghakimi orang atau sekelompok orang islam abangan, yang berpakaian seperti profil teroris versi polisi.

Hal ini tentu sangat berbahaya, karena jika ada provokator yang menghembus-hembuskan isu SARA terhadap masyarakat yang sedang “galau” akibat pemberitaan media massa. Bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi konflik antar budaya atau perlakuan tindak kekerasan terhadap budaya lain.

“Intercultural communication is communications which occurs under condition of culture, different – language, values, costumes & habits” (Stewart, 1974), komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

Komunikasi antar budaya yang efektif harus dijalankan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini penting untuk mencoba memahami budaya islam abangan terkait kepercayaan yang mereka yakini dalam pelaksanaan agama islam. Harus ada usaha untuk mempersamakan persepsi bahwa budaya islam abangan bukanlah budaya teroris. Dan teroris tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya mereka, kendati secara penampilan fisik mungkin sama.

Untuk mencegah hal tersebut berkembang ke arah negatif, maka dibutuhkan dialog antar tokoh masyarakat kedua budaya tersebut (islam abangan dan muslim sekuler) untuk menyamakan persepsi tentang terorisme yang terjadi di Indonesia. Pemerintah mempunyai kewajiban memfasilitasi adanya dialog tersebut. Dengan adanya dialog yang terbuka, maka masyarakat akan semakin mengenal budaya orang lain.

Semakin erat komunikasi antar budaya terjalin, maka semakin terampilah kita memperkirakan ekspektasi orang lain dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Jika hal ini berhasil maka pencapaian tujuan dalam kehidupan akan terwujud sesuai target. Kunci pokok yang dapat mengantarkan kita ke dalam tujuan besar itu diperlukan pemahaman akan perbedaan budaya yang ada dan mendasari latar belakang perilaku seseorang dan pemahaman akan sebuah komunikasi antar budaya diantara pelaku komunikasi tersebut. (Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat;1993)

Kesalahan komunikasi (pemahaman-red) masyarakat umum terhadap kelompok islam abangan yang berbudaya khas tersebut, akibat bombardir pemberitaan media massa tentang profil buronan teroris, sudah selayaknya disikapi dengan bijaksana. Media massa harus cooling down dalam memberikan isu teroris dengan memperhatikan dampak negatifnya bagi kerukunan masyarakat. Media massa harus bisa memilih angle berita yang jernih agar tidak memprovokasi masyarakat. Disamping itu, pemerintah dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) juga harus memberikan gambaran yang utuh tentang buronan teroris, sehingga tidak dipahami masyarakat secara parsial. Pemerintah tidak boleh melakukan penghakiman dengan menebarkan rasa takut pada masyarakat terkait gerakan terorisme. Karena penanganan terorisme adalah tugas aparat hukum, jangan sampai “kegagalan” dalam menumpas terorisme, kemudian dialihkan pada penyebaran rasa takut yang mengakibatkan masyarakat tidak bisa berpikir rasional.

Masyarakat yang bisa memahami budaya orang lain, akan menghindarkan terjadinya konflik antar budaya. Rasa empati dan simpati yang besar, akan menggiring pada toleransi antar budaya yang kuat. Sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika, untuk menuju bangsa yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur alias gemah ripah loh jinawi.


By: Dwi Firmansyah


Daftar Pustaka

Buku:
Alex Sobur, Analisi Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisi Semiotik dan Analisi Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993

Diktat:
Nani Nurani Muksin S.Sos M.Si., Diktat Komunikasi Antar Budaya,
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2003

Label:

Yang Terpinggirkan

10.28 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Tercekat
Terikat
Terpenjara
Pasrah

Hanya air mata tercucurkan
Saat menatap si buah hati mengelus perut yang hampa
Hanya emosi tertahankan
Saat menghitung butiran beras tersisa

Hanya kemarahan yang terucapkan
Saat tak ada lagi kepedulian sesama
Hanya amuk yang dapat terlampiaskan
Saat tak ada lagi jalan meretas asa

Satu usaha kebaikan telah dicoba
Satpol PP menghancurkannya
Usaha kedua dengan meminta-minta
Perda lalu menghukumnya

Tatkala tangan-tangan kekuasaan mencengkram
Lalu budaya sedekah menjadi haram
Tatkala jari-jari kapitalis hanya memilih yang terberkah
Lalu adat konsumsi menjadi sunah

Lalu kepada siapa akan bergantung?

Kaadal faqru ayyakuuna kufron…
Sesungguhnya kefakiran akan mendekatkan kepada kekafiran


Celesta, 9 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Televisi: Industri Kreatif atau Toko Kelontong Kreatif?

06.38 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Persaingan ketat industri televisi dalam memperebutkan kue iklan yang mengecil, tentunya akan menghasilkan inovasi-inovasi yang kreatif. Masing – masing stasiun tegerak untuk menciptakan program yang baru guna menjaring masyarakat untuk tetap setia di layar kaca miliknya. Beragam program muncul; reality show dengan beragam genre, konser musik dengan berbagai kemasan, sinetron dengan variasi tema, hingga tayangan berita eksklusif yang mirip reality show.

Semuanya demi rating.

Puncak industri kreatif televisi dalam memproduksi program-programnya secara inhouse dan massal, dipelopori oleh TransTV. Sejak berdiri beberapa tahun silam, televisi milik bos grup Para, Chairul Tanjung ini, memproduksi hampir semua programnya sendiri. Dari acara hiburan seperti extravaganza, program dokumenter Jelajah dan Wisata Kuliner, hingga infotainment pun dikelola sendiri. Strategi ini ternyata cukup efektif dalam memperkuat ekonomi perusahaan, karena biaya produksi bisa sangat efisien, apalagi jika memakai tenaga kerja muda yang rela dibayar standar. Terbukti hanya dalam waktu 3 tahun TransTV mampu bersaing masuk dalam 5 besar televisi nasional. Nasib ini berbeda dengan stasiun TV lain yang lahir hampir bersamaan yaitu TV7, Lativi, dan MetroTV. TV7 diakuisisi dan merger dengan TransTV lalu berganti nama menjadi Trans7. Lativi berganti kepemilikan dan berubah namanya menjadi TVOne. Sedangkan Metro tetap berada dalam posisi buncit dalam perolehan billing iklan.

Fenomena naiknya TransTV dengan format program non drama yang notabene “berbeda” dengan televisi yang sudah mapan saat itu, menjadi tren tersendiri bagi pemirsa. Tren program reality show; baik program lisensi asing maupun original karya anak bangsa sangat dinikmati oleh masyarakat yang saat itu sudah jenuh dengan tayangan sinetron dari pagi sampai malam. Program extravaganza menjadi top rating hingga kemudian ditayangkan daily, usai merger Trans7 menggebrak dengan Program dialog Empat Mata yang dibawakan secara komedi oleh artis kocak Tukul Arwana. RCTI memiliki program lisensi Who Wants to be Millionare? Dan sebagainya.

Namun ternyata eforia tersebut tidak berlangsung lama. Masyarakat kemudian dibuat muak oleh tayangan reality show yang cenderung bertema sama, contohnya format charity reality show ada berbagai judul; Bedah Rumah di RCTI, Toloooong di SCTV, Seandainya Aku di Trans TV dll. Masyarakat dibuat berpaling setelah menumukan banyaknya kebohongan dan eksploitasi terhadap orang miskin yang menjadi tokoh dalam program tersebut.

Dalam 2 tahun terakhir terjadi perubahan arah angin, masyarakat kembali menggemari program drama atau sinetron. Tema yang diangkat pun sejenis, yaitu mistis, religi dan hantu. Ketiga tema tersebut seringkali diramu dalam satu kemasan program. Kembalinya tren sinetron ini membuat stasiun televisi terpaksa mengikuti arah pasar. Rumah produksi drama yang sebelumnya sempat mati suri akibat maraknya program non drama, kembali mendapat suntikan darah segar.
Adanya larangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang melarang sinetron mistis dan hantu, membuat stasiun televisi menggeser tema nya. Maka sinetron bertema cinta, perselingkuhan, perceraian, konflik keluarga pun kembali marak. Tiadanya alternatif program non drama yang bagus, membuat program sinetron marak hingga sekarang. Hampir semua televisi memiliki sinetron bahkan beberapa stasiun televisi mengandalkan programnya dari sinetron.

Program televisi saat ini nyaris seragam. Sinetron, sinetron dan sinetron.

Fenomena ini sebenarnya sangat berbahaya bagi para pekerja kreatif televisi, karena mereka kehilangan “lapak” untuk menyalurkan kreatifitas dan karya-karyanya. Secara ekonomi, hampir 100% program sinetron yang ada adalah buah karya production house, bahkan kalo dipersempit lagi hanya sekitar 3 rumah produksi besar yang menguasai mayoritas sinetron di berbagai televisi nasional.

Fenomena dagang program ini, bukan tidak mungkin akan menghilangkan daya kreatif industri televisi. Karena stasiun televisi atas nama efisiensi akan memilih menjadi “toko kelontong” program yang ditawarkan production house. Stasiun televisi tidak harus menggaji besar para pekerja kreatif, mereka cukup membeli “barang” dari suplier yaitu rumah produksi dan menjual kembali dengan keuntungan yang cukup oleh departemen marketing.

Jika stasiun televisi kehilangan visi misi nya dan memilih menjadi kapitalis murni yang hanya menghitung untung rugi, maka menjadi “toko kelontong” adalah pilihan yang tepat. Perusahaan cukup memiliki departemen programming, marketing, on air, dan beberapa departemen pendukung dengan karyawan yang relatif sedikit. Sedangkan departemen kreatif seperti departemen produksi dan pemberitaan, yang dulu menjadi tulang punggung program televisi, bisa jadi akan diminimalkan. Karena diluar sana akan bermunculan perusahaan “content provider” yang bisa negosiasi harga dan jual beli putus tanpa ikatan dan tuntutan hukum dikemudian hari.

Ah, semoga ini hanya mimpi burukku…

Bangun! Bangun! Udah sahur nich hehehe…

Sency, 4 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label: