Jejak Tsunami Aceh

21.10 / Diposting oleh Phyrman /

Jakarta, 26 Desember 2004
Hubungan komunikasi dengan aceh terputus, tak ada yang tahu kondisi sebenarnya dari kota serambi mekah saat itu. Info terakhir sebelum jaringan listrik dan telkom putus, hanyalah kabar bahwa puluhan orang meninggal karena air laut bergelombang menerjang pusat kota aceh.

Jiwa petualanganku bergejolak, rasa penasaranku untuk menyaksikan kekejaman alam selalu bangkit, aku selalu berharap bisa menjadi saksi sejarah sebuah bencana, betapapun menyedihkan atau menyeramkan peristiwa itu. Tetapi aku selalu berhasrat untuk mendatanginya, seberat apapun medan yang mungkin akan dihadapi.
Setengah iseng setengah berdoa,ku sms koordinator kameramanku; “mas, kalo butuh volunteer ke aceh, gw mau dong…”
Saat itu aku tidak terlalu berharap akan diberangkatkan, karena biasanya untuk sebuah peristiwa besar, kameraman seniorlah yang akan dikirim. Sedangkan aku saat itu baru 1 tahun bekerja.

Empat lima jam berlalu, tiba-tiba ringtone hp ku berdering.. wah, dari nomor kantor nich, seruku setengah berharap. Suara korkam ku terdengar disana, “Bro, besok berangkat ke aceh yaa.. Gak usah pake reporter, sendirian aja. Elo berangkat sambil bawa genset bareng anak teknik, soalnya teman2 yang sudah berangkat tidak bisa live karena semua jaringan listrik dan telpon putus. Hati-hati aja karena informasi kondisi aceh terakhir sangat minim. Elo besok berangkat ikut rombongan PKS (Partai Keadilan Sejahtera-red). Ok, siap mas!!! Jawabku singkat. Trus, untuk SPJ, besok minta ke sekred aja, malam ini gw urus, kata korkam melanjutkan. Ok, Siapp!! Jawabku lagi.

Jakarta, 27 Desember 2004
Esok paginya kupersiapkan kamera Sony DSR PD 170 yang mungil, sengaja kantor menyiapkan kamera “kecil” untuk liputan bencana, guna menghindari kegagalan mendapat gambar karena faktor alam yang belum terprediksi. Dengan diantar sopir kantor, aku dan 2 anak teknik ditambah 1 genset ukuran sedang, meluncur ke bandara soekarno-hatta cengkareng.

Jalan menuju daerah bencana memang selalu berliku, masih di bandara, masalah kecil muncul, gara-gara misinterpretasi antara koordinator teknik dan rombongan panitia PKS tentang ukuran genset, perjalanan terhambat beberapa jam. Ternyata genset yang SCTV bawa terlalu besar untuk masuk pintu pesawat penumpang, sedangkan bagasi pesawat sudah penuh oleh barang-barang bantuan dari sohib-sohib PKS. Akhirnya terjadi negosiasi dan disepakati untuk repackage barang-barang di bagasi, agar genset bisa masuk ke dalamnya.

Sore nan indah diatas awan, matahari berpendar kuning saat sunset, awan-awan putih berarak ceria di sepanjang jalur pesawat. Iringan bacaan ayat suci alquran tidak pernah putus dikumandangkan dengan lamat-lamat oleh sohib-sohib PKS. Suasana hatiku benar-benar tenang dan tentram, sampai terbersit pikiran nakal di benakku, mungkin jika terjadi kecelakaan pesawat, aku akan ikut menjadi syahid bersama mereka hehehe.

Medan, 27 Desember 2004
Keruwetan mulai tampak sesampainya di bandara Polonia Medan. Puluhan bahkan ratusan orang berlalu-lalang di sekitar bandara. Ribuan kardus mie instan, minuman, obat-obatan menumpuk hanggar pesawat milik TNI AU yang dirubah menjadi gudang penampungan bantuan. Informasi sudah semakin jelas, bahwa tsunami aceh telah merenggut nyawa ribuan orang dan menghancurkan segala fasilitas dan infrastruktur di kota yang pernah menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) itu.

Pesawat pengangkut manusia tidak diperbolehkan masuk ke aceh, prioritas utamanya adalah pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan. Aku dan rombongan PKS terjebak di medan, kebijakan darurat TNI saat itu adalah melarang pesawat penumpang terbang ke aceh. Semua relawan dan keluarga korban harus menggunakan angkutan darat untuk menuju aceh.

Kecepatan kantor untuk segera menyiarkan berita tsunami aceh secara langsung, sangat tergantung pada genset yang kita bawa. Aku segera menelepon manajer liputan untuk menceritakan kondisi saat itu dan meminta pihak kantor untuk membuka lobi dengan pejabat TNI, agar aku dan 2 temen teknik bisa menumpang pesawat bantuan ke aceh.

Beberapa jenderal dan kolonel dari berbagai angkatan di TNI telah dikontak, tapi tetap aja hasilnya nihil. Padahal salah satu reporter SCTV adalah anak seorang panglima Angkatan Udara yang saat itu masik aktif. Tetapi tetap aja nihil..

Beruntung teman-teman PKS punya niat yang kuat untuk menjadi partai pertama yang masuk memberi bantuan ke daerah yang hampir 100 persen muslim itu. Mereka menyewa 1 bus dan 1 truk pembawa barang bantuan. Akhirnya kita berangkat menggunakan jalur darat, aku dan 1 teman teknik ikut bis, sedangkan 1 teman teknik lainnya naik truk untuk mengawal genset yang menjadi tanggung jawabnya itu.

Banyak cerita lucu sepanjang jalur darat. Selama hampir 12 jam perjalanan, beberapa kali bis PKS dihentikan oleh dua kubu yang masih bertikai. Pemeriksaan pertama, menjelang masuk perbatasan propinsi Sumatra Utara – Aceh, serombongan anggota TNI berseragam lengkap dengan senjata laras panjang, masuk dan memeriksa para penumpang bus. Mereka berpesan agar berhati-hati terhadap anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang masih berkeliaran. Aku langsung berpikir, dalam kondisi bencana sebesar ini kok ya masih berpikir untuk berkonflik dengan rakyatnya sendiri.

Sekitar 2 jam kemudian, didaerah biereun yang menjadi basis utama GAM, bis kami dihentikan oleh 3 anggota GAM dengan bersenjata AK 47 buatan Russia. Mungkin karena sebelum masuk bis, mereka sudah membaca spanduk rombongan PKS yang dianggap saudara sesama muslim, mereka tidak mengganggu. Salah satu anggota GAM itu hanya masuk dan berdiri di samping sopir, lalu berkata sambil tertawa penuh rasa bangga, bahwa dalam peperangan melawan TNI, GAM tidak pernah bisa membunuh banyak tentara, tapi dalam tsunami aceh, ratusan bahkan mungkin ribuan anggota TNI tewas. Mungkin ini adalah kutukan Tuhan, katanya. Dalam hatiku aku berkata, mungkin ini adalah efek dari sebuah perang yang terjadi tanpa alasan yang jelas. Sehingga orang menjadi kehilangan nuraninya, bahkan hati mereka pun tidak tersentuh oleh kematian saudara sebangsa, kendati yang meninggal itu mengenakan baju loreng.

Aceh, 28 Desember 2004
Pagi menjelang, matahari perlahan-lahan menyinari kota yang penuh aroma kematian. Bau bangkai mulai tercium disepanjang jalan kota, puluhan mayat yang belum dievakuasi masih terjajar di pinggir jalan. Bis kami akhirnya berhenti di Kantor Cabang PKS sekitar 5 KM dari bandara Blang Bintang Aceh.
Dengan tertawa tertahan, teman-temanku reporter dan kameraman yang sudah sampai dulu, menjemputku sambil berkata : “welcome to the jungle! Kayaknya berat badanmu bakal turun banyak dalam liputan ini hehehhe…”

Sebagai awal kerja, tim liputan SCTV bermarkas di hanggar pesawat Bandara Blang Bintang. Ini adalah pilihan yang tepat, karena kita bisa bergerak cepat jika ada rombongan pengirim bantuan terbang ke daerah lain. Pada awal liputan tsunami ini, SCTV memberangkatkan lebih dari 15 kru, di banda aceh ada reporter: nurul amin, zulkarnain meinardi, dan diuvina oktora, kameramen: effendi kasah, taufik maru, frans ambudi dan aku sendiri. Presenter ada bayu sutiyono dan rosiana silalahi, produser yang hadir ada daeng rahman. PD SNG: andi patra, Kru teknik: 3 orang, Unit : Herra Amaliyah, Lalu ada tambahan 4 koresponden Aceh. Di Meulaboh ada reporter miko toro dan kameraman akhem mona.

Aceh, 29 Desember – 10 Januari 2004
Hari ini adalah hari pertamaku liputan tsunami aceh, perutku langsung mual karena tak tahan bau mayat yang menyengat. Masker yang kupakai seakan-akan tidak mampu menahan bau itu. Dengan menyewa ojek khas aceh, yaitu sepeda motor yang diberi boncengan tambahan untuk penumpang, aku meluncur menuju jembatan penayungan di dekat pantai. Aku mendapat tugas meliput evakuasi mayat yang ada disepanjang sungai penayungan bersama tim SAR TNI AL. Dengan menggunakan perahu karet kita berlayar menuju kumpulan mayat yang hanyut di sepanjang aliran sungai.

Tiba-tiba hatiku terasa dingin, tidak ada lagi rasa mual atau bau bangkai yang sebelumnya terasa menyengat, padahal tepat dibawahku, dibawah perahu karet yang mengangkutku, ribuan manusia yang menjadi korban keganasan tsunami masih terapung disitu. Aku terkesima dan setengah bersyukur pada Tuhan, bahwa aku telah diberi kesempatan untuk melihat sebuah sejarah keganasan alam yang membunuh sekitar 200 ribu manusia.

Kamera PD 170 ku bergerak pelan-pelan, sambil terus mencari angle yang menarik. Tapi mataku tetap tidak bisa focus pada viewfinder. Kutatap satu persatu wajah kumpulan manusia yang ada disekelilingku, sepi, hampa, dan kosong. Tiba-tiba aku berpikir dangkal, bagaimana cara anggota keluarga yang masih hidup mencari keluarganya yang menjadi korban? Sementara ada ribuan bahkan mungkin puluhan ribu mayat terkumpul disini.

Hari berikutnya, aku mendapat tugas menemani reporter nurul amin untuk meliput kapal pembangkit listik berbahan bakar batu bara yang terlempar sejauh 5 KM dari pinggir laut. Begitu sampai di lokasi, kami berdua langsung tercengang, dari bibir nurul amin tak henti-hentinya bertasbih dan bertakbir menyebut asma Allah SWT, subhanallah, allahu akbar. Bagaimana mungkin, kapal seberat 250 ton bisa terlempar sejauh itu? Seberapa besar kekuatan yang diperlukan untuk mengangkat kapal tersebut dan melemparkannya ke daratan? Lalu bagaimana nasib manusia yang sedang berada di dalam rumah, sedangkan rumahnya kemudian tertimpa kapal? Dan mungkinkah kita membayangkan cara mengevakuasinya? Tuhan memang Maha Perkasa.

Liputan-liputan selanjutnya berjalan biasa saja, mengalir apa adanya. Kita sudah mulai ditugaskan untuk membuat feature,dan human interest warga aceh yang masih selamat.
Salah satu koresponden SCTV, kita biasa memanggilnya Bang ferry, kehilangan istri dan 1 anaknya. Bang Ferry selamat berkat peliputan. Sesaat setelah gempa pertama, bang ferry bergegas meninggalkan rumahnya untuk meliput korban gempa di wilayah lain. Dan moment itulah yang menyelamatkannya dari tsunami tetapi sekaligus membuatnya harus berpisah dengan istri tercintanya dan si bungsu.

Setelah berhari-hari mencari tanpa kenal lelah, bang ferry akhirnya berhasil menemukan anak sulungnya yang selamat dari tsunami, di sebuah penampungan. Sang anak bercerita tentang tindakan heroik sang ibu dalam menyelamatkan adik bungsunya, walaupun akhirnya berujung pada kekalahan. Menurut si sulung, saat tsunami datang, semuanya terseret arus sejauh beberapa puluh meter, si sulung dan sang ibu akhirnya berhasil berpegangan pada sebuah pohon kelapa dan memanjatnya untuk menghindari air bah. Namun sang ibu melihat si bungsu terseret arus tanpa mampu berpegangan karena masih kecil. Akhirnya sang ibu melepaskan pegangannya, demi menyelamatkan nyawa sang adik, namun ternyata Tuhan berkehendak lain.

Romantika pertikaian TNI vs GAM, kekuatan alam yang maha dahsyat dan aksi heroik sang ibu demi meyelamatkan anaknya, merupakan sisi lain liputan tsunami aceh yang tidak mungkin dan tidak akan pernah aku lupakan. Sisi-sisi inilah yang membuatku mencintai dunia jurnalistik, sebuah profesi yang membuatku bisa menjadi saksi sejarah sebuah peristiwa dan berharap untuk bisa terus membaginya kepada orang lain

Celesta, 25 Desember 2008


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar