Mourinho, Sang Peracik Kesempatan

06.37 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Ada dua hal yang menginspirasi saya untuk ikutan nimbrung berbagi cerita tentang pentingnya memberi sebuah kesempatan. Yang pertama adalah curcol (curhat colongan-red) dari seorang sahabat yang saya akui kehebatan dan profesionalitas nya dalam bekerja dan yang kedua adalah artikel dari penulis gaya hidup idola saya, Samuel Mulia, di harian Kompas 9 Mei 2010.

Seorang sahabat saya dalam suatu kesempatan bercerita tentang sistem di kantornya, yang menurutnya agak aneh. Mendengar kata aneh, yang berkonotasi dengan nyleneh, saya langsung serius tertarik mendengarnya. Di kantornya, kawan saya merasa sudah mencurahkan segenap karya dan rasa dengan titik keringat terakhir untuk memberi yang terbaik bagi perusahaan, tetapi selalu tidak pernah diberi kesempatan untuk promosi jabatan. Dan ketika dia berusaha menanyakan ke atasan, didapat jawaban yang cukup mengiris hati; “soalnya kamu tidak pernah mengeluh ke saya untuk naik jabatan, sedangkan yang lain sudah berulangkali curhat. Jadi saya pikir kamu sangat menikmati jabatanmu selama ini.

Lho, kok bisa?? Bagaimana mungkin sebuah kesempatan promosi jabatan hanya didasarkan pada curahan hati, bukan pada kemampuan? Seseorang yang tidak pernah mengeluh terhadap pekerjaannya, demi atas nama profesionalitas, kemudian dituduh “menikmati” pekerjaannya sekarang, sehingga tidak diberi kesempatan bersaing mencapai promosi. Sementara orang lain yang selalu mengeluh dengan pekerjaannya, malah lebih diapresiasi hanya dengan alasan biar tidak mengeluh lagi.

“Persaingan kesempatan” tertutup bagi para professional yang mau belajar, tetapi hanya milik para pengadu dan pencurhat. Sebuah nepotisme terselubung yang mendasarkan pada kedekatan pribadi. Sistem nepotisme hanya akan melahirkan persaingan tidak sehat antar karyawan dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Nah lho, kalo sistemnya begini bukannya malah enak, jadilah si pengeluh agar bisa dapat kesempatan promosi hehehe…

Samuel Mulia menulis tentang ke”iri”an hatinya terhadap Roberto Cavalli, perancang mode Italia, yang berani mengelar festival mode dengan model baru dan membuat iklan produk nya dengan lebih memilih memakai jasa fotografer baru. Samuel dengan jeli mengkritisi kebiasaan mayoritas orang, yang dia representasikan dengan dirinya, yang ketika menjadi pemimpin lebih suka memilih orang-orang terbaik yang sudah “jadi” daripada memberi kesempatan kepada orang ”belum ternama” untuk berkembang. Roberto Cavalli disebutnya sebagai orang yang mau bekerja keras membabat hutan untuk menemukan batu berlian mentah, bukan tipe orang yang hanya berani memamerkan berlian polesan.

Soal menyoal menjadi pemimpin yang baik, saya langsung teringat allenatore idola saya, Jose Mourinho, pelatih tim sepak bola Inter Milan yang saat ini sedang berusaha meraih gelar treble. Kendati merupakan sosok pelatih kontroversial dan dibenci media, tetapi saya menyukainya karena kecerdasannya dalam meracik tim. Mr Mou mampu merubah anak buahnya dari bukan siapa-siapa menjadi tim yang disegani lawan. Dia sosok pelatih yang tidak peduli bagaimana kualitas awal pemain-pemainnya, karena baginya, salah satu tugas pelatih adalah merubah dari yang “tidak berkualitas” menjadi “berkualitas”. Dalam perjalanan karirnya, Mr Mou mampu menyulap FC Porto, sebuah tim kecil asal negerinya Portugal, menjadi juara Liga Champion, yang biasanya merupakan langganan milik tim sepakbola kaya Eropa, seperti MU, AC Milan, atau Real Madrid.

Satu hal yang menginspirasi dari sosok Mourinho adalah keberaniannya melawan mainstream, dan kenekatannya melawan keinginan pihak lain yang sering mempengaruhi sebuah kebijakan. Dia tidak peduli citra, yang dia pedulikan adalah karya. Contoh kasus adalah ketika salah satu pemainnya, Mario Balotelli, mendapat kecaman dari para internisi (fans Inter Milan-red) saat bermain buruk dan membuang kostum usai pertandingan, sehingga diserang oleh salah satu pemain Inter dan nyaris dikeroyok oleh internisi di luar stadion. Saat itu pendukung Inter mendesak Mourinho agar mendepak Bolatelli dari skuad, karena dianggap menghina dan melukai perasaan internisi.

Namun Mourinho tetaplah Mourinho, sosok yang berani melawan tekanan luar, seberapapun besar desakan itu. Mou cuek dan membela Bolatelli dengan memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri dan agar bisa menjadi bagian dari skuad inti. Sang Manajer tetap memberinya kesempatan untuk bermain guna mengembalikan potensi Balotelli ke permainan terbaiknya. Walhasil, dalam pertandingan melawan Chievo, Balotelli membayar kepercayaan Sang Boss, dengan turut menyumbangkan gol penting dalam memuluskan usaha meraih gelar scudetto Serie A Italia.

Pun ketika salah satu striker terbaiknya, Zlatan Ibrahimovic, yang telah turut menghantarkan Inter meraih scudetto 3 kali berturut-turut, lebih memilih hengkang ke klub terbaik dunia saat ini, FC Barcelona, dan dijual dengan harga fantastis. Mou tidak tergoda menghambur-hamburkan uang hasil penjualan tersebut untuk membeli pemain-pemain terbaik dari klub lain, guna memperkuat skuad, tapi lebih memilih memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang sudah dimilikinya untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi tim. Dan hasilnya adalah Inter Milan mampu menumbangkan FC Barcelona dalam semifinal Liga Champion.

Keberanian memberikan kesempatan yang sama, akan melahirkan persaingan yang sehat bagi anak buahnya, semua orang akan terpacu untuk menunjukkan kinerja terbaiknya, jika diberi kesempatan untuk tampil. Dengan memberi kesempatan, sang pemimpin cukup berdiri memantau dan sesekali bertepuk tangan melemparkan pujian bagi anggota tim yang sukses berkontribusi.

Seperti sosok Mourinho yang ekspresif bertepuk tangan dari pinggir lapangan, kala para pemainnya berpesta gol ke gawang lawan.
Forza Inter Milan!!!
Fiva Mourinho!!!

Celesta, 11 Mei 2010

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Bermimpi yang (tidak) Membumi…

12.57 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Ada satu kalimat inspiratif dari novelis Andrea Hirata yang banyak menyentuh hati penggemarnya; “Dan bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpimu…”. Sebuah kalimat yang menjadi tag line bagi karyanya paling populer Laskar Pelangi. Kumpulan kata yang sangat kuat dan mampu membakar semangat hati yang mulai membeku.

”Bermimpi” menjadi kata paling indah untuk diucapkan, paling nikmat untuk dijalani dan paling mudah untuk dipenuhi. Karena kita cukup berdiam sejenak, memejamkan mata, melepaskan segala beban hidup, membayangkan apa yang kita inginkan, dan tertidur.

Seharusnya ”mimpi” yang kita angankan adalah menjadi sebuah motivasi, seperti gambaran Ikal yang merepresentasikan sang penulisnya dalam novel Laskar Pelangi. Namun dalam realitanya, seringkali ”mimpi” tersebut hanya menjadi imaji semu yang justru menerbangkan kita ke dunia awang-awang yang jauh dari kenyataan. ”Mimpi” terlalu indah itu malah merusak bayangan kita tentang kerasnya kehidupan, melemahkan urat syaraf kita untuk berlomba memeras keringat demi mencapai sebuah target. Dan buaiannya menghambat tapak-tapak kaki untuk melangkah di bumi.

Ibuku pernah bercerita tentang seorang priyayi sepuh di kampungku yang tidak mau membiayai sekolah cucunya hingga perguruan tinggi. Alasannya pun sangat sederhana, karena dia merasa kapok melihat tabiat anak kandungnya, seorang sarjana dari sebuah universitas swasta ternama, yang dulu diimpikannya akan menjadi pegawai atau wiraswastawan yang mapan, namun hingga usia mendekati 40 an tidak mau bekerja keras. Dan hanya menggantungkan hidupnya dari bapaknya, sang priyayi sepuh itu.

Mimpi indah priyayi sepuh direalisasikan dengan menyekolahkan sang anak hingga lulus perguruan tinggi. Namum mimpi itu buyar tatkala sang anak pun hanya mau bermimpi menjadi pegawai bergaji besar atau pengusaha sukses, tanpa bersedia merintis dari anak tangga terbawah. Sang anak yang hidup di desa, merasa gengsi untuk menjadi orang suruhan, hanya karena merasa dirinya adalah satu dari segelintir orang yang mampu meraih gelar sarjana disitu. Harga dirinya akan jatuh jika dia tidak langsung menjadi pimpinan. Dia pun tak tahan, jika harus merintis usaha sendiri dengan cara menawarkan barang-barang ke konsumen dari rumah ke rumah. Karena dia merasa bahwa dirinya lah yang seharusnya membeli barang-barang itu, bukan menjadi sales yang menurunkan derajat untuk merayu pelanggannya.

Dan ”mimpi” itu telah mengangkat tubuhnya untuk tidak menapak di bumi nan fana.

Di ibukota nan hiruk pikuk ini, belasan stasiun televisi telah menghipnotis masyarakat miskin kota dengan buaian mimpi lewat program sinetron yang tidak realistis. Kisah gadis miskin yang dicintai pemuda kaya raya dan lalu dalam sekejap menjadi direktur perusahaan calon mertuanya tersebut. Atau seorang pencopet berhati lembut yang beruntung berwajah tampan sehingga membuat putri konglomerat tergila-gila. Adegan film yang hiper realitas telah mengkonstruksi alam bawah sadar masyarakat untuk bersikap instan dan pragmatis dalam usaha mencapai target. Maka muncullah copet-copet trendy yang bergaya metroseksual atau penipu-penipu modis yang merayu untuk melucuti harta pasangannya. Maka jangan kaget kalo melihat di program berita kriminal televisi, banyak penjahat-penjahat yang berdandan keren layaknya eksekutif muda.

Mimpi-mimpi yang tertanam telah membentuk cara-cara praktis, ekonomis dan efisien, untuk mendapatkan uang, tentu saja dengan jalan yang merugikan orang lain.

Kalau kita bertanya kepada masyarakat kecil, realitas seperti apakah yang tergambar dalam benak mereka, tentang gambaran ustadz yang ideal. Maka jawabannya adalah seperti ustadz Uje yang tampan atau Ustadz Yusuf Mansur yang cool, yang selalu mengajarkan tata cara bersedekah kepada umat. Masyarakat ”memaksakan” mimpinya bahwa gambaran seorang ustadz yang disegani, disamping mempunyai ilmu agama yang tinggi, juga harus rajin bersedekah, sehingga tanpa sadar, ada tuntutan bahwa seorang ustadz juga harus kaya raya. Semakin sering beramal, semakin tinggi nilai prestise nya, dan akan semakin disegani oleh masyarakatnya.

Tuntutan ”harus kaya” agar lebih disegani, membuat seorang ”ustadz” akan berusaha memperkaya dirinya. Kalo dia mampu dengan cara yang halal, maka itu akan menjadi barokah bagi dirinya dan masyarakat sekitarnya. Namun yang seringkali terjadi adalah untuk meraih mimpi menjadi ”ustadz” yang terhormat, seseorang melakukan korupsi, yang sebagian harta hasil korupsinya tersebut, kemudian disedekahkan, diinfaqkan, dan dizakatkan kepada orang lain. Maka tak heran, jika hasil riset peringkat korupsi oleh sebuah LSM menempatkan departemen para ustadz menjadi departemen terkorup di negeri ini.

Dalam realitas kehidupan yang sederhana, sering kita terjebak dalam mimpi yang cair. Sebuah mimpi yang oleh orang lain bisa tercapai melalui kerja keras, tetapi kita hanya bisa memeluk bayangan mimpi itu sendiri. Seperti mimpi sukses berbisnis MLM dengan iming-iming meraup jutaan rupiah dalam waktu singkat, jika mampu menarik dua atau tiga downline dan berikut seterusnya ke bawah. Namun nyatanya tidak sesederhana itu, karena pada prakteknya usaha yang harus dijalankan, justru bisa sepuluh kali lebih berat dari yang kita bayangkan. Butuh energi dan semangat ekstra keras untuk mencapai target.

Tak salah kalo sutradara Hanung Bramantyo memilih tema MLM untuk film terbarunya ”Menebus Mimpi” dalam rangka memperingati Hari Kartini (gak nyambung yaaa hehehe...)

Terkadang mimpi tidak hanya menjadi sumber inspirasi , tetapi juga menjadi awan penghalang bagi kita untuk menapak ke bumi.

Note: Maksudnya kebanyakan mimpi justru gak kerja-kerja hehehe...

Sency, 20 April 2010

Sebutir Peluru Untuk Sebuah "Sangkaan"

08.55 / Diposting oleh Phyrman / komentar (2)

Siang tadi saya merasa sangat bahagia ketika membaca tulisan seorang konco gojek kere saat kuliah di Yogya dulu, Noor Huda Ismail atau kita biasa memanggilnya Si Om, yang kini sudah sukses sebagai pengamat teroris yang sering masuk tv hehehe… Si om dengan cerdas mengkritisi fenomena penembakmatian teroris oleh polisi. Opini yang ditulis di harian kompas, 12 Maret 2010, judul “Perlukah Tembak Mati Teroris?” menggugat tindakan polisi yang seringkali mengakhiri proses perburuan pelaku teroris yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun justru hanya dengan sebutir peluru di bagian tubuh yang mematikan.

Dalam tulisannya, Si Om mengkritisi fenomena tersebut dengan 4 alasan: pertama, hukum di Indonesia menggunakan asas hukum praduga tidak bersalah, sehingga seorang tersangka tidak seharusnya dieksekusi mati (judicial Killing) tanpa melalui proses peradilan. Kedua, terputusnya arus informasi tentang kelompok teroris, karena hanya pimpinan kelompoklah yang “tahu banyak” tentang seluk beluk organisasi. Ketiga,menghapus kesan bahwa ancaman terorisme adalah hal yang nyata, bukan sekedar “rekaan” polisi. Keempat, menghapus harapan untuk bisa mengembalikan anggota teroris lain yang notabene hanyalah anak buah bertobat ke jalan yang benar.

Ada sebuah pemaparan yang menurut saya sangat menggelitik, “Dalam kasus Dulmatin, saya sulit membayangkan adanya sebuah perlawanan berarti yang dilakukan Dulmatin, yang waktu itu tengah berada di bilik warnet yang sempit, walaupun polisi beralasan bahwa Dulmatin bersenjata dan hendak menembakkan pistol ke arah polisi”. Sebuah kalimat yang menegaskan tentang adanya kemungkinan pelanggaran prosedur yang berakibat fatal, yaitu penghilangan nyawa manusia.

Saya langsung terbayang peristiwa penggrebekan Ibrohim (tersangka pelaku bom JW Marriot-Ritz Carlton-red) di Temanggung, yang sebelumnya sempat salah info sebagai Noordin M Top, dimana hampir semua stasiun televisi nasional menayangkan secara langsung peristiwa akbar tersebut. Seorang Ibrohim, yang sendirian berada di dalam rumah dan saat itu statusnya masih tersangka, harus berhadapan dengan ratusan polisi bersenjata lengkap dan canggih. Ibarat menyaksikan film laga yang tidak berimbang dan berakhir tragis. Semua media massa mengamini kehebatan polisi dalam menangkap teroris, dan nyaris tak ada yang mengkritisi kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

Beberapa bulan terakhir, untuk tugas kuliah, saya melakukan riset kecil-kecilan tentang konstruksi berita teroris di televisi, dengan menggunakan analisis framing Pan dan Konsicki. Dengan sampel berita yang terbatas, saya menemukan kesimpulan bahwa ada kecenderungan dalam pemberitaan perburuan teroris, media massa (televisi-red) lebih dominan menyandarkan kebenaran beritanya pada satu sumber, yaitu pihak kepolisian. Pun misalkan ada narasumber lain, yaitu pengamat teroris atau saksi, pendapat yang dikutip juga cenderung membenarkan keterangan tersebut.

Lalu bagaimana jika ternyata terjadi pelanggaran HAM, siapa yang akan mengkritisinya?

Hak untuk hidup adalah hak asasi tertinggi manusia. Semua orang apa pun bangsa, ras, ideologi, dan agama memiliki hak yang sama, yaitu hidup di muka bumi. Penghilangan nyawa manusia harus didasarkan pada sebuah aturan hukum yang disepakati bersama. Secara pribadi saya sendiri tidak setuju dengan adanya hukuman mati, karena hal itu berarti menghapus hak pertobatan bagi manusia tersebut.

Kehidupan sosial orang yang “disangka” teroris sangatlah dekat dengan kehidupan kita. Bisa jadi dia kawan, saudara atau tetangga kita, yang setiap hari kongkow-kongkow, ngopi bareng atau sekedar bersenda gurau mengisi waktu luang. Sengaja saya beri tanda kutip pada kata disangka, karena bisa jadi sangkaan itu salah. Tapi jika sudah tertembak mati, dan ternyata salah orang, siapa yang bisa menghidupkannya kembali untuk direhabilitasi nama baiknya. Siapa yang akan menghidupi keluarga yang ditinggalkan, hanya karena sebuah sangkaan yang belum teruji kebenarannya. Bagaimana jika yang menjadi “tersangka” adalah kita atau keluarga terdekat kita? Siapa yang bisa menentukan bahwa seseorang memiliki ideologi tertentu dan karenanya layak ditembak mati. Atau seseorang terlibat jaringan tertentu sehingga layak dibunuh.

Ideologi adalah hal yang sangat abstrak berada di pikiran manusia dan bukanlah sebuah kejahatan. Sebuah ideologi tidak berarti apa-apa, kecuali jika pemikiran tersebut ditindaklanjuti menjadi sebuah aksi kejahatan. Maka yang menjadi terhukum adalah tindak pidananya bukan ideologinya. Demikian pula sebuah pertemanan, siapa yang bisa menghalangi seseorang untuk berkawan dengan orang lain. Lalu apakah ketika kita “kebetulan” kenal dengan seorang teroris yang menyamar, lalu kita dianggap terlibat dalam jaringan tersebut atau berperan serta menyembunyikan pelaku teroris.

Perburuan teroris bisa menjadi hal yang kebablasan, jika tidak ada yang mengkritisinya. Karena semua informasi hanya bersumber dari satu pintu yaitu pihak kepolisian, yang bisa jadi kebenaran realitasnya sudah direkayasa terlebih dahulu. Tidak ada opini lain yang terbentuk, jika polisi sudah menyatakan bahwa si A adalah seorang teroris yang melawan ketika hendak ditangkap sehingga harus ditembak mati. Tidak ada saksi yang bisa membantah, tidak ada kuasa hukum yang bisa membela, dan juga tidak ada anggota keluarganya yang berani bicara. Pers pun akan menelan mentah-mentah informasi tersebut menjadi sebuah kebenaran tunggal, karena tidak ada pilihan lain. Dan jika kondisi ini yang terjadi, maka yang akan menerima beban sosial terberat adalah keluarga terdekatnya; kehilangan anggota keluarga dan mendapat stigma negative dari masyarakat sebagai keluarga teroris.

Runtutan dampak sosial yang mungkin akan diterima anggota keluarga adalah kehilangan mata pencaharian, diusir dari tempat tinggal, diskriminasi sosial dari warga sekitar dan bisa jadi sebuah struktur hidup sebuah rumah tangga yang sudah dibangun selama bertahun-tahun akan hancur seketika.

Apakah ini harga yang harus dibayar untuk sebuah “sangkaan”?


Celesta, 12 Maret 2010

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

"People Power" Genre Sosial

00.30 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Mendengar kata “people power” kita akan tergiring pada gambaran kerumunan puluhan atau ratusan ribu manusia yang terkonsentrasi pada satu titik untuk menyatukan tekad dan idealismenya dalam melawan ketidakadilan, misalnya rezim otoriter atau presiden korup, intinya gerakan people power biasanya bertujuan untuk menekan dan menjatuhkan “seseorang” yang kalau terpaksa dilakukan dengan cara anarkis, tapi lebih sering secara damai.

Kini people power pun mulai merambah dunia maya, bedanya kalau di dunia nyata kerumunan dilakukan pada satu wilayah dengan cuaca panas terik dan manusianya pun harus berjibaku dengan peluh keringat, sedangkan di dunia maya titik kerumunan ada di situs jaringan sosial seperti facebook, twitter, atau beragam mailing list, dan manusianya pun cukup duduk manis dibawah ruang ber AC dingin.

Namun ternyata gerakan people power ala dunia maya, tak kalah keras dibanding dunia nyata. Contoh people power yag paling fantastis adalah dukungan masyarakat terhadap Prita dalam perseteruannya dengan RS Omni Internasional atau dukungan terhadap dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. “Kerumunan manusia” yang terkumpul mencapai lebih dari satu juta orang.

Namun, satu hal yang menurut saya paling indah adalah gerakan people power dunia maya kini bergeser pada kegiatan social dengan cara memfasilitasi bantuan kepada rakyat kecil yang mengalami ketidakadilan sosial dari pemerintah negeri ini. Mereka mencoba mengetuk hati para anggota nya untuk membantu secara nyata dengan memberi sumbangan dana, atau menekan penguasa agar menjadi peduli atas berbagai masalah di negeri ini.

Koin Cinta untuk Bilqis, sumbangan untuk Bilqis Anindya Passa, balita usia 17 bulan yang menderita atresia billier atau gangguan pada saluran empedu sehingga harus menjalani transpalasi hati kini mencapai 1,3 M, dan keluarga nya pun merencanakan bahwa sisa hasil sumbangan akan didirikan untuk membangun yayasan yang membantu masyarakat lain yang mengidap penyakit sejenis. Sebuah kebaikan hati yang cepat menyebar dan menyentuh relung hati para donaturnya.

Fakta-fakta di media massa menyebutkan bahwa ternyata banyak sekali rakyat Indonesia dari berbagai status sosial; kaya, menengah, miskin yang rela menyumbangkan uang tabungannya atau hasil karyanya demi memberi bantuan kepada orang lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Para donator hanya tahu dari pemberitaan media massa yang mem blow up kisah tersebut dari sisi human interest nya. Sebuah keikhlasan yang tulus.

Ini adalah fenomena yang menarik, disaat banyak pengamat sosial menggugat bahwa rakyat Indonesia kehilangan jati diri, dari budaya gotong royong rasa sosialis menjadi individualis materialistis, ternyata arah gerakan people power justru menunjukkan gejala yang sebaliknya. Yaitu menjadi gerakan sosial yang peduli kepada kasus-kasus kemanusiaan yang banyak mendiskriminasi rakyat kecil.

Mungkin ini adalah sebuah bentuk “pelarian” atas ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga sosial di negeri ini. Kasus korupsi dana raskin (beras untuk rakyat miskin-red) atau bantuan pupuk bagi petani yang ternyata fiktif dan pemberian sapi induk untuk para peternak yang tidak pernah terealisasi walau anggaran sudah cair, menjadi gambaran rusaknya sistem bantuan sosial untuk rakyat kecil. Bukan tidak mungkin, jika dana sumbangan Koin Cinta untuk Bilqis dikelola oleh pemerintah, maka jumlah yang tersalur hanya 25% nya, karena yang 75% dipotong uang lelah buat pejabat nya hehehe…

Jika menghitung secara kasar nominal zakat 2,5% dari penghasilan masyarakat mampu untuk disumbangkan pada rakyat miskin, sebenarnya tanpa harus mendapat subsidi APBN pun pendidikan gratis bagi rakyat miskin bisa terealisasi. Namun hingga kini tak ada satu pun yayasan atau lembaga sosial di negeri ini yang bisa dipercaya untuk mengelola dana masyarakat. Yayasan pemerintah atau pejabat pemerintah lebih berfungsi sebagai sarana mengumpulkan dana sumbangan untuk dana kampanye bukan pendidikan gratis atau kesehatan gratis.

Ketika kegiatan untuk beramal pun tidak mendapat kemudahan di negeri ini, maka people power genre sosial adalah pilihan yang tepat, karena bisa langsung mencapai tujuan tanpa harus dipotong “pajak pribadi” pejabat.

Nah, jika untuk beramal aja dipersulit, bagaimana mungkin negeri ini akan mendapat “berkah”...

Sency, 9 Februari 2010

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Sebuah Pertanyaan tentang Integritas?

12.28 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

"Pejabat publik harus anggun, nanti kalo nangis dibilang curhat"…
Kalimat singkat yang dilontarkan Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan-red) saat menjawab pertanyaan Rosiana Silalahi dalam “Rossy” di Global TV Minggu 21.00 WIB cukup menggelitik. Jawaban yang cukup jujur untuk menggambarkan karakter sang narasumber yaitu lugas, sedikit jaim khas wanita dan penuh percaya diri.

Secara tersamar (atau jelas yaa?) tema yang diangkat dalam show perdana Mbak Rossy pun menarik, yaitu mempertanyakan soal integritas Sri Mulyani; sebagai seorang pejabat publik yang sedang tersangkut tuduhan mega korupsi bailout bank Century dan seorang wanita berkeluarga yang mau tidak mau harus meyakinkan orang-orang terdekatnya bahwa dirinya tidak bersalah.

Dalam talkshow tersebut, ada sebuah kisah yang mengharukan tentang bagaimana Bu Ani bicara mengenai pilihan yang berat antara rapat dengan emiten terkait krisis ekonomi tahun 2008 versus menjenguk sang Ibu yang berada dalam kondisi kritis di rumah sakit sampai akhirnya meninggal. Krisis versus kritis…

"Saya tetap manusia, seorang anak yang kehilangan ibunya"

Sebuah pilihan berat yang memaksa seseorang harus memilih antara integritas kepada bangsa untuk menyelesaikan krisis atau integritas seorang anak yang berkewajiban memberi support kepada sang Ibu yang kritis disaat terakhirnya.

Dan Bu Ani memilih integritas yang pertama, membantu mengatasi krisis ekonomi bangsa demi menghindari dampak yang lebih besar, sebuah pilihan yang pada bulan-bulan berikutnya justru menyeretnya pada kasus Century Gate dan menjadikannya sebagai bulan-bulanan para demonstran dan media massa.

Ironis?

= = =

Bicara soal integritas Sri Mulyani, saya yakin pasti ada yang setuju dan ada juga yang menolak. Yang pro akan mengatakan bahwa Bu Ani adalah orang yang cukup ber-integritas terlepas pada akhirnya salah satu kebijakannya yaitu bailout bank Century disinyalir merugikan negara hingga 6,7 T. Sedangkan yang kontra akan mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah konstruksi berita yang sengaja menggiring pembentukan opini masyarakat untuk meyakini bahwa dalam proses bailout BC jauh dari kepentingan tertentu dari bu Menkeu.

Saya memilih untuk tidak pro terhadap salah satu pihak, tapi memilih untuk berpikir positif bahwa Indonesia memang sangat membutuhkan orang-orang yang punya integritas tinggi bagi bangsanya. Dalam jangka panjang, tidak ada negara bebas korupsi tanpa masyarakat yang berpegang teguh pada kejujuran dan integritas.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) in•teg•ri•tas adalah mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran. Integritas juga berarti menunaikan amanah dan tanggung jawab kita hingga tuntas selesai. Dengan menunaikannya berarti kita telah bersikap jujur pada hati kita sendiri, dimana amanah yang telah kita terima kemudian kita tunaikan dengan segenap hati, segenap pikiran, segenap tenaga kita. Keutuhan semua ini, yakni pengakuan mulut, perasaan, pikiran, dan tenaga kita, pada hakikatnya itulah yang disebut integritas. Integritas adalah komitmen, janji yang ditepati, untuk menunaikan tanggung jawab hingga selesai sampai tuntas, tidak pura-pura lupa pada tugas atau ingkar pada tanggung jawab.

Bapak bangsa, alm. Gus Dur adalah sosok yang memiliki integritas tinggi bagi bangsanya, beliau tidak peduli terhadap pencitraan pribadi dan memilih melakukan suatu kebijakan yang walaupun kurang populis tapi dibalik semua nya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Yahya Cholil Staquf (juru bicara Gus Dur saat menjadi presiden-red) dalam sebuah artikel menulis pandangannya tentang Gus Dur "Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun aku justru melihat daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika. Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahunnya, sedangkan kita mengimpor lebih separuh jumlah itu, dari Amerika pula. Maka presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika. Venezuela mengipor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus –persen rempah-rempah kita kesana. Maka presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita."

Dan Gus Dur, orang yang integritas nya diakui oleh masyarakat dari bebagai golongan dan beragam agama pun harus menerima kenyataan bahwa dirinya terjungkal dari kursi kepresidenan lewat sebuah pemakzulan. Sesuatu yang kemudian disesali oleh masyarakat karena hingga akhir hayatnya tuduhan korupsi yang dulu dijadikan salah satu alasan pemakzulan, ternyata secara hukum tidak pernah terbukti.

Sebuah integritas yang mendapat pengakuan, justru setelah pemiliknya wafat...
Dan Indonesia pun menangis bukan?

Sebaliknya, pengurus PSSI adalah contoh orang yang mengaku memiliki integritas tinggi kepada dunia sepakbola Indonesia tapi tidak pernah menjalankan tugasnya dengan baik, dan setelah gagal memajukan tim nasional di berbagai even internasional,dengan menjerumuskan pada posisi juru kunci, mereka tetap menolak untuk mundur karena alasan tingginya "kecintaan" dan "integritas" mereka pada dunia sepakbola hehehe...

Nah, ada sekelumit kisah tentang integritas dari seorang kawan yang bekerja sebagai staf ekonomi. Kawan saya bercerita bahwa saat dirinya ikut rapat APBN 2010 bersama para menteri, hampir semua pemimpin departemen itu hanya bicara soal anggaran dan anggaran bagi departemennya. Hanya angka-angka yang diminta bukan memikirkan program yang diajukan, sehingga pada saat itu terjadi kondisi dimana dana cukup tapi tidak ada pembangunan infrastruktur. Melihat keadaan seperti itu dengan sedikit menyindir sang Menteri Keuangan berkata “Jika hanya ingin mendapat kesan bagus, bahwa dana APBN kita cukup dan anggaran keuangan departemen terpenuhi, saya sangat mudah melakukannya. Tapi apa yang masyarakat kita akan dapatkan?

Ah, orang yang ber- integritas memang susah dicari di negeri ini…

Sency, 8 Februari 2010

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Batam; Wisata Kultural, Kuliner dan Keindahan Alam

08.54 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Dering alarm HP, membangunkan tidur nyenyakku dalam balutan sleeping bag yang lumayan hangat… Yup, usai semalaman bertugas di studio hingga dini hari, pukul 5 subuh aku harus segera meluncur ke bandara dua proklamator negeri ini.. Dua jam perjalanan Jakarta – Batam tak dapat kunikmati, karena rasa kantuk lebih kuat dibanding hasrat memandangi birunya lautan dari atas awan. Tugas nan mengasyikkan menanti, membuat feature wisata di kota Batam.


-Patung Dewi Kwan Im-

Patung Dewi Kwan Im setinggi 22,374 meter adalah feature pertama yang rencananya harus aku garap. Berlokasi di sebuah resort indah bernama KTM di kawasan Tanjung Pinggir Sekupang Batam yang dianggap sebagai tempat pertemuan angin laut dan angin darat. Sebelumnya kawasan ini adalah wilayah yang tidak laku, karena menurut kepercayaan, titik pantai yang menjadi pertemuan dua arah angin yang berseberangan itu akan mendatangkan kebangkrutan bagi pebisnis. Dan untuk meredakan dampaknya, didirikanlah patung Dewi Kwan Im yang diharapkan dapat menetralisir pertemuan angin, sehingga bisa mendatangkan hoki bagi para pebisnis.

Menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada zaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 SM terkait dengan legenda Puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao Cuang Penguasa Negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti Zhou di abad III SM.

Menurut cerita, Dewi Kwan Im adalah titisan Dewa Che Hang yang ber-reinkarnasi ke bumi untuk menolong manusia keluar dari penderitaan, karena melihat begitu kacaunya keadaan manusia saat itu dan penderitaan di mana-mana. Dewa Che Hang memilih wujud sebagai wanita, agar lebih leluasa untuk menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolongan. Disamping itu agar lebih bisa meresapi penderitaan manusia bila dalam bentuk wanita karena di jaman itu wanita yang lebih banyak menderita dan kurang leluasa dalam membuat keputusan.

Patung Dewi Kwan Im di Batam ini memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai patung Dewi Kwan Im tertinggi di Indonesia, yang mencapai 22,374 meter. Pembuatan patung dengan berat 112 ton menghabiskan waktu delapan bulan, dengan bahan terbuat dari rangka beton yang dicor. Tanda di kening Dewi Kwan Im merupakan giok hijau yang didatangkan langsung dari China. Keramik dan ukiran China mengenai Kisah Dewi Kwan Im juga didatangkan dari China.

Tujuan wisata yang ”dijual” bagi para turis adalah bersembahyang di bawah patung Dewi Kwan Im bagi para pemeluknya. Para pengunjung yang sebagian besar etnis keturunan baik lokal maupun negara terdekat seperti Singapura dan Malaysia biasanya ramai berkunjung pada hari suci kalender Cina dan setiap tanggal 1 dan 15 kalender Internasional.



Dari sebuah restoran apung dibibir pantai, kami; saya dan bang Aloy koresponden Batam, disuguhi secangkir teh susu yang merupakan minuman khas Melayu. Banyak varian dari minuman ini; kalau di Kuala Lumpur terkenal dengan nama teh tarik dengan rasa manis yang cukup dominan, sedangkan di Singapura perpaduan teh dan susu kurang kental, sehingga bagi lidah Jawa saya yang terbiasa dengan rasa kental manis, teh susu ala Singapura terasa kurang mantap.

Tapi yang sangat mengasyikkan adalah titik pandang kota Singapura yang serasa dekat karena hanya berjarak tempuh 40 menit dengan menggunakan kapal ferry. Sayang saat kunjungan kemarin, kabut tipis masih menyelimuti lautan, sehingga gedung-gedung yang menjulang tinggi negeri Jiran hanya tampak tersamar. Menurut salah satu karyawan resort, pemandangan akan tampak jelas tanpa kabut, pada periode waktu usai hujan reda.

-Gonggong Ala Golden Prawn-

Maknyussss, kata penikmat kuliner Bondan Winarno, saat saya menikmati sajian beragam menu seafood ala Golden Prawn; Kepiting asam manis, Udang goreng tepung, Kakap steam, dan Gonggong rebus. Dan semuanya bisa disajikan dengan beragam rasa tergantung selera pemesan. Salah satu keunggulan restoran ini adalah pengunjung bisa memilih ikan laut yang akan dipesan, karena semuanya masih hidup di berbagai kolam terpisah yang cukup luas. Menurut pemilik rumah makan, untuk mendapatkan hewan laut yang berkualitas, harus ada jeda waktu berpuasa bagi binatang itu dari setelah ditangkap oleh nelayan hingga manjadi menu santapan, yaitu sekitar 3-4 hari. Puasa itu bertujuan untuk membersihkan isi perutnya dari sisa-sisa makanan laut yang tidak terkontrol, dan membersihkan sisa-sisa pasir yang menempel di sela-sela tubuh Dan proses tersebut dilakukan dalam kolam yang mempunyai sistem pergantian air yang bagus.

Menu yang terakhir yaitu Gonggong adalah makanan khas Batam, yaitu hewan laut sejenis siput yang hanya bisa hidup di wilayah tertentu saja, dan beberapa pulau di kepulauan Riau adalah salah satunya; Batam, Bintan dan Karimun. Bagi yang pertama kali mencoba, pasti akan terasa geli, karena bentuknya mirip bekicot dalam bentuk yang lebih mini dan cangkangnya berwarna krem. Cara makannya pun cukup unik, karena harus menggunakan tusuk gigi untuk mencongkel daging siput yang masih tersimpan didalam cangkang. Namun, usai mencicipinya dengan mencelupkan terlebih dahulu pada sambal, dijamin anda akan ketagihan. Anda akan sangat menyesal jika berkunjung ke Batam tanpa mencicipi menu ini, karena pada wilayah lain rasa gonggong akan sangat berbeda.




-Jembatan Barelang-

Seperti Jembatan Ampera yang membelah sungai Musi di Palembang, atau Jembatan Suramadu yang menghubungkan kota Surabaya dengan pulau Madura. Batam juga memiliki penanda khas yang multifungsi yaitu Jembatan Barelang yang menghubungkan pulau Batam dengan pulau-pulau disekitarnya yaitu pulau Rembang dan pulau Galang. Jembatan yang terdiri dari enam ruas ini melewati pulau-pulau kecil sebelum terhubung dengan titik terakhir. Setiap jembatan memiliki keindahan panorama masing-masing, karena hamparan laut yang tak bertepi seolah mengurung pulau-pulau mungil itu dengan bentuk pantai atau hutan bakau yang beragam.

Menyusuri sepanjang ruas jembatan Barelang akan terasa romantis, jika dilakukan pada sore hari, sambil menunggu dewa matahari tenggelam pada cakrawala, dan semburat kuning memantul pada percikan air laut. Jika situasi sedang ramai, maka dikedua sisi jembatan, nampak pasangan muda mudi asyik bercanda dan sekelompok anak muda duduk brsenda gurau sambil duduk bertengger diatas motor yang terparkir atau duduk lesehan di sisi pagar jembatan.



Bagi penikmat kuliner seperti saya, sebuah perjalanan akan terasa hambar tanpa mencicipi makanan khas. Di jembatan keempat, sekitar 100 meter dari arah jembatan disisi kanan dari arah Batam, ada sebuah restoran kecil yang cukup unik, karena memiliki produk berbahan Naga. Kalau mendengar namanya, fantasi kita akan membayangkan ular Naga pada legenda Cina yang buas dan sangar. Tapi kalau melihat warnanya yang ungu, imajinasi kita akan membayangkan rasa strawberry yang kecut manis, sedangkan kalau meminumnya maka rasa manis perpaduan semangka dan blewah akan menyesaki relung-relung lidah.

Restoran yang terletak dibibir jembatan ini, memiliki kebun buah Naga yang bisa langsung dikonsumsi jika sedang musim panen. Tidak hanya itu, retoran ini juga menjual bibit pohon naga yang bagi konsumennya. Bentuk pohonnya mirip kaktus, harus ditanam pada lahan kering yang bebas terkena sinar matahari, dan tanahnya tidak boleh terlalu basah.

Beruntung, kendati tidak sedang musim panen, restoran masih memiliki stok buah buat Jus Naga sehingga saya bisa menyeruput air es yang berwarna ungu romantis ini. Tak lupa, saya merayu pelayan untuk memotong sedikit buah Naga yang tersisa agar bisa menghapus rasa penasaran saya.Dan terakhir saya membeli 3 bibit Naga, semoga aja bisa tumbuh di halaman rumah saya nan mungil.



Celesta, 11 Januari 2010

http://ruangstudio.blogspot.com

Label: