SAMBUTAN

01.14 / Diposting oleh Phyrman /

Treeva, bidadari kecilku protes “Pa, kenapa sih sekarang gak pernah mau menyambutku didepan pintu sepulang sekolah? Dulu pas aku masih TK, papa selalu melakukannya, tapi setelah SD kok gak pernah lagi”. Sejenak aku tertegun mendengar protesnya, sepenting itukah nilai sebuah sambutan didepan pintu. Bukankah yang terpenting adalah aku ada dan menemaninya dirumah, tanpa harus ada “upacara” kecil seperti itu.

Dan saat dikemudian hari, kucoba untuk menjalankan upacara penyambutan kecil didepan pintu, memang muncul ekspresi wajah yang jauh lebih ceria, ada aura kebahagiaan, seolah dengan aku menjemputnya didepan pintu adalah wujud penghargaanku kepadanya. Padahal ada sambutan atau tidak, aku pasti akan selalu menyayanginya… (ya iyalah hehehe).

Sambutan ternyata bersifat kodrati. Bahkan semakin dewasa manusia, kebutuhan akan penghargaan semakin tinggi. Lebih variatif, unik dan terkadang irasionil. Diberbagai bidang kehidupan kita temui beragam sambutan. Di bandara, saat seorang menteri turun dari pesawat dalam rangka kunjungan ke daerah, maka kalungan bunga dan tari-tarian tradisional akan digelar, walau hanya berdurasi beberapa menit saja. Meski itu bukanlah tujuan dari kunjungan tersebut, tapi dari ekspresi wajah sang menteri tampak muncul rasa kebanggaan bahwa dia dikenal dan dihargai oleh penduduk lokal, kendati tidak dikenalnya.

Demi “merebut” hati pejabat pemerintah pusat, seringkali pegawai pemda menyambut dengan acara yang wah dan mahal, sedangkan inti acara kunjungan sendiri terkadang hanya berupa dialog pak menteri dengan petani atau nelayan, yang digelar ditengah sawah dengan cara sederhana, disertai janji memberi bantuan. Ini menjadi antiklimaks, karena terkadang “harga” sambutan lebih mahal dibanding dengan nominal yang diterima petani dan nelayan setelah “dipotong” aparat pemda.

Saya pernah menemukan sebuah kasus sambutan yang agak unik dan terkesan dipaksakan. Beberapa tahun silam, saya ikut kunjungan presiden ke Sumatera Utara, tujuannya adalah ke Danau Toba, yang menempuh waktu beberapa jam dari kota Medan. Sambutan masyarakat sangat luar biasa, disepanjang jalan kota Medan, masyarakat berjejer dipinggir jalan untuk menyaksikan iring-iringan mobil pejabat yang “mengular” hingga sepanjang hampir 1 KM. Kalo itu masyarakat umum, saya masih percaya bahwa itu berasal dari “hasrat” masyarakat sendiri untuk melihat presidennya. Tapi jelang bergerak ke luar kota, hampir di sepanjang jalan, ratusan bahkan mungkin ribuan murid SD berjejer rapi dengan berseragam merah putih dan pramuka berbaris mengibarkan bendera plastik kecil. Dan dari pengamatan saya, sepertinya mereka sudah berdiri berjam-jam disitu dan dilakukan pada jam sekolah, yang artinya sekolah meliburkan proses belajar mengajar pada hari itu, dan menggiring murid-muridnya yang masih kecil untuk berdiri di pinggir jalan selama berjam-jam.

Sepenting itukah sebuah upacara sambutan, sehingga harus mengorbankan proses belajar mengajar di sekolah. Jika para murid tidak menyambut, apakah acara kunjungan akan gagal. Saya pikir tidak ada hubungannya sama sekali.

Kasus lain adalah sambutan terhadap anggota DPR RI periode terbaru. Demi menghargai calon wakil rakyat tersebut, pemerintah harus mengeluarkan duit rakyat sekitar 46 milyar untuk sebuah upacara pelantikan. Esensi dari upacara itu hanyalah pemberian surat keputusan tentang pengangkatan sebagai anggota DPR RI, agar mereka bisa segera bertugas. Kalo hanya serah terima surat SK, sebenarnya hal itu bisa dilakukan dengan cara yang sederhana tanpa menghamburkan banyak uang, wong rakyat yang diwakilinya aja masih banyak yang miskin kok. Tapi mungkin itulah watak bangsa kita yang narsis, semua hal kecil harus diselenggarakan dengan cara yang mewah dan megah, dan mengorbankan orang lain. Coba kalo biaya pelantikan ditanggung renteng oleh anggota DPR yang dilantik, saya yakin mereka akan teriak dan menuntut pelantikan yang sederhana, atau kalo perlu tidak ada pelantikan dan SK cukup dikirim via pos hehehe…

Sebagai tuan rumah kita memang wajib menyambut tamu dengan layak, tapi juga harus tetap memperhitungkan kondisi ekonomi, sama seperti aparat Pemda, mennyambut pejabat yang datang berkunjung memang wajar, asalkan tidak terus menghabiskan dana APBD yang seharusnya dialokasikan ke bidang lain.

Pun sebagai tamu, sangat manusiawi jika mengharap mendapat sambutan dari tuan rumah, asalkan tidak menuntut untuk disambut dengan mewah, standar-standar saja, jangan sampai si tuan rumah menggerutu dan mendoakan kita untuk tidak datang lagi karena merepotkan.

Dan yang paling parah adalah tuan rumah yang berlagak jadi tamu, sehingga menuntut untuk mendapat sambutan di setiap kegiatan. Pejabat Negara sejatinya adalah tuan rumah di negeri sendiri, jadi seharusnya dia memposisikan dirinya bukan sebagai tamu. Alangkah besar uang negara yang akan dihemat, jika setiap pejabat yang berkunjung cukup disambut oleh aparat lokal dengan salaman erat dan pelukan mesra, tanpa upacara yang megah dan mewah.

Celesta, 13 Oktober 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar