Negeri Para Aktor

06.44 / Diposting oleh Phyrman /

Paul Watson, pakar konstruktivis media, mengatakan bahwa “konsep kebenaran yang dianut media bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang oleh masyarakat dianggap sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa.”
Teori tersebut ingin menjelaskan bahwa sebuah realitas yang diberitakan oleh media massa, bukanlah realitas yang sebenarnya, tapi ada faktor lain yang mempengaruhinya, dari dalam adalah faktor psikologis wartawan; wawasan, ideologi, pengalaman, dan sebagainya. Sedangkan dari luar adalah faktor sosiologis; kondisi sosial masyarakat, aturan hukum, opini khalayak, dan lain-lain.

Imajinasi saya membayangkan, sebuah realitas yang “benar dan shoheh” saja bisa diinterpretasikan secara berbeda oleh wartawan. Artinya sebuah informasi atau cerita peristiwa yang diperoleh dari seorang narasumber bisa ditampilkan secara tidak utuh dari peristiwa yang sebenarnya. Lalu bagaimana jika “realitas” itu sendiri sudah tidak benar.

Kisah ini yang sedang terjadi di negeri kita tercinta.

Saya yakin para wartawan pasti sedang bingung untuk merangkai kisah-kisah yang muncul, menjadi sebuah jalinan cerita dalam paket berita. Bagaimana tidak? Dalam kasus perseteruan antara Cicak VS Buaya alias KPK VS Polri, ada dua keterangan yang saling bertentangan. Dan dua-duanya berani bersumpah atas nama Tuhan.

Ada dua cerita yang saling bertentangan
Versi 1:
Kapolri : Ada penyerahan dana dari Anggodo lewat Ary Muladi ke pimpinan KPK.

Chandra M Hamzah : Yang saya terima itu hanya uang dari Negara. Penghasilan saya dari Negara.

Bibit S Riyanto: Saya tidak pernah menerima uang, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari Ary Mulady atau Yulianto…

Versi 2:
Kapolri : Ary Muladi enam kali dating ke KPK

Ary Muladi : Saya hanya ke sana sekali dan sama sekali tidak bertemu pimpinan KPK.

Versi 3:
Kapolri : Ada bukti hubungan telepon

Chandra M Hamzah: Saya tidak kenal yang namanya Ary Muladi, tidak pernah bertemu dengan Ary Muladi ….., apalagi hubungan telepon, apalagi hubungan yang lain.

Bibit S Riyanto : Saya tidak pernah ketemu langsung dan tidak langsung dari mereka semua. Kenal juga tidak.

(Sumber: Kompas, 7 November 2009)


Lalu bagaimana akting narasumber dalam menjalankan perannya?

Ekspresi ala Susno Duadji (Kabareskrim Polri)

#Gembira dan penuh percaya diri#
Sambil bersiul Susno berangkat menuju pertemuan dengan Tim Delapan. Setiba di Gedung Wantimpres, Ia langsung melangkah ke ruang pertemuan, tempat para anggota TPF sudah menanti

#Merasa sedih dan teraniaya#
Sehari sebelumnya, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, ia tampil percaya diri bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Tapi saat tanya jawab berlangsung, perlahan emosinya berubah bahkan sampai menangis.

#Religius#
Kepala Badan Reserse Kriminal yang mundur sementara Komisaris Jenderal Polisi Susno Duaji membantah menerima duit Rp 10 miliar terkait dengan kasus Bank Century. "Sebagai seorang muslim, lillahi taala, saya tak pernah mendapat Rp 10 miliar dari siapa pun terkait dengan kasus Bank Century," sumpah Susno sambil mengangkat tangan kanannya ke atas saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (5/11) malam.

(Sumber: Liputan6.com, 7 November 2009)

Dan adegan yang kocak dan membingungkan adalah saat anggota DPR RI komisi III bertepuk tangan saat mendengarkan pemaparan Kapolri dalam rapat kerja (5/11/09), terkait isu kriminalisasi KPK. Bukannya bersikap kritis dan mencari kebenaran yang sejati, tapi malah menelan mentah-mentah informasi tersebut, seolah para anggota dewan itu mendukung polisi yang sedang bermasalah. Sungguh aneh…

Melihat berita-berita yang muncul di media, saya langsung tambah pusing. Kebenaran realitas yang harusnya didapat dari narasumber, ternyata sudah “dikonstruksi” sendiri oleh si narasumber, sebelum sampai pada wartawan. Yang artinya, kebenaran informasi dari narasumber tersebut diragukan “kredibilitas”nya. Nah, kalo narasumber nya saja sudah berbohong dan beradu akting didepan wartawan. Bagaimana bisa si wartawan menerjemahkan informasi tersebut secara benar (sesuai kenyataan-red)?

Sayang, Paul Watson tidak hidup dan tinggal di Indonesia. Kalo melihat kondisi dimana “nilai kejujuran” sudah hilang dari budaya masyarakat, mungkin dia akan mencabut teori nya diatas, dan menggantinya dengan teori baru bahwa “Kebenaran (berita) bukanlah ditentukan oleh media massa, tapi oleh Tuhan. Karena hanya DIA yang tahu kebenaran ucapan sang narasumber” hehehe…

Celesta, 7 November 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar