Mental Kepiting

11.35 / Diposting oleh Phyrman /

Manny “Pac-man” Pacquiao, peraih tujuh gelar tinju dunia di kelas yang berbeda memberi petuah yang menarik kepada para wartawan yang meliputnya, "Mari kita tanggalkan mental kepiting dalam diri kita. Saya memohon kepada Anda semua untuk menanggalkannya. Mari kita bersatu agar bisa bergembira."

Pac-man menyindir dengan kata-kata itu terkait perilaku wartawan lokal Filipina yang lebih memilih membesar-besarkan gosip keretakan rumah tangganya dibanding prestasi tingkat dunia yang telah berhasil diraih. Istilah mental kepiting biasanya digunakan untuk menggambarkan kemiskinan yang meluas di Filipina. Istilah itu merujuk ke perilaku sekumpulan kepiting yang terjebak di tong. Ketika seekor kepiting coba meloloskan diri dengan memanjat dinding tong, temannya di belakang menariknya, sehingga dia terjebak lagi di dasar tong.

Membaca cuplikan berita di Warta Kota itu membuat saya teringat perilaku pejabat-pejabat kita yang juga bermental kepiting. Jika ada salah satu pejabat yang mau bertobat dari korupsi, atau berusaha keluar dari lingkaran setan yang menyengsarakan rakyat itu, maka rekan yang lain langsung mencapitnya untuk ditarik kembali masuk dalam tong sampah korupsi.

Mental kepiting juga berarti saling mencapit untuk menjaga harmonisasi kejahatan. Semua kepiting saling mengancam capit ke rekannya yang diprediksi akan berkhianat atau membeberkan kejahatan mereka. Pada awalnya, para kepiting saling kompak dalam menilep uang negara; kepiting A bertugas membuat UU yang bisa melegalkan korupsi, kepiting B bertugas membuat proyek dan memelintir laporan keuangan, kepiting C bertugas melindungi dari kasus hukum jika terungkap. Masing-masing kepiting akan berusaha saling menutupi karena hasil kejahatan sudah dibagi secara merata. Jenis kepiting seperti ini akan rela menyamakan persepsi dan fakta untuk bersepakat dalam kebohongan. Tapi jika ada yang berkhianat, maka capit-capit rekannya yang akan mengoyak tubuh.

Saya membayangkan, bagaimana beban moril yang dialami oleh sebagian pejabat negara yang lurus dan idealis.

Dalam sebuah sistem yang terlanjur korup, maka hampir pasti semua orang didalamnya pernah mendapatkan uang haram, walau mungkin oleh sebagian orang tidak pernah diniatkannya. Lalu jika ada seorang pejabat yang berhati baik menolak hasil sebuah tindak kejahatan, maka dia berdiri berhadapan dengan kepiting korup dan secara otomatis berada didalam ancaman capit mereka. Ancaman bisa berasal dari atasan yang korup, rekan staf yang korup atau bawahan yang korup. Semua kepiting korup pasti mengancam akan membeberkan kekhilafan pejabat baik menerima uang haram di masa lalu, atau mencari celah untuk menjatuhkannya. Tidak ada kepiting korup yang rela membiarkan rekannya keluar dari tong korupsi, karena khawatir akan membuka tabir kejahatan.

Kasus perseteruan KPK vs Polri juga mirip perilaku kepiting yang hobi memamerkan capit. Seorang pejabat Polri yang mengetahui dirinya sedang disidik oleh institusi lain terkait kasus suap bank Century, maka sebelum dirinya ditangkap, lebih dulu dia mencapit lawannya di institusi KPK dengan tuduhan yang tidak jelas alias rekayasa. Tidak penting apakah tuduhannya terbukti atau tidak, yang penting adalah dirinya berhasil mencapit lawan, kendati kemudian terpaksa dilepaskan karena besarnya tuntutan masyarakat.

Hobi mengancam dan mengoyak tubuh lawan dengan capit ala kepiting, juga terjadi dalam kasus lain, apalagi yang melibatkan masyarakat miskin yang lemah. Dalam sebuah penggusuran lahan misalnya, pemerintah daerah menggunakan capit satpol PP sebagai strategi membumihanguskan rumah-rumah warga, padahal seringkali kasus sengketa hukumnya masih berjalan di pengadilan. Atau kasus tewasnya Subagyo, seorang sopir angkot di Depok Jawa Barat, saat penggrebekan judi oleh polisi. Tanpa alasan yang jelas capit arogan itu mengeluarkan tiga timah panas yang menembus tubuh korban.

Tapi sebaliknya capit besi penegak hukum bisa tiba-tiba melempem, bila berhadapan dengan pengusaha kaya yang sudah menggelontorkan milyaran rupiah ke saku-saku mereka. Anggodo yang sudah jelas-jelas melanggar hukum, minimal pasal pencemaran nama baik presiden atau polri, malah tak tersentuh hukum. Capit-capit polisi dan jaksa tak mampu mencubit kulit orang yang telah memperkaya mereka. Bahkan sang pemimpin tertinggi pun terdiam, sebagian gosip mengatakan bahwa si pengusaha ini adalah donatur kampanye yang cukup besar.

Hehehe, kok malah jadi ngelantur bercerita tentang atraksi capit-capit kepiting sih…

Kembali ke nasehat Mr. Pacman yang telah berhasil memecahkan rekor dunia dengan meraih tujuh gelar juara tinju di kelas yang berbeda.

Sebagai manusia, tak ada salahnya kita sejenak merenung, apakah kita bangsa indonesia juga termasuk orang-orang yang bermental kepiting. Karena bisa jadi kemiskinan yang saat ini dialami oleh mayoritas rakyat, juga adalah gambaran dari diri kita sendiri. Yang punya mindset bahwa “kita rela menderita asalkan ada kawan yang lebih menderita.”

Contoh sederhana adalah cara atlet sepakbola bermain. Mental kepiting para pemain ini membuat mereka memilih membuat kerusuhan atau huru-hara, entah dengan mengganjal pemain lawan, menonjok wasit hingga memprovokasi penonton untuk anarkis. Jika tim nya kalah dalam pertandingan. Karena berpikir negatif, maka orientasi mereka adalah mencederai lawan, bukan membangun diri untuk meraih kemenangan dengan mencetak gol hingga detik-detik terakhir.

Ah, jadi ingat filosofi semut nich.

Biar kecil tapi tetap kompak dan berpikir positif, sehingga seberat apapun beban yang harus dicapai, akan bisa terpenuhi, karena ada kebersamaan dalam kebaikan.

Sency, 20 November 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar