Budaya Islam Abangan, Isu Teroris dan Kesalahpahaman Masyarakat Dalam Menilainya

10.32 / Diposting oleh Phyrman /

I. Pendahuluan
Pada harian Kompas (Minggu, 23/08/2009) halaman 4, ada berita tentang penghakiman masyarakat terhadap budaya islam abangan terkait maraknya isu terorisme paska ledakan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot, Mega Kuningan, Jakarta.

Judul : “Dihadang Warga karena Berjenggot dan Bercadar”,
Cuplikan isi berita :
“Sial nian nasib suami istri Daud dan Kasitri gara-gara berjenggot dan bercadar, keduanya dihadang dan diinterogasi habis-habisan oleh sejumlah warga seusai bersembahyang di Masjid Al Barokah Kampung Kedinding, Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten. Bahkan, keduanya sempat dibawa ke markas polisi…..” (Kompas, Minggu, 23/08/2009).

Berita tersebut mewakili maraknya kasus-kasus sejenis tentang terjadinya benturan budaya antara masyarakat muslim sekuler dengan budaya islam abangan yang berciri seperti diatas. Kendati tidak secara langsung menuduh bahwa ajaran islam abangan ini sangat dekat dengan keyakinan teroris yang dianalogikan polisi sebagai teroris jaringan Noordin M Top, yang merupakan sempalan Jamaah Islamiyah garis keras, namun akibat pemberitaan media massa yang bertubi-tubi tanpa adanya berita pembanding, maka opini masyarakat pun tergiring bahwa dalam kehidupan sosialnya para buronan teroris akan berpenampilan seperti rilis pihak kepolisian. Dampaknya adalah pembentukan persepsi masyarakat terhadap ciri profil buronan teroris, sehingga ketika menemukan orang, atau sekelompok orang yang berpakaian baju koko, celana menggantung, dan berjenggot akan dicurigai sebagai teroris.

Pertanyaannya adalah kenapa masyarakat yang sebelumnya bisa hidup berdampingan dengan budaya tersebut diatas, kemudian berubah menjadi curiga dan khawatir?

II. Landasan Teori
a). Pengertian budaya
Budaya dalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang dan waktu, konsep alam semesta, obyek-obyek materi, merupakan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Budaya sebagai alat untuk memahami perilaku manusia atau orang lain seringkali tidak dimaksimalkan manfaatnya. Mestinya perspektif yang obyektif harus digunakan untuk mengimbangi subyektifitas dalam memandang perbedaan budaya. Budaya muncul bukan karena kebetulan saja, budaya merupakan hasil proses adaptif manusia terhadap lingkungannya baik secara fisik dan biologisnya. Lalu diturunkan, diwariskan pada keturunannya terus menerrus hingga tidak disadari dari mana asal warisan kebijakan tersebut.

b). Memahami Perbedaan budaya
Perbedaan budaya adalah perbedaan “dunia” seseorang dalam kaitannya dengan komunikasi, kita harus mampu menengok “dunia”mereka yang berbeda dengan dunia kita dan berkata dalam dunia mereka.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada suku bangsa dan kebudayaan. Keanekaragaman tersebut menimbulkan berbagai permasalahan dalam komunikasi interpersonal lintas suku bangsa, dikarenakan perbedaan persepsi dalam penerimaan pesan saat berkomunikasi.

Dalam kehidupan yang multikultural seperti di Indonesia ini, perlu untuk memahami apa yang terjadi dan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi permasalahan perbedaan budaya. Semakin kita mengenal budaya orang lain, semakin terampilah kita memperkirakan ekspektasi orang lain dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Jika hal ini berhasil maka pencapaian tujuan dalam kehidupan akan terwujud sesuai target. Kunci pokok yang dapat mengantarkan kita ke dalam tujuan besar itu diperlukan pemahaman akan perbedaan budaya yang ada dan mendasari latar belakang perilaku seseorang dan pemahaman akan sebuah komunikasi antar budaya diantara pelaku komunikasi tersebut.

c). Komunikasi antar budaya
“Intercultural communication is the art of understanding & being understood by the audience of another culture” (Sitaram, 1970), komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami & dipahami oleh khalayak yang memiliki budaya yang berbeda.

“Intercultural communication is communications which occurs under condition of culture, different – language, values, costumes & habits” (Stewart, 1974), komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

d). Benturan budaya
Benturan budaya terjadi karena perbedaan budaya dalam persepsi, keyakinan dan sebagainya.

e). Konstruksi sosial atas realitas oleh media massa
Dalam buku; Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisis Semiotik dan Analisi Framing, karangan Alex Sobur, ada beberapa definisi Konstruksi sosial atas realitas oleh media massa:

Dalam pandangan Gaye Tuchman mengenai sifat dan fakta media massa, “disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita.” (hal.88)

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”. (hal.87).

Menurut Alex Sobur; “Ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain; misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal. Kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.” (hal.30)

III. Pembahasan
Kalau kita mengikuti perkembangan berita-berita di media massa Indonesia paska serangan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot Jakarta, 27 Juli 2009. Maka akan tampak ciri-ciri buronan teroris yang diduga kuat oleh Polri sebagai jaringan pelaku, yaitu:
- Biasanya berpakaian; baju koko, peci putih, dan celana tinggi (menggantung).
- Biasanya berjenggot.
- Biasanya rajin sholat di masjid/mushola terdekat.
- Biasanya ramah dan baik dengan tetangga, namun orangnya agak tertutup.
- Biasanya menyimpan Al quran dan buku-buku berbahasa arab di rumahnya.
- Biasanya memasang kaligrafi atau stiker tentang jihad di rumahnya.
- Biasanya pendatang baru dan suka berpindah kos.

Profil tersebut adalah gambaran penampilan fisik, budaya berpakaian, dan perilaku keseharian yang biasa dijalankan oleh mayoritas islam abangan di Indonesia. Adanya persamaan profil teroris yang dirilis pihak kepolisian dengan budaya islam abangan, tentunya bisa menciptakan terjadinya perubahan persepsi masyarakat terhadap budaya tersebut. Dan hal ini bisa menyebabkan terjadinya benturan budaya antara masyarakat umum Indonesia yang didominasi oleh muslim garis tengah (sekuler) dengan masyarakat yang kuat memegang budaya islam abangan.

Sebelum terjadinya ledakan bom di kedua hotel yang menyebabkan 56 warga meninggal dunia, nyaris tidak pernah benturan budaya diantara mereka. Semua hidup rukun berdampingan, berusaha saling memahami dan menghormati terhadap ketaatan menjalankan ajaran agama masing-masing. Semua disatukan oleh besarnya toleransi antar budaya.
Lalu kenapa persepsi masyarakat bisa berubah sedemikian cepat? Dari yang sebelumnya saling toleransi berubah menjadi curiga dan khawatir.

Menurut pendapat penulis, hal itu disebabkan besarnya pemberitaan media massa dalam memberitakan isu-isu teroris tersebut kepada masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan, usai terjadinya bom, hampir semua headline media massa terfokus pada penyelusuran jejak pelaku bom tersebut. Setiap hari media massa merilis perkembangan kasus perburuan teroris oleh pihak kepolisian. Keterbatasan narasumber alternative yang mengerti tentang “dunia teroris” menjadikan rilis kepolisian menjadi satu-satunya kebenaran tentang buronan teroris. Dan kebenaran itu sangat dipercaya oleh masyarakat yang menjadi komunikan dari isi pesan media massa.

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”(Dalam Alex Sobur;2001).

Kebenaran rilis kepolisian yang ditayangkan media massa, oleh masyarakat kemudian dianggap menjadi kebenaran sejati tentang profil buronan teroris. Akibatnya masyarakat menjadi sangat percaya, bahwa dalam kehidupan sosialnya, para pelaku terror itu berbudaya (pakaian, perilaku-red) seperti itu. Dampaknya adalah masyarakat islam abangan yang memiliki ciri budaya seperti itu dicurigai oleh masyarakat lain sebagai pelaku teroris.

Adanya rasa curiga, khawatir dan takut terhadap pelaku teror (yang juga digambarkan media massa, sebagai manusia yang berwatak kejam dan nekat), menjadikan masyarakat bersikap agresif dan preventif terhadap warga yang berciri sama. Akibatnya sering terjadi benturan budaya, dimana masyarakat yang curiga itu, lalu menangkap, menginterogasi dan menghakimi orang atau sekelompok orang islam abangan, yang berpakaian seperti profil teroris versi polisi.

Hal ini tentu sangat berbahaya, karena jika ada provokator yang menghembus-hembuskan isu SARA terhadap masyarakat yang sedang “galau” akibat pemberitaan media massa. Bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi konflik antar budaya atau perlakuan tindak kekerasan terhadap budaya lain.

“Intercultural communication is communications which occurs under condition of culture, different – language, values, costumes & habits” (Stewart, 1974), komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

Komunikasi antar budaya yang efektif harus dijalankan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini penting untuk mencoba memahami budaya islam abangan terkait kepercayaan yang mereka yakini dalam pelaksanaan agama islam. Harus ada usaha untuk mempersamakan persepsi bahwa budaya islam abangan bukanlah budaya teroris. Dan teroris tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya mereka, kendati secara penampilan fisik mungkin sama.

Untuk mencegah hal tersebut berkembang ke arah negatif, maka dibutuhkan dialog antar tokoh masyarakat kedua budaya tersebut (islam abangan dan muslim sekuler) untuk menyamakan persepsi tentang terorisme yang terjadi di Indonesia. Pemerintah mempunyai kewajiban memfasilitasi adanya dialog tersebut. Dengan adanya dialog yang terbuka, maka masyarakat akan semakin mengenal budaya orang lain.

Semakin erat komunikasi antar budaya terjalin, maka semakin terampilah kita memperkirakan ekspektasi orang lain dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Jika hal ini berhasil maka pencapaian tujuan dalam kehidupan akan terwujud sesuai target. Kunci pokok yang dapat mengantarkan kita ke dalam tujuan besar itu diperlukan pemahaman akan perbedaan budaya yang ada dan mendasari latar belakang perilaku seseorang dan pemahaman akan sebuah komunikasi antar budaya diantara pelaku komunikasi tersebut. (Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat;1993)

Kesalahan komunikasi (pemahaman-red) masyarakat umum terhadap kelompok islam abangan yang berbudaya khas tersebut, akibat bombardir pemberitaan media massa tentang profil buronan teroris, sudah selayaknya disikapi dengan bijaksana. Media massa harus cooling down dalam memberikan isu teroris dengan memperhatikan dampak negatifnya bagi kerukunan masyarakat. Media massa harus bisa memilih angle berita yang jernih agar tidak memprovokasi masyarakat. Disamping itu, pemerintah dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) juga harus memberikan gambaran yang utuh tentang buronan teroris, sehingga tidak dipahami masyarakat secara parsial. Pemerintah tidak boleh melakukan penghakiman dengan menebarkan rasa takut pada masyarakat terkait gerakan terorisme. Karena penanganan terorisme adalah tugas aparat hukum, jangan sampai “kegagalan” dalam menumpas terorisme, kemudian dialihkan pada penyebaran rasa takut yang mengakibatkan masyarakat tidak bisa berpikir rasional.

Masyarakat yang bisa memahami budaya orang lain, akan menghindarkan terjadinya konflik antar budaya. Rasa empati dan simpati yang besar, akan menggiring pada toleransi antar budaya yang kuat. Sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika, untuk menuju bangsa yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur alias gemah ripah loh jinawi.


By: Dwi Firmansyah


Daftar Pustaka

Buku:
Alex Sobur, Analisi Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisi Semiotik dan Analisi Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993

Diktat:
Nani Nurani Muksin S.Sos M.Si., Diktat Komunikasi Antar Budaya,
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2003

Label:

1 komentar:

Anonim on 16 Desember 2009 pukul 03.30

org yang menyimpan Al-quran di curigai..........ANEH............??????

Posting Komentar