Mbak Luna dan Arogansi Profesi

05.20 / Diposting oleh Phyrman /

Sengketa kecil antara Luna Maya (artis, pesinetron, penyanyi dan MC) dengan pekerja infotainmen memasuki babak yang penuh opini. Sebagian masyarakat yang pro infotainmen “merasa” adalah sungguh tidak tahu diri jika seorang artis yang (notebene) dibesarkan oleh industri infotainmen lewat kucuran keringat para pekerja nya, tiba2 menghujat orang yang telah mengangkat namanya, dari bukan siapa2 menjadi artis tenar termahal di negeri ini. Kendati sebenarnya “klaim” tersebut juga berjalan sepihak, karena sang artis pun merasa kesuksesannya karena telenta dan kerja keras, bukan hasil ”pemberian” dari pekerja infotainment.

Yang pro mbak Luna tentunya sepakat, bahwa sebagai manusia memiliki hak individu yang namanya ”privacy” dan ini dilindungi oleh UU tertinggi manusia yaitu Hak Azasi Manusia (HAM), dimana tidak seorang pun atas nama profesi apapun berhak untuk mengganggu kenyamanan hidup orang lain. Jadi kalo seseorang merasa terganggu dengan kehadiran orang lain yang ”memaksa” dia untuk membuka kisah pribadinya, hal itu bisa masuk pada pasal pidana. Namun seringkali pekerja media membenturkan dengan (sedikit menyeleweng tafsiran) UU pers, bahwa seseorang tidak boleh menghalangi wartawan untuk mendapatkan informasi. Nah lho?

Menghadapi ”update status” Mbak Luna di twitter nya yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik para pekerja infotainmen, saya langsung bertanya-tanya, benarkah itu sebuah penghinaan? Trus kenapa seseorang harus merasa terhina padahal dalam tulisan itu tidak menyebut sebuah institusi atau pribadi seseorang. Atas dasar apa seseorang berhak merasa menjadi ”korban” pencemaran nama baik. Apakah jika saya mengatakan ”para pejabat memang koruptor dan penjahat” lalu semua orang pejabat pemerintahan dari tingkat pusat hingga kelurahan berhak melaporkan saya ke pengadilan terkait pasal pencemaran nama baik. Jika itu terjadi maka semua demonstran yang biasa kritis, bisa2 langsung masuk bui hehehe...

Saya teringat cerita seorang kawan wartawan televisi yang ditugaskan mewawancarai seorang tokoh reformasi yang terkenal kritis dan tajam. Saat bertemu di kantornya, sang narasumber berkata ”kamu dari TV mana?” lalu kawan saya menunjukkan logo mic, dan spontan si narasumber berkata ”Kamu tahu gak, saya dulu sangat mengagumi berita2 di TV mu yang ikut menentukan sejarah suksesnya gerakan reformasi 1998, tapi sekarang saya muak melihat isi beritanya, seperti sampah!” Kawan saya langsung terdiam dan tersenyum kecut. Tapi dengan cool dia tetap merayu agar bisa mendapatkan wawancara si narasumber, karena merasa bahwa keberhasilannya menjalankan profesi adalah dengan sukses mendapat wawancara eksklusif kendati harus mendengar caci maki terlebih dahulu.

Kenapa kawan saya tidak tersinggung atau melaporkan si narasumber ke polisi karena menyebut ”sampah” pada institusinya. Karena dia paham, bahwa kata-kata itu adalah kritikan membangun terhadap kekurangannya dalam membangun sebuah berita yang ”mencerdaskan” masyarakat.

Kembali ke twiter Mbak Luna, dia mengatakan ”derajat infotainmen lebih rendah dari pelacur dan pembunuh”. Secara teks dia tidak menyebut sebuah profesi tertentu, kata infotainmen sendiri bermakna program bukan profesi. Dan bisa jadi itu infotainmen di amerika atau arab saudi bukan di Indonesia, artinya banyak tafsir yang mungkin muncul dari istilah tersebut. Dari segi konteks, itu hanya luapan emosi yang mungkin terganggu akibat pemberitaan infotainmen yang merugikannya atau etika pekerja infotainmen dalam mencari berita yang sangat mengganggunya. Maknanya adalah kalo dari dua hal ini menimbulkan multitafsir, kenapa orang lain yang mungkin bukanlah orang yang dimaksud oleh Luna harus merasa tersinggung dan geer (gedhe rumangsa-red). Lebay banget sich hehehe... Btw, lebay adalah salah satu akar dari arogansi pribadi.

Secara psikologis, lebay atau berlebihan dalam memandang diri sendiri bisa disebabkan oleh dua hal, pertama karena dia ingin dipuja dan dianggap sebagai orang yang hebat. Kedua adalah menutupi karakter pribadinya yang sebenarnya minder dan tertekan. Merasa tidak hebat tapi ingin dianggap hebat. Kalo dua hal ini berpadu dalam satu pembenaran pendapat maka jadilah sosok orang yang tidak pernah merasa bersalah dan arogan. Profesi dijadikan pembenaran untuk merugikan orang lain, demi menghindari ”tekanan” dari kantor yang seringkali bertentangan dengan hati nuraninya.

Ini sebenarnya mewakili perasaan saya pribadi yang pernah menjalani profesi sebagai pekerja infotainmen dan pekerja media. Ini hanya sekedar pendapat pribadi, karena bisa jadi orang lain memiliki pengalaman yang berbeda. Saat beberapa tahun silam iseng-iseng side job sebagai kamerawan infotainmen, hal pertama yang saya rasakan adalah hasrat yang besar untuk mendapatkan gosip menarik plus rasa tidak tega untuk mencampuri atau mengetahui urusan pribadi orang lain. Dan ini membuat saya tertekan, pertama saya menyadari bahwa adalah hak si artis untuk menjaga rahasia pribadinya, tetapi berita tentang prestasi si artis bukanlah gosip yang menarik dan berating tinggi.

Kedua, secara kasat mata, penampilan materi si artis jauh lebih glamour dibanding saya dan seorang kawan yang untuk datang ke lokasi artis, hanya menggunakan motor butut. Ada rasa minder sebenarnya, tapi kita tetap harus menjaga image agar terlihat setara hehehe...

Ketiga, usaha kita untuk meliput seringkali tidak diakomodir oleh perusahaan, sehingga butuh kerja keras untuk sekedar bisa datang ke TKP, sementara tuntutannya adalah berita bagus. Pun jikalau kita gagal mendapat berita panas, resiko pemecatan dari Rumah Produksi tempat kita bekerja sangat besar, karena seringkali tidak ada kontrak kerja yang sesuai UU bagi pekerja infotainmen, apalagi asuransi.

Keempat, tidak adanya training jurnalistik (btw, pekerja infotainmen termasuk jurnalis bukan yaa?) membuat wawasan kita tentang etika profesi dan aturan peliputan menjadi nihil. Kita seperti anak-anak yang langsung diterjunkan ke lapangan tanpa pengetahuan sama sekali.

Kelima, infotainmen tetaplah disebut berita gosip, yang kendati berating lebih tinggi dibanding berita politik, sosial budaya etc. Tapi tetap dianggap ”berita sampah” oleh para pengamat media, tokoh masyarakat, praktisi pendidikan. Yang dianggap hanya merusak moral masyarakat dan tidak mencerdaskan.

Terjepit diantara kebanggan diri dan penilaian miring orang lain, seringkali membuat kita kehilangan akal sehat saat melakukan peliputan, dan mungkin hal ini masih berlaku hingga sekarang. Ketidaktahuan tentang etika profesi jurnalistik ditambah tuntutan rumah produksi untuk selalu mendapat gosip terpanas, membuat kita terkadang harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita. Dan inilah yang menurut saya melatarbelakangi seringnya terjadi benturan tidak etis dalam peliputan.

Kembali ke soal merasa arogan berprofesi wartawan. Menurut saya ini karakter wartawan pemula yang masih eforia dengan dirinya dan tidak paham konsekuensi atas profesinya. Ada perasaan bangga yang berlebihan bahwa profesi ini adalah pilar keempat yang menentukan kesuksesan suatu bangsa. Bahwa UU pers melindungi wartawan dari tuntutan hukum dalam melaksanakan pekerjaan. Bahwa wartawan bisa menaikkan atau menjatuhkan narasumber nya. Bahwa dirinya berhak untuk mendapatkan informasi dan menyebarluaskan ke masyarakat. Kebanggan-kebanggan ini kalo tidak dikontrol akan menghasilkan sosok pribadi yang kehilangan rasio, dengan memandang semua masalah dari sudut pandang diri sendiri, bukan orang lain.

Dan ternyata hal itu terbukti nyata, pelaporan oleh pekerja infotainmen terhadap mbak Luna ke polisi dengan mengadukan pasal-pasal UU ITE malah didukung oleh korps Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), padahal UU itu sedang diprotes oleh insan media karena dianggap menghalangi kebebasan pers. Entah apa motivasi pekerja infotanmen dan PWI memakai pasal karet yang jelas-jelas berpotensi memberangus profesinya.

Secara pribadi saya mendukung AJI yang berusaha mendamaikan ”sengketa kecil”ini dalam ranah musyawarah, antara insan pers dengan narasumbernya.

Lebih baik kembali menjadi pilar bangsa yang mencerdaskan masyarakat daripada tampil arogan mempertontonkan keunggulan profesinya untuk sesuatu yang ”SANGAT TIDAK PENTING” ini.


Celesta, 22 Desember 2009


http://ruangstudio.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar