Haruskah Kita Bersedekah Kepada “Pengemis”?

11.22 / Diposting oleh Phyrman /

Sengaja saya menuliskan kata “pengemis” dengan penanda kutipan, karena makna pengemis yang saya maksud memang bukan pengemis yang sesungguhnya. Sebagai catatan, menurut PP NO 31 TAHUN 1980, Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Atau dalam Wikipedia disebutkan mengemis adalah hal yang dilakukan oleh seseorang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal atau hal lainnya dari orang yang mereka temui dengan meminta. Umumnya di kota besar sering terlihat pengemis meminta uang, makanan atau benda lainnya. Pengemis sering meminta dengan menggunakan gelas, kotak kecil, topi atau benda lainnya yang dapat dimasukan uang dan terkadang menggunakan pesan seperti, "Tolong, aku tidak punya rumah" atau "Tolonglah korban bencana alam ini".

“Pengemis” dengan tanda kutip yang saya maksud adalah pengemis yang kita tidak pernah tahu status sosial mereka yang sebenarnya, apakah benar-benar orang yang membutuhkan bantuan karena tidak mampu lagi untuk mandiri, atau orang-orang yang sengaja berpenampilan lusuh dan kumal untuk mempercepat mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras.

Ngomong2 soal “pengemis”, saya jadi ingat beberapa tahun silam, saat dalam perjalanan naik bis Sinar Jaya dari Banjarnegara ke Jakarta, berdiskusi dengan seseorang “ustadz” yang duduk di sebelah bangku saya. Secara pribadi saya tidak kenal dia, bahkan namanya pun tak sempat tanya, karena baru kenalan. Beliau cukup ramah, lumayan menguasai ilmu agama, dan mengaku sedang belajar untuk mencoba mengaplikasikan pemahaman yang dimilikinya dalam kehidupan nyata.

Dalam perjalanan yang cukup panjang itu, saya melemparkan pertanyaan serius, “haruskah kita memberi sedekah kepada pengemis?”. Dan dengan mengutip surat Al Mauun, beliau menjelaskan bahwa kalau memang ada rejeki, adalah sangat berpahala jika kita mensedekahkan sedikit harta kita kepada orang lain. Dan kita tidak boleh berburuk sangka dengan berpikir bahwa orang yang kita beri (pengemis-red) hanyalah orang yang berbohong (dengan pakaiannya), karena itu akan mengurangi keikhlasan kita.

Lalu pertanyaan kedua saya lontarkan, “bagaimana dengan efek negatif berupa rusaknya mental para pengemis itu?. Karena menurut saya, kalo mereka menjadi ketergantungan hidup sebagai pengemis, maka cepat atau lambat itu akan menjadi virus budaya yang merusak moral umat islam itu sendiri? Budaya pengemis adalah budaya instan, dimana seseorang bisa meraih harta, tanpa harus banyak berkeringat. Bahkan seringkali pendapatan mereka jauh lebih besar dibanding orang yang bekerja keras sebagai pedagang kaki lima.”

Beliau sejenak terdiam, lalu berkata “Itu adalah PR buat kita semua. Saya sendiri tidak bisa menjawab mana hal terbaik yang sebaiknya kita lakukan. Karena dalam kondisi ini, para pengemis itu seringkali sudah tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Artinya mereka mendzolimi diri mereka sendiri dengan menurunkan harga dirinya menjadi “pengemis”, padahal sebenarnya mereka mampu kalau mau berusaha. Maaf mas, saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.”
===

Pengemis dan “pengemis” adalah dua sosok yang memiliki penampilan sama; lusuh, kumal, dan dekil. Tapi mereka dibedakan oleh mental dan kejujuran. Si pengemis adalah orang yang terkadang malu untuk mengemis, tapi keadaanlah yang memaksa mereka melakukan tindakan itu. Sedangkan “pengemis” adalah orang yang bangga, tidak jujur dan suka memanfaatkan status orang lain (pengemis-red) untuk kepentingan pribadinya, yaitu mencari uang secara instan.

Ada sebuah kisah yang sangat menarik di harian Jawa Pos yang menginvestigasi karir seorang “pengemis”, berikut cuplikan berita nya :

“Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.

Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.

Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.”
(sumber: http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=5373 )

====

Mungkin kita masih ingat, beberapa waktu lalu Pemda DKI Jakarta mengeluarkan Perda baru yang cukup kontroversial, yaitu denda bagi masyarakat yang ketahuan memberi sedekah kepada pengemis. Denda 150 ribu hingga 300 ribu kepada pelaku sedekah, sempat berjalan cukup efektif dan mengurangi pemberian kepada para pengemis. Tapi memang banyak “perlawanan” dari berbagai LSM yang menganggap hal itu keterlaluan dan malah melanggar hak manusia untuk memberi. Bagaimana tidak, lha wong ada orang beramal kok malah dihukum, ini adalah aturan yang salah kaprah, kata para penentang.

Namun alasan Dinas Sosial memberlakukan Perda itu pun cukup masuk akal, menurut Budihardjo, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, mengemis sudah dijadikan sebagian warga sebagai profesi, bukan lagi lantaran kemiskinan. “Membantu orang miskin merupakan kewajiban kita, tetapi bila mengemis sudah dijadikan profesi tentu tidak bisa dibiarkan”.
(sumber: Pos Kota)

Kalau membaca berita pro dan kontra tentang dunia pengemis, kita menjadi semakin paham, bahwa tidak semua tindakan atau perbuatan pribadi kita menjadi urusan individu. Karena seringkali hal-hal yang sepele dan bersifat mikro, ternyata memiliki implikasi besar yang bersifat makro.
Bersedekah adalah urusan pribadi, tetapi kalau ribuan sedekah malah menghasilkan keruwetan sosial berupa munculnya profesi pengemis, maka ini tentu tidak lagi menjadi masalah personal.

====

Secara sadar atau tidak, kita sering menghakimi bahwa seorang “pengemis” yang ada dihadapan kita hanyalah aktor yang sedang memainkan peran profesinya. Dan lantas kita ragu-ragu untuk memberinya. Ada yang kemudian tetap meyakinkan diri untuk tidak memberi, dengan membenarkan “pikiran”nya. Tapi ada juga yang akhirnya terpaksa memberi, karena merasa bersalah dan tidak tega, toh memberi “recehan” tidak akan membuat miskin hehehe...

Saya tidak akan menjawab pertanyaan yang saya lontarkan, karena semua hal diatas bersifat pilihan, dimana masing-masing individu, dengan pengalaman dan pengetahuannya masing-masinglah yang lebih tahu, mana pilihan terbaik untuk beramal...

Sency, 28 November 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar