Televisi: Industri Kreatif atau Toko Kelontong Kreatif?

06.38 / Diposting oleh Phyrman /

Persaingan ketat industri televisi dalam memperebutkan kue iklan yang mengecil, tentunya akan menghasilkan inovasi-inovasi yang kreatif. Masing – masing stasiun tegerak untuk menciptakan program yang baru guna menjaring masyarakat untuk tetap setia di layar kaca miliknya. Beragam program muncul; reality show dengan beragam genre, konser musik dengan berbagai kemasan, sinetron dengan variasi tema, hingga tayangan berita eksklusif yang mirip reality show.

Semuanya demi rating.

Puncak industri kreatif televisi dalam memproduksi program-programnya secara inhouse dan massal, dipelopori oleh TransTV. Sejak berdiri beberapa tahun silam, televisi milik bos grup Para, Chairul Tanjung ini, memproduksi hampir semua programnya sendiri. Dari acara hiburan seperti extravaganza, program dokumenter Jelajah dan Wisata Kuliner, hingga infotainment pun dikelola sendiri. Strategi ini ternyata cukup efektif dalam memperkuat ekonomi perusahaan, karena biaya produksi bisa sangat efisien, apalagi jika memakai tenaga kerja muda yang rela dibayar standar. Terbukti hanya dalam waktu 3 tahun TransTV mampu bersaing masuk dalam 5 besar televisi nasional. Nasib ini berbeda dengan stasiun TV lain yang lahir hampir bersamaan yaitu TV7, Lativi, dan MetroTV. TV7 diakuisisi dan merger dengan TransTV lalu berganti nama menjadi Trans7. Lativi berganti kepemilikan dan berubah namanya menjadi TVOne. Sedangkan Metro tetap berada dalam posisi buncit dalam perolehan billing iklan.

Fenomena naiknya TransTV dengan format program non drama yang notabene “berbeda” dengan televisi yang sudah mapan saat itu, menjadi tren tersendiri bagi pemirsa. Tren program reality show; baik program lisensi asing maupun original karya anak bangsa sangat dinikmati oleh masyarakat yang saat itu sudah jenuh dengan tayangan sinetron dari pagi sampai malam. Program extravaganza menjadi top rating hingga kemudian ditayangkan daily, usai merger Trans7 menggebrak dengan Program dialog Empat Mata yang dibawakan secara komedi oleh artis kocak Tukul Arwana. RCTI memiliki program lisensi Who Wants to be Millionare? Dan sebagainya.

Namun ternyata eforia tersebut tidak berlangsung lama. Masyarakat kemudian dibuat muak oleh tayangan reality show yang cenderung bertema sama, contohnya format charity reality show ada berbagai judul; Bedah Rumah di RCTI, Toloooong di SCTV, Seandainya Aku di Trans TV dll. Masyarakat dibuat berpaling setelah menumukan banyaknya kebohongan dan eksploitasi terhadap orang miskin yang menjadi tokoh dalam program tersebut.

Dalam 2 tahun terakhir terjadi perubahan arah angin, masyarakat kembali menggemari program drama atau sinetron. Tema yang diangkat pun sejenis, yaitu mistis, religi dan hantu. Ketiga tema tersebut seringkali diramu dalam satu kemasan program. Kembalinya tren sinetron ini membuat stasiun televisi terpaksa mengikuti arah pasar. Rumah produksi drama yang sebelumnya sempat mati suri akibat maraknya program non drama, kembali mendapat suntikan darah segar.
Adanya larangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang melarang sinetron mistis dan hantu, membuat stasiun televisi menggeser tema nya. Maka sinetron bertema cinta, perselingkuhan, perceraian, konflik keluarga pun kembali marak. Tiadanya alternatif program non drama yang bagus, membuat program sinetron marak hingga sekarang. Hampir semua televisi memiliki sinetron bahkan beberapa stasiun televisi mengandalkan programnya dari sinetron.

Program televisi saat ini nyaris seragam. Sinetron, sinetron dan sinetron.

Fenomena ini sebenarnya sangat berbahaya bagi para pekerja kreatif televisi, karena mereka kehilangan “lapak” untuk menyalurkan kreatifitas dan karya-karyanya. Secara ekonomi, hampir 100% program sinetron yang ada adalah buah karya production house, bahkan kalo dipersempit lagi hanya sekitar 3 rumah produksi besar yang menguasai mayoritas sinetron di berbagai televisi nasional.

Fenomena dagang program ini, bukan tidak mungkin akan menghilangkan daya kreatif industri televisi. Karena stasiun televisi atas nama efisiensi akan memilih menjadi “toko kelontong” program yang ditawarkan production house. Stasiun televisi tidak harus menggaji besar para pekerja kreatif, mereka cukup membeli “barang” dari suplier yaitu rumah produksi dan menjual kembali dengan keuntungan yang cukup oleh departemen marketing.

Jika stasiun televisi kehilangan visi misi nya dan memilih menjadi kapitalis murni yang hanya menghitung untung rugi, maka menjadi “toko kelontong” adalah pilihan yang tepat. Perusahaan cukup memiliki departemen programming, marketing, on air, dan beberapa departemen pendukung dengan karyawan yang relatif sedikit. Sedangkan departemen kreatif seperti departemen produksi dan pemberitaan, yang dulu menjadi tulang punggung program televisi, bisa jadi akan diminimalkan. Karena diluar sana akan bermunculan perusahaan “content provider” yang bisa negosiasi harga dan jual beli putus tanpa ikatan dan tuntutan hukum dikemudian hari.

Ah, semoga ini hanya mimpi burukku…

Bangun! Bangun! Udah sahur nich hehehe…

Sency, 4 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar