Berkah Ramadhan : Segelas Teh Manis dan Nilai Keikhlasan Pak Tukang Taman

10.41 / Diposting oleh Phyrman /

Hari ketiga bulan puasa, ada sebuah berkah ramadhan yang aku dapat, sebuah nilai tentang bagaimana seseorang berusaha menjaga tali silaturahmi nya dengan penuh keikhlasan.

Berawal dari suatu sore, usai ngabuburit bersepeda keliling graha raya di hari kedua puasa. Di rumah sebelahku yang kebetulan belum ditempati, ada seorang tukang taman sedang menyirami rumput dan bunga-bunga yang baru ditanamnya. Keringat masih membasahi wajahnya, sementara bedug magrib udah menjelang, dan suara adzan bergema bersahut-sahutan dari masjid-masjid di sekitar komplek. Melihatnya sendirian, lalu kubawakan segelas teh manis hangat, sekedar untuk membatalkan puasanya. Aku pun memberikan tanpa tendensi apa-apa, hanya sekedar kasihan melihat dia belum selesai menyelesaikan pekerjaan, sementara buka puasa telah tiba.

Keesokannya, di pagi hari jelang siang, terdengar suara ketukan di pintu rumah, berdiri Pak Tukang Taman dengan membawa satu tas plastik berisi timun suri. Dan dengan sopan dia berkata “Mas, ini saya bawakan buah alakadarnya. Terima kasih, kemarin memberi saya teh manis buat buka puasa”. Sejenak saya tertegun, lalu kujawab, “waduh makasih banget pak. Tapi gak perlulah mbawain kayak gini, wong kemarin saya cuman ngasih gitu doang kok.” Lalu beliau tersenyum, dan berkata “saya ikhlas kok mas, dan saya sangat senang kemarin mendapat minum untuk berbuka puasa.” Lalu dia segera berpamitan untuk kembali bekerja.

Sambil menenteng timun suri dari Pak Tukang Taman tadi, saya langsung merenung.

Pertama, saya jadi teringat salah satu ayat dalam al quran tentang janji Allah yang akan melipat gandakan pemberian (sedekah) kepada orang lain dengan nilai yang lebih. Saya tidak sedang menghitung secara materi keuntungaan yang saya dapat, bahwa saya hanya memberi segelas teh yang bernilai seribu rupiah dan diganti dengan timun suri seharga sepuluh ribu rupiah. Bukan matematika itu yang saya hitung, tapi bagaimana Allah membuktikan janjiNYA dengan contoh yang sangat sederhana dalam kejadian itu.

Kedua, saya jadi malu hati terhadap kebaikan Pak Tukang Taman, yang secara elegan datang mengetuk pintu rumah untuk membalas budi. Seseorang yang mungkin secara materi pas-pasan tapi tetap berusaha menjalin silaturahmi dengan sebuah nilai kesejajaran. Sementara saya kalau diberi kebaikan oleh orang lain, seringkali tidak punya itikad baik untuk ganti membalas budi.

Ketiga, saya salut atas keikhlasan beliau dalam menjalin tali silaturahmi. Jujur saat memberinya minum, saya tidak pernah berniat atau bersengaja membangun tali silaturahmi dengannya. Hanya sekedar kasihan, lalu saya bawain air minum, titik. Tapi balas budi beliau, membuat saya selalu mengenang dirinya sebagai orang yang baik dan tulus. Insya allah, jika diberi kesempatan bertemu lagi, saya akan mempererat persahabatan yang ditawarkannya. (tapi, saya bahkan tidak tahu namanya…)

Keempat, beliau menyadarkan saya, bahwa masih banyak orang-orang yang bekerja keras dan jujur dalam menjalani hidupnya. Dari raut wajahnya yang polos, tampak sebuah keteguhan hati dalam menjalankan profesi. Beliau rela berpanas-panasan mencangkul tanah, membersihkan rumput liar dan menggantinya dengan gajah mini yang hijau, sambil tetap berpuasa di siang hari yang panas menyengat, tanpa mengeluh.

Kelima, senyumnya yang memancarkan ketulusan hati saat memberi, membuat saya malu, bahwa saya sering merasa tidak ikhlas dalam beramal. Sering menghitung-hitung untung rugi yang akan saya dapat jika memberi kepada orang lain. Dan yang paling parah, sebelum beramal saya sering berharap bahwa Allah akan membalas amal saya, dengan nilai materi lain yang berlipat. Astaghfirullah…

Ya, Allah telah mengajarkanku tentang sebuah persahabatan dan keikhlasan dari Pak Tukang Taman. Walau saya juga tidak tahu apakah akan bisa menjalankan pelajaran itu atau tidak.

Semoga Allah tidak bosan untuk terus memberi pelajaran tentang hidup kepadaku, Amiiin…

Sency, 25 Agustus 2009

Dwi Firmansyah

Label:

0 komentar:

Posting Komentar