Cerpen: Dia Tidak Salah, Kawan!

08.43 / Diposting oleh Phyrman /

“Hamid ditangkap polisi”, ungkap Azra pelan.
“Kapan dan kenapa?”, tanyaku sambil menatap wajahnya..
“Kemarin malam di musholla dekat rumahnya, dia dituduh terlibat aksi pengeboman sebuah hotel beberapa bulan silam”, Azra kembali menatapku dengan mata menyala.
“Ah, tidak mungkin. Apa yang bisa dia lakukan, hatinya yang halus dan perasa itu tidak mungkin mampu melakukannya”, protesku sambil sejenak menatap mata Azra yang menahan amarah.

Aku kembali membayangkan kebersamaan kita dulu, tatkala kami bertiga masih duduk di bangku Madarasah Tsanawiyah, di sebuah pesantren kecil di kota Solo, Jawa Tengah. Ya, hampir 20 yahun berlalu, tapi kenangan itu masih tertancap kuat dalam memoriku. Kami datang dari tiga daerah yang berbeda, aku dari Pemalang, Azra dari Semarang dan Hamid asal Sragen, sebuah kabupaten kecil tak jauh dari Solo. Kami disatukan oleh kamar di asrama yang dipenuhi sekitar 17 santri dari berbagai daerah. Kami bertiga memilih tidur berjejer dengan beralaskan kasur lipat yang tipis di pojok kamar, diantara lemari-lemari yang berjajar. Di kamar seluas 6 X 4 itu lah kami saling berbagi cerita tentang keluarga masing-masing, tentang alasan memilih sekolah di pesantren dan jauh dari orang tua, tentang hukuman disiplin yang berat dan seringkali membuat kita ingin keluar dan lain-lain. Kebersamaan itulah yang menguatkan kita untuk bisa menyelesaikan pendidikan ini.

“Bagaimana ceritanya, dia bisa dituduh terlibat dalam aksi teror itu?” Tanyaku penasaran.
“Entahlah, tapi menurut cerita ayahnya, ada seorang kawan Hamid yang tertangkap polisi mengaku bahwa Hamid juga mempunyai peranan penting dalam peristiwa itu.” Kata Azra.
“Siapa kawan Hamid itu, dan bagaimana dia bisa mengatakan bahwa Hamid terlibat dalam kasus itu, apakah polisi menemukan bukti-buktinya?” Tanyaku kembali.
“Informasinya masih simpang siur. Kata ayah Hamid, kawannya itu juga dipaksa mengaku untuk mencari jalinan pelaku yang kata polisi memiliki ideologi yang sama dengannya. Karena terus disiksa, terpaksa dia berbohong dan menyebut nama Hamid. Karena hanya dia satu-satunya sahabat dekatnya yang memungkinkan polisi percaya bahwa mereka mempunyai hubungan dekat yang kuat dan saling melindungi.” Azra menjelaskan dengan emosi.

Ingatan akan masa lalu kembali membayang di pelupuk mata, saat hari Jumat pagi tiba, yang berarti adalah hari libur sekolah. Jumat adalah hari yang paling kita nanti-nantikan. Setelah 6 hari terkurung dalam tembok tinggi yang tidak memungkinkan kita untuk melompatinya, kita menemukan kebebasan sejenak. Berbaur dengan masyarakat, melihat-lihat suasana kota solo, atau sekedar jalan-jalan mencari buku bekas di belakang Sriwedari dengan sekali naik bus umum.

Kami mempunyai ritual rutin setiap hari Jumat, usai sholat subuh di masjid, kami menyiapkan celana training, kaos oblong dan sepatu kets untuk berlari memutari bundaran Manahan yang terletak sekitar lima kilometer dari Pabelan, tempat pesantren kami berada. Lalu pulangnya kami tidak berlari di jalan raya, tapi berjalan menyusuri jalanan kampung yang masih asri, sambil menikmati indahnya perkebunan tebu yang dulu menjadi komoditas andalan para petani di sekitarnya. Terkadang kita iseng, masuk ke dalam kebun tebu sambil bermimpi suatu saat akan menjadi tuan tanah yang bisa menjadi penyuplai pabrik tebu terbesar di Karanganyar itu. Atau memetik pucuk-pucuk bunga tebu, sambil membayangkan kampung halaman yang sudah lebih dari 6 bulan kita tinggalkan. Atau kalau ada keberanian, kita meminta pada para petani agar diberikan sebatang pohon tebu, untuk digerogoti rasa manisnya. Ah, kebersamaan yang kuat.

“Lalu bagaimana kondisi Hamid?” tanyaku lagi.
“Kondisinya batinnya baik-baik saja, walau dia agak syok dan bingung. Tapi dia cukup kuat untuk menerima fitnah dari temannya tersebut, dan berusaha memahami alasan sahabatnya untuk turut melibatkannya dalam kasus teror yang sama sekali tidak dipahaminya. Tapi fisiknya lumayan drop, wajahnya sedikit membiru, sedangkan kakinya susah digerakan karena dibalik celana panjangnya yang menggantung tampak bekas-bekas pukulan benda tumpul melukai organ dalam tulang-tulangnya yang rapuh.” Azra kembali menahan emosinya.

Hamid dan Azra adalah dua sahabat dekat yang saling mengisi, Hamid bertubuh mungil dengan otak yang cerdas, namun sensitive dan pendiam. Sedang Azra adalah figure “preman” dalam pesantren, berkali-kali mendapat hukuman disiplin dari pengurus, dari yang dibentak-bentak senior, dihukum pukul pakai penggaris, hingga digunduli rambutnya, sebagai hukuman tertinggi untuk mempermalukan santri agar tidak mengulang kesalahan, sudah berkali-kali dijalaninya. Azra yang emosionil pada masa itu adalah pelarian dari konflik keluarga dirumahnya, yang membuatnya memilih untuk masuk pesantren daripada setiap hari harus menyaksikan “pertempuran kata” antara ibu bapaknya. Rasa kekeluargaan yang didapat di pesantren itulah yang membuat Azra merasa diterima dan berusaha melindungi ikatan kecil ini dari gangguan luar.

Hamid adalah pahlawan kecil bagi Azra. Dengan otak brilian dan kesabaran Hamid mengajar lah yang membuat Azra sukses menyelesaikan deadline “belajar ngaji” sebelum dikeluarkan oleh sekolah karena tidak bisa membaca Alquran hingga pertegahan semester pertama. Jiwa guru Hamid lah yang membuat nilai-nilai Azra lumayan bagus saat mengerjakan PR, walau hancur saat ujian akhir.

Kelulusan sekolah tidak menghalangi persahabatan kami terputus begitu saja. Aku meneruskan sekolah di sebuah universitas negeri di Yogyakarta, lalu bekerja di perusahaan swasta di Jakarta. Hamid memilih tetap tinggal di Solo, memperdalam ilmu agama dan bekerja menjadi dosen di sebuah universitas islam swasta, sambil mendirikan pesantren kecil. Sedangkan Azra adalah salah satu mantan aktivis mahasiswa yang cukup ternama, dan kini meneruskan karirnya sebagai pengurus sebuah partai politik.

“Hamid tidak bersalah. Dia bukan teroris!!” tegas Azra pelan.
“Aku tahu betul karakternya, dia tidak mungkin melakukan hal-hal seperti itu. Jangan-jangan benar kata orang-orang ku, dia sengaja dikorbankan untuk memancingku keluar. Iya, aku ingat beberapa bulan lalu, seorang lawan politikku menekanku untuk diam, dan dia bilang akan menghancurkan diriku dan orang-orang terdekatku, jika aku tetap bicara.” Azra terdiam sejenak. “Ya pasti ini ulah si jahanam itu. Dia sengaja menyuap polisi agar menangkap Hamid dalam kasus terorisme, supaya dalam pengusutan nanti, dia bisa memaksa Hamid untuk membuat pengakuan, terkait kedekatan kita dulu.”

“Kau lihat hasilnya, kawan. Sekarang pesantren yang dipimpin Hamid telah bubar, orang tua murid mana yang berani memasukkan anaknya untuk dididik seorang teroris. Jangan –jangan nantinya akan dijadikan “pengantin”. Keluarganya terpaksa mengungsi, menghindari sindiran dan amarah warga, yang dulu sangat menghormatinya dan sekarang memandang dengan ketakutan. Seolah rumah-rumah mereka akan diledakkan.”

Aku kembali membayangkan sahabat mungilku itu, yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan tartil setiap ba’da magrib. Aku teringat bagaimana dia dengan sabar mengajari kami ilmu fiqh, berdiskusi tentang halal haram, sampai mendengar keluhan kami yang terlambat dapat kiriman orang tua. Sosok sahabat yang sabar dan lurus, dan kini harus menanggung beban berat yang mungkin tidak akan pernah dibayangkannya seumur hidup.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” Tanyaku.
“Aku sudah menyiapkan pengacara terbaik untuk membela Hamid. Dan aku juga sedang menyiapkan orang-orang terbaikku untuk melakukan “aksi” di kota lain. Sekedar menunjukkan pada polisi, bahwa Hamid bukanlah otak pelaku teror tersebut, dia hanyalah kambing hitam. Karena ada kelompok lain yang lebih professional dan menjadi pelaku sebenarnya dari teror itu.” Papar Azra.

“Maksudmu…?” Seruku.

“Ya, hanya dengan cara itu lah, aku bisa membebaskan Hamid dari segala tuduhan…”



Celesta, 31 Agustus 2009


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar