Hotel Rwanda; Konflik antar budaya yang dibina?

07.54 / Diposting oleh Phyrman /

Dua hari jelang 17 agustus kemarin, untuk kedua kalinya saya menonton film Hotel Rwanda di sekolah. Sebuah film yang mengisahkan perseteruan antara dua suku di Rwanda yaitu suku Hutu dan suku Tutsi, dan berakhir dengan pembantaian masal (genosida) sekitar 800 ribu jiwa.

Film karya sutradara Terry George ber-genre drama aksi (based on true story) bercerita tentang sejarah kelam Rwanda di tahun 1994 pada masa-masa berakhirnya penjajahan Belgia. Sebuah konflik budaya yang sengaja diciptakan dan dibina oleh penjajahnya, dengan memanfaatkan hubungan yang tidak harmonis antara kedua suku yang hidup berdampingan.

Dalam film itu tergambar jelas bagaimana suku Hutu yang melakukan pembantaian, lebih bertoleran terhadap bangsa kulit putih dibanding bangsanya sendiri yang sama-sama berkulit hitam walau berbeda etnis. Toleransi suku Hutu terjadi karena tekanan negara eropa dalam hal ini Perancis yang menjadi pemasok senjata, dan penyumbang bantuan bagi pasukan militer pemerintah Rwanda yang dipimpin presiden beretnis Hutu. Nyaris tak ada rasa nasionalisme kebangsaan akibat saling curiga yang mendalam.

Menurut saya, ini adalah sebuah infiltrasi (penyusupan) budaya yang sadis. Dimana masing-masing suku diprovokasi untuk terus berprasangka buruk terhadap etnis lain. Secara cultural tergambar dalam salah satu adegan, dimana suku Hutu menuduh suku Tutsi sebagai penyihir dan penyembah ritual setan yang berbahaya. Bahkan adegan pembantaian pun digambarkan sebagai pengusir roh jahat sehingga harus dimusnahkan dari dunia. Pembunuhan dianggap sebagai pelaksaan aturan budaya sendiri. Sangat irrasional, tapi itulah yang terjadi.

Secara politik, penjajah melakukan teknik devide et impera yaitu pada masa penjajahan pemerintah Belgia 'berpihak' pada suku minoritas Tutsi, tetapi pada saat kemerdekaan justru kekuasaan diberikan pada suku Hutu. Balas dendam politik ditambah infiltrasi + provokasi budaya yang menyesatkan ternyata menghasilkan tindakan genosida yang mengerikan.

Menonton film itu mengingatkan saya akan film G 30/S PKI karya (Alm) Arifin C. Noor, sebuah karya yang mengedukasi masyarakat untuk membenci orang komunis , mengisahkan kekejaman PKI sebagai cara menyederhanakan pikiran kita bahwa membalas dendam (membunuh-red) PKI adalah hal yang wajar sesuai dengan perbuatan mereka. Bahwa lagu genjer-genjer merupakan lagu budaya Gerwani yang asyik dinyanyikan sambil minum-minuman keras. Atau dialog “darah itu merah, jenderal!” yang dilontarkan seorang wanita sambil menyayat kulit anggota TNI.

Dan sejarah mencatat bahwa pembantaian orang-orang PKI sebagian justru dilakukan oleh warga sipil yang terprovokasi oleh stigma bahwa komunis adalah kafir, atheis, dan kejam sehingga darahnya halal untuk dibunuh. Sesama warga desa bisa membunuh tetangganya sendiri jika ketahuan dia pernah ikut PKI. Ini mirip stigma budaya yang dimasukkan pada suku Hutu di Rwanda, bahwa suku Tutsi adalah pemuja setan, sehingga layak dibunuh.


Provokasi yang menimbulkan terjadinya konflik antar budaya selalu menjadi permasalahan yang menarik untuk diobrolkan, karena dampaknya yang seringkali diluar dugaan. Saya jadi teringat saat ditugaskan meliput Ulang Tahun RMS (Republik Maluku Selatan-red) bareng reporter Iwan Setiawan pada tahun 2005.
Memang usai pecahnya konflik besar antar agama di Ambon tahun 2009, setiap jelang tanggal 25 April, hampir semua media massa “wajib” mengirimkan kru tambahan ke sana. Tanggal 25 april adalah hari Ulang Tahun RMS, hari-hari yang rawan terjadi konflik susulan (pada 25-30 april 2004 terjadi perang jilid II-red).

Pada saat itu suasana semakin mencekam 1-2 hari jelang hari H, aparat biasanya sibuk melakukan razia keberbagai titik yang dinilai rawan. Beberapa orang yang “dicurigai” pun ditangkap. Pada malam hari nya, puluhan warga berkerumun melakukan ronda dipinggir jalan, sambil menyembunyikan “senjata” dibalik sarungnya. Dan jika tidak terjadi konflik, maka yang paling ditunggu-tuggu adalah dimana bendera RMS akan berkibar? Berapa jumlahnya? Dan bagaimana reaksi aparat yang kembali kecolongan hehehe…

Sebagai orang yang tidak memahami konflik di Maluku, menurut saya ini adalah konflik budaya yang sangat menarik. Karena ternyata tidak setiap warga masyarakat memahami akar masalah yang sebenarnya. Pada suatu malam jelang hari H, iseng2 saya ikut ngobrol dengan beberapa warga yang “ronda” dipinggir jalan. Mereka bercerita, bahwa sebelum konflik 1999 hampir setiap hari mereka yang berbeda agama itu melakukan kegiatan bersama tanpa masalah; mereka berbelanja di pasar yang sama, main gaple bareng, dan nongkrong tanpa ada rasa curiga. Sebuah toleransi yang tinggi, dan cenderung tidak memperdulikan adanya perbedaan budaya (agama-red).

So, menurutnya; adalah hal yang membingungkan ketika mereka terpaksa harus berperang dengan saudara-saudara sendiri, tanpa tahu penyebabnya, dan tanpa alasan yang jelas untuk menyerang. Dan rasa curiga itu terus menerus “dipupuk” tanpa tahu untuk apa dan kenapa harus curiga.

Lalu siapa yang memprovokasi dan meng-infiltrasi mereka? Yang membuat suku Hutu menjadi pelaku genosida, yang menjadikan masyarakat Indonesia menjadi pembantai sesamanya yang berlabel PKI, yang membina konflik di Maluku agar terus terjadi…

Yang jelas kata Bu Guru Komunikasi Antar Budaya, cara menghindari konflik antar budaya adalah dengan melakukan komunikasi yang ber-empati dan ber-simpati…

Bagaimana caranya? Tanya aja sendiri, wong gw juga bingung wakakakakkkkk….


Sency, 20 Agustus 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar