Juara Tarik Tambang Tanpa Piala…

10.32 / Diposting oleh Phyrman /

Betul-betul hari yang menyenangkan….
Perayaan 17 agustus masih seminggu lagi, namun suasana riang tampak di taman komplek nan mungil ini..
Puluhan anak-anak kecil berlari memegang sendok berisi kelereng, kemudian dilanjutkan lomba makan krupuk, sangat sangat meriah…

Para mbak alias pembantu rumah tangga pun diberi lahan unjuk kebolehan, berkerumun di ember merah untuk berebut memegang belut dan membawanya ke ember lain yang masih kosong, tentunya dengan adegan kocak belut-belut berjatuhan karena licin…

Sore harinya, giliran ibu-ibu yang sebagian diwaktu kerjanya berprofesi sebagai sekretaris, manajer, karyawan dari beragam perusahaan bersaing menginjak-injak balon yang diikatkan dikaki lawan, siapa yang bisa menjaga balonnya tetap utuh, dialah pemenangnya, lalu mereka bersaing adu ketelitian memasukkan pensil ke dalam botol, seperti anak-anak kecil, lucu banget…

Dan sebagai penutup pesta tetaplah didominasi kaum adam yang beradu fisik, saling tarik, saling memperkuat kuda-kuda kaki di tanah, agar lawan bergeser melewati garis batas… Yap, tarik tambang adalah lomba yang paling sempurna…
Karena memamerkan sisi macho laki-laki untuk unjuk kekuatan tanpa menyakiti lawan, dan diiringi teriakan anak istri yang menyemangati sang suami agar kuat bertahan…
Dan blok kami menjadi juaranya!!!

Ya, tradisi rutin tahunan yang telah membudaya selama berpuluh-puluh tahun sejak Indonesia merdeka, saya tidak faham sejarah kapan untuk pertama kalinya perayaan HUT Kemerdekaan RI diramaikan dengan lomba-lomba antar warga.

Tradisi adalah bagian dari budaya hasil pikiran, cipta dan karya manusia.
Kitalah yang merawatnya, mengajarkan ke generasi berikutnya, lalu anak cucu itulah yang kelak akan melestarikannya. Jika kita gagal mengajarkan, dan anak-anak kita tidak tergoda untuk tahu tentang nya, maka hilangnya sebuah budaya tinggal menunggu waktu.

Sebuah desa besar bernama dunia dengan beragam asimilasi budaya yang menyatu dan membentuk budaya baru yang disepakati bersama, berpotensi menghilangkan budaya awal yang pernah berjaya dimasa lalu.

Kebaya berganti kaos, kain sarung atau jarik berganti celana.
Blankon berganti topi, peci pun berganti tutup kepala ala Bob Marley.
Tulisan jawa sudah tidak diajarkan di sekolah negeri.
Bahasa daerah pun menghilang berganti hasrat belajar bahasa inggris.

Bahasa menyatukan dunia.
Bahasa menyatukan budaya.
Bahasa juga menyatukan selera, keinginan, pikiran bahkan makanan.

Kalo dulu, banyak orang merasa belum makan, kalo belum menelan nasi
Sekarang perlahan-lahan bergeser, makan siang yang paling sesuai adalah burger
Karena tidak terlalu berat menunya, dan gak bikin ngantuk akibat kekenyangan.
Warung tegal pun dianggap hanya buat warga kelas buruh, kalo kelas karyawan lebih bergengsi kalo makan spaghetti ato ayam di restoran berlisensi asing.
(padahal apa beda buruh dan karyawan, toh sama-sama kerja untuk orang hehehe…)

Sekolah-sekolah berlomba-lomba mencantumkan status internasional
Bahasa inggris menjadi bahasa kurikulum
Guru-guru pun dipilih yang fasih cas cis cus inggris, walau terkadang melupakan kompetensinya sebagai seorang guru.
Anak-anak pun sedari kecil dididik melatih lidahnya agar tidak medhok dan menghapus aksen daerahnya.

Sebuah kata bijak menuliskan bahwa “martabat suatu bangsa dinilai dari budayanya”
Pertanyaannya adalah budaya apa?
Untuk membangun tembok raksasa di Cina, mengorbankan ratusan ribu jiwa untuk merealisasikan mimpi itu.
Untuk membangun kemegahan arsitektur di amerika, ratusan warga dunia belahan lain harus rela berperang dan kelaparan, karena pejabatnya korupsi demi membiarkan perusahaan asing mengeruk sumber daya alamnya tanpa bagi hasil yang sesuai.
Untuk membangun hegemoninya, negara-negara eropa menjajah negara-negara di benua asia dan afrika.

Entah kenapa aku merasa sangat bahagia siang tadi…
Tradisi silaturahmi dengan berbagai permainan yang sederhana, yang dulu sempat aku kritisi karena kuanggap tidak penting dan kampungan, kini berubah warnanya menjadi ceria.
Aku tiba-tiba rindu untuk bermain “jamuran” saat bulan purnama, atau main petak umpet sambil berteriak dengan bahasa banyumasan yang ngapak.
Aku tiba-tiba merasa berdosa karena tidak pernah sedikitpun mengajarkan bahasa daerah ke anakku, bahasa banyumas dari sang ayah, atau bahasa kromo inggil dari sang ibu.

Kendati sebagai juara tarik tambang, tak ada piala yang kami dapat.
Tapi aku memperoleh hadiah yang lebih besar dibanding nilai piala itu, bahkan sangat jauh lebih besar.
Sebuah kesadaran bahwa ternyata masih banyak warga negeri ini yang menikmati indahnya budaya sendiri.
Sebuah kesadaran bahwa ternyata kita memang merindukan budaya asli kita, yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan.
Dan sebuah kesadaran bahwa bukan hal yang mustahil bahwa sebelum kita meninggal, kita tidak akan bisa menyaksikan langgengnya budaya itu, jika anak-anak kita tidak pernah diperkenalkan pada budaya itu.

Semoga di kampung atau komplek lain, akan lebih banyak budaya-budaya asli yang terlestarikan jauh dibanding apa yang kami lakukan.

Jayalah Negeri ku
Banggalah pada budaya sendiri…

Sency, 10 Agustus 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar