"Label Teroris" dan Hilangnya Kenyamanan Hidup

09.18 / Diposting oleh Phyrman /

Lensa kamera televisi seolah telah menjadi hantu paling menakutkan bagi sebagian orang. Beberapa wanita bercadar tampak jengah dan berusaha menutup wajahnya yang memang sudah tertutup itu. Wanita-wanita itu yang biasanya tidak pernah (bahkan mungkin tidak mau) untuk berhadapan dengan media massa, tiba-tiba seolah dipaksa menjadi obyek gambar yang “seksi” di mata kamerawan. Sekelompok wanita yang tengah berjalan, segera mempercepat langkahnya menghindari sorot kamera yang tidak pernah meminta ijin darinya. Ekspresi warga masyarakat yang bingung, ikut menatap para wanita yang tengah memenuhi kewajiban berpakaian tertutup itu. Yang satu bingung dan ikutan curiga melihat arah lensa kamera, si obyek jengah karena merasa tanpa salah dan dipaksa menjadi artis demi insert gambar televisi.

Dampak “kegagalan” penangkapan Noordin M Top di Temanggung memang dahsyat. Antiklimaks perburuan gembong teroris, yang sempat “didiagnosa” media massa telah tewas dalam penggrebekkan oleh 600 aparat itu, membuat runyam kehidupan masyarakat yang lain.

Seolah untuk menutupi “kelemahannya”, pihak kepolisian kemudian “memamerkan” kemampuan intelejennya dengan mempublikasikan data-data intelejen pada media massa; setiap pergerakan, penyamaran, perekrutan teroris diungkap secara transparan di televisi. Plus rangkaian struktur organisasi, dugaan kaitan pendukungnya, calon pengantin bomber hingga istri-istri yang dinikahi sang gembong.

Masyarakat pun “dipaksa” harus ikut berpartisipasi dalam perburuan teroris yang sebenarnya adalah tugas aparat. Warga dituntut memasang mata terhadap setiap kedatangan orang baru, ciri-ciri khas pakaian dengan baju koko, peci putih dan celana tinggi (menggantung) harus lebih diwaspadai.

Dan yang “terbaru” adalah wacana bahwa ada kemungkinan para teroris itu menyamar sebagai perempuan yang bercadar muka. Yang direspon televisi dengan menayangkan grafis; foto wanita bercadar disandingkan dengan foto rekayasa teroris yang menyamar dengan cadar terbuka.

Media massa seolah sedang berlomba menginterpretasikan wacana yang dirilis oleh pihak kepolisian, yang kemudian tanpa sadar (atau memang sengaja) telah melakukan “pelabelan” terhadap budaya-budaya tertentu. Media mempunyai peranan penting dalam mengkonstruksi kebenaran sebuah realitas yang akan dipahami masyarakat. Sudut pandang media dalam melihat suatu peristiwa menjadi gambaran "kebenaran" yang diterima audiens nya.

Dalam buku; Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisis Semiotik dan Analisi Framing, karangan Alex Sobur, ada beberapa definisi konstruksi media :

Dalam pandangan Gaye Tuchman mengenai sifat dan fakta media massa, “disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita.” (hal.88)

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”.
(hal.87)

Menurut Alex Sobur; “Ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain; misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal. Kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.”
(hal.30)


Pemberitaan oleh media massa terhadap suatu kasus secara terus menerus tentunya akan menggiring opini publik pada pandangan tertentu. Jika semua media massa “bersepakat” mendasarkan beritanya dari rilis pihak kepolisian, maka realitas berita itu yang akan dianggap menjadi kebenaran oleh masyarakat. Masyarakat seolah “dipaksa” untuk menerima kebenaran itu secara mutlak, karena tiadanya gambaran lain tentang sosok teroris. Keterbatasan narasumber alternative, membuat masyarakat minim sekali mendapat informasi tentang teroris dari sudut pandang yang berbeda, misalpun ada porsinya sangat sedikit. Contohnya profil teroris versi Ustadz Abu Bakar Baasyir yang disebutnya sebagai Mujahidin.

Cara penanganan teroris versi polisi pun sangat keras. Para teroris dianggap sebagai musuh Negara, orang yang sangat berbahaya dan nekat, sehingga harus diberlakukan dengan “keras” juga. Hal itu menurut saya, terbaca dari banyaknya polisi yang dikerahkan ke Temanggung (600 aparat-red) dan canggihnya peralatan modern yang digunakan (ada robot detector, granat dan berbagai jenis senjata api-red) dalam upaya menangkap seorang Noordin M Top yang ternyata adalah Ibrahim. Lalu penembakmatian dua teroris di Jatiasih, Bekasi yang “baru” diduga akan meledakkan rumah pak SBY di Cikeas, Bogor.

Atas nama ekskusifitas berita dan rating yang intinya berujung pada komersialisasi media, seringkali tanpa sadar, para pewarta berita berubah menjadi “algojo” bagi masyarakat, mereka melupakan dampak “pelabelan” itu bagi warga yang sudah nyaman menjalankan tradisi budaya nya (agama-red).

Saya belum pernah meneliti secara serius, jadi hanya berdasarkan pengamatan sekilas saja. Ada beberapa kriteria profil teroris yang diulang-ulang media massa:
- Biasanya berpakaian; baju koko, peci putih, dan celana tinggi (menggantung).
- Biasanya berjenggot.
- Biasanya rajin sholat di masjid/mushola terdekat.
- Biasanya ramah dan baik dengan tetangga, namun orangnya agak tertutup.
- Biasanya menyimpan Al quran dan buku-buku berbahasa arab di rumahnya.
- Biasanya memasang kaligrafi atau stiker tentang jihad di rumahnya.
- Biasanya pendatang baru dan suka berpindah kos.
- Dan lain-lain.

Kriteria-kriteria seperti ini sangat lazim dilakukan oleh seluruh umat muslim di Indonesia, terlalu luas untuk menggambarkan realitas sosok khas seorang teroris. Namun karena diberitakan secara terus menerus dan berulang-ulang, maka hal ini bisa menjadi sebuah “kebenaran” oleh masyarakat.

Ya, wanita-wanita bercadar itu mungkin juga sama sekali tidak tahu tentang terorisme, apalagi mengenal Noordin M Top. Mereka hanya sekedar mengikuti ajaran rasulnya, tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan baligh. Tapi tiba-tiba mereka “dipaksa” menjadi point of view dari jutaan penikmat berita teroris di negeri ini. Mata-mata kamera itu seolah ingin “menelanjangi” untuk sekedar memastikan bahwa tubuh yang berada dibalik pakaian itu bukanlah Mujahidin eh teroris yang sedang buron.

Pada harian Kompas (Minggu, 23/08/2009) halaman 4, ada berita berjudul “Dihadang Warga karena Berjenggot dan Bercadar”, isi berita; “Sial nian nasib suami istri Daud dan Kasitri gara-gara berjenggot dan bercadar, keduanya dihadang dan diinterogasi habis-habisan oleh sejumlah warga seusai bersembahyang di Masjid Al Barokah Kampung Kedinding, Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten. Bahkan, keduanya sempat dibawa ke markas polisi…..”

Ini memang agak dilematis…

Saya teringat kata-kata yang diucapkan oleh seorang kawan dalam sebuah dialog bedah buku dengan seorang pengamat teroris beberapa hari lalu. Intinya beliau mengatakan (mohon dikoreksi kalau salah), “Bangsa ini punya sejarah yang buruk terkait pembantaian antar sesama; pada tahun 1965-1966 terjadi pembantaian warga (berlabel) PKI hingga ribuan orang, lalu pemusnahan warga (berlabel) etnis Madura di Sampit, Kalimantan, dan konflik antar agama di Maluku. Jika ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin orang-orang yang dicurigai sebagai teroris oleh masyarakat akan mendapat perlakuan yang sama (seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya)”

Ini sangat mengkhawatirkan…

Ibarat api dalam sekam, pelabelan terhadap budaya tertentu ini, suatu saat akan membakar, jika ada provokator yang meniupkannya. Dan yang menjadi korban seringkali adalah warga sipil yang tak bersalah.

Ah, semoga tidak terjadi…

Referensi :
Alex Sobur, Analisi Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisi Semiotik dan Analisi Framing, PT. Remaja Rosdakarya, 2001.


Celesta, 23 Agustus 2009

Dwi Firmansyah

Label:

0 komentar:

Posting Komentar