Yang Dinilai Cuma Niatnya Kok

10.32 / Diposting oleh Phyrman /

Hiruk pikuk debat cawapres di sebuah stasiun tv swasta masih berlangsung
Namun kami bertiga; saya dan dua kawanku malah asyik ngobrol tentang sebuah tema yang sangat sederhana dan jauh dari hingar bingar dunia politik
Ya, kalo diuraikan dengan kata-kata sangat singkat karena hanya terdiri dari 4 huruf
Yaitu NIAT…

Sebuah diskusi yang awalnya ringan dan tak berbobot, lambat laun iramanya semakin berat dan berisi. Butuh kesabaran untuk berusaha memahami kata demi kata, agar tidak salah menafsirkan maknanya.

Berawal dari gossip tentang KDRT (kekerasan dalam rumah tangga-red) yang dialami oleh Manohara dan Cici Paramida, kita mencoba mencari akar permasalahannya yaitu menikah; Kenapa seseorang harus menikah? Apa tujuan menikah? Bagaimana sih awal mulanya kedua wanita itu menikah, kok bisa dalam waktu singkat bertengkar hebat tak terkendali? Kalo belum kenal secara mendalam kenapa harus menikah? Kalo berani menikah kenapa tidak ada kompromi dan saling egois? Dan apa sebenarnya NIAT kedua artis cantik itu beserta suaminya untuk menikah?

Dari beragam pertanyaan diatas, inti permasalahannya adalah niat. Karena niatlah awal mula sebuah “tindakan yang direncanakan” terjadi. Dan menurut kami, menikah masuk dalam kategori tersebut, karena tidak mungkin seseorang menikah karena tidak sengaja, atau tidak dipikirkan sebelumnya. Walau mungkin ada faktor eksternal yang dominan mempengaruhi dan memaksa seseorang untuk menikah, tapi tetaplah si penentu keputusan adalah yang menikah.

Diantara kami betiga komposisinya; 2 menikah dan 1 belum menikah. Secara bergilir kami berbagi cerita tentang niat menikah. Kami yang sudah menikah bersepakat bahwa niat sebuah pernikahan adalah untuk menjalankan perintah agama, membangun keluarga sakinah dengan pasangan yang kita cintai dan meneruskan keturunan biologis. Sangat sederhana dan gak kreatif hehehe…

Temanku yang belum menikah memberi pertanyaan penting;
Kalo seseorang tidak beragama berarti bebas untuk tidak menikah dong?
Ok, kita berdua sepakat untuk melepas pembahasan soal agama disini, karena menjadi tidak universal.

Apakah kebahagiaan hanya bisa diraih dengan menikah?
Jawabnya tentu tidak, karena banyak orang yang tidak atau belum menikah dan mereka sangat bahagia. Kebahagiaan adalah relatif, karena tergantung bagaimana seseorang itu memaknainya.

Apa pentingnya anak biologis?
Toh banyak juga orang yang tidak bisa punya anak, dan tetap mencintai anak adopsinya. Bukankah lebih baik merawat anak manusia lain yang sudah terlanjur lahir tapi ditelantarkan orang tuanya, daripada menambah jumlah penduduk bumi dengan anak kandung, sementara masih banyak anak-anak lain yang sengsara dan butuh bantuan kita.
Anak biologis adalah ego tertinggi manusia untuk meneruskan “keakuan” dimasa depan setelah manusia meninggal. Juga sebuah wujud atas ketidakpercayaan manusia terhadap orang lain yang bukan “bagian dari dirinya” untuk merawatnya diusia tua. Ya, hampir setiap orang tua (dalam hati kecilnya) tentu berharap agar kelak anaknya akan gantian merawat dirinya jika sakit pada usia lanjut. Tapi apakah anak kandung pasti lebih tidak “durhaka” dibanding anak adopsi, jawabnya tentu tidak pasti kan.

Yap, kami berdua langsung terdiam dan membenarkan pertanyaan dan argumen kawanku itu. Sekarang gantian kita yang sudah menikah melempar pertanyaan.
Kenapa anda yang secara fisik lumayan, secara intelektual diakui, secara tingkah laku sopan dan dicintai banyak lawan jenis, memilih tidak menikah, padahal secara usia sudah sangat lebih dari cukup?

Dan jawabnya sangat sederhana “karena hatiku belum berniat untuk menikah, aku mencoba mengikuti kata hatiku dalam menjalani hidup ini”, tapi argumentasinya sangat mendalam.

Niat ikhlas adalah segalanya, manusia tidak akan bahagia kalo tidak ikhlas, jika kita bersedekah lalu berharap agar ada balasan, maka kita akan kecewa. Balasan itu bisa dari orang yang kita beri dengan harapan akan ganti memberi dengan kebaikan lain, atau memamerkannya seperti capres/cawapres agar diliput media. Karena jika ternyata media malah mengkritik akting tersebut, maka hanya kekecewaan yang didapat.

Kejujuran pada hati harus diutamakan, karena akan mengantarkan pada insting kebenaran. Sebagai ilustrasi, Cici Paramida dalam sebuah wawancara mengaku, bahwa sebelum menikah sempat curiga atas kejujuran calon suaminya, terkait status duda nya, tapi karena sudah terlanjur merancang resepsi, maka pernikahan tersebut tetap dilaksanakan. Disini berarti ada “faktor eksternal”yang memaksa Cici tidak mengikuti kata hatinya.
Demikian pula Suhaebi suaminya, dengan tidak jujur pada hatinya dan berbohong tentang statusnya, maka niat sebuah pernikahan menjadi tidak baik lagi. Bagaimana mungkin sebuah pernikahan bahagia bisa terjadi jika dilandasi oleh kebohongan.

Sebuah kesenangan diri harus berdasarkan pada kesepakatan tanpa ada paksaan.
Ini sangat susah karena tentunya dalam kehidupan sosial kita akan berbenturan dengan berbagai kepentingan orang lain. Dalam sebuah pernikahan misalnya, sang suami pasti berharap akan mendapat pelayanan terbaik dari istrinya demi memenuhi beragam hasratnya, demikian pula sang istri pasti berharap akan dikasihi untuk memenuhi berbagai keinginannya. Selalu ada kompromi didalamnya, ada take and give. Tapi mungkinkah itu terjadi? Karena pasti dalam suatu waktu ada benturan kepentingan didalamnya, ada pemaksaan untuk memperoleh kesenangan dari salah satu pasangan, yang membuat yang lain kecewa.

Menurut kawanku, kebahagiaan tertinggi adalah pada kondisi “cinta tanpa ikatan”.
Kita merawat anak, karena kita mencintainya. Bukan karena itu anak kandung atau anak adopsi, juga bukan dengan mengharap balasan perawatan dimasa depan.
Kita mencintai pasangan, karena kita tulus menyayanginya. Bukan dengan mengharap balasan kenikmatan darinya.
Kita memberi dan bersedekah dengan tulus ikhlas, tanpa peduli uang itu akan dipergunakan untuk apa. Bukan dengan mengharap balasan rejeki yang lebih banyak dari dari sedekah itu.

Kawanku, dengan filosofi hati nya juga mengajarkanku pada pemahaman berbagai agama.
Islam mengajarkan bahwa sebuah tindakan dinilai dari niatnya. Maka berniatlah dengan ikhlas dan setulus-tulusnya, hindari riya’ dan sombong diri.
Budha mengajarkan dharma, bahwa rasa duka muncul karena adanya keinginan yang tak tercapai. Maka bersihkanlah hati dari keinginan-keinginan itu agar tidak mengecewakanmu.

Dan kendati belum mempelajarinya, saya percaya bahwa ajaran kristen, yahudi, hindu, dan beragam agama lain didunia juga mengajarkan hal yang sama. Juga manusia, baik yang sudah memastikan dirinya menjadi atheis atau masih melakukan pencarian diri untuk memeluk suatu agama, pasti merasakannya.

Karena kita semua punya hati yang ingin berbahagia.


Celesta, 25 Juni 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar