Prita Vs RS Omni; Salah Langkah Strategi Public Relations

12.50 / Diposting oleh Phyrman /

Niat Prita Mulyasari untuk curhat pada teman-temannya tentang pelayanan RS Omni Internasional berbuntut pada gugatan hukum yaitu pencemaran nama baik. Kasus hukum yang menurut saya sangat “sederhana” itu kemudian menjadi ranah publik, saat terjadi pemaksaan aturan hukum berupa penahanan Prita Mulyasari. Hampir semua media massa mengangkat berita ini sebagai headline, ditambah kasus ini kemudian bergeser ke ranah politik dengan kedatangan para capres yang berempati pada nyonya Prita. Eforia masyarakat mengutuk terjadinya “penyimpangan” hukum semakin menguat, terkait kontroversi pemberlakuan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berbagai isu pun ikut berkembang misalnya dugaan suap RS Omni kepada Jaksa, hingga neoliberalisme perseteruan Perusahaan Besar VS Rakyat Kecil.

Saya yakin pihak RS Omni Internasional sebagai pihak penggugat pasti tidak menyangka, bahwa kasus ini akan menjadi berita nasional yang kemudian berbalik memojokkannya. Menurut saya ini adalah kegagalan dari public relations RS Omni Internasional dalam mengatur strateginya. Rencana gugatan untuk membuktikan bahwa pihak rumah sakit tidak bersalah, malah berbalik hilangnya empati masyarakat hingga tuntutan penutupan rumah sakit. Sebagai sebuah strategi PR, ini adalah sebuah langkah yang salah dalam mengelola manajemen krisis.

Secara teori, krisis seringkali merupakan titik balik dalam kehidupan suatu perusahaan/organisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk menetapkan reputasi bagi kompetensinya, untuk membentuk perusahaan/organisasi tersebut, membentuknya serta menghadapi issue-issue penting. Namun bertindak pada saat krisis memiliki resiko yang tinggi. Sebuah strategi dibutuhkan untuk memutuskan kapan menentukan suatu situasi sebagai sebuah krisis, kapan harus mengambil tindakan dan bekerja dengan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan krisis tersebut. Namun ketika ketegangan meninggi, menetapkan suatu strategi menjadi tidak mudah. Karena itulah perencanaan di awal akan memungkinkan untuk berkonsentrasi pada masalah aktual ketika ia memuncak serta memberikan kerangka kerja bagi tindakan yang diperlukan (Regester & Larkin, 2003:170).

Mari kita telusuri satu per satu kronologis kejadian dan strategi PR yang dilakukan;
1. Email dari Prita Mulyasari di milis tentang buruknya pelayanan di RS Omni.
Ada dua pilihan dalam menyelesaikan krisis ini, yaitu menyelesaikannya secara kekeluargaan atau menempuh jalur hukum. Dan manajemen Omni memilih jalur hukum. Keuntungan jalur ini adalah ada pembuktian pengadilan pada masyarakat bahwa rumah sakit tidak bersalah dan menjadi shock therapy bagi pasien lain agar tidak menggugat pelayanan RS jika tidak ada bukti. Namun kelemahannya adalah si pasien dalam hal ini nyonya Prita akan trauma dan tidak akan mau berobat di RS Omni lagi. Artinya RS Omni akan kehilangan satu pelanggan ditambah beberapa teman-teman nya, karena efek jera itu. Pasien pasti akan berpikir “ngapain saya bayar, kalau kemudian merasa tidak nyaman dan diancam masuk penjara”.

Seandainya sejak awal, strategi PR dalam penyelesaian krisis ini secara kekeluargaan, mungkin pihak RS Omni malah bisa menarik simpati pasien dan juga rekan-rekannya. Dan masalah pun bisa terselesaikan dalam lingkup yang kecil.

2. Perkembangan kasus hukum yang diluar dugaan.
Dalam berbagai kasus hukum yang melibatkan pelanggan dan perusahaan, biasanya pihak perusahaan cukup mendapat “pemulihan nama baik” dari hasil keputusan pengadilan Artinya perusahaan tidak perlu menuntut agar pelanggan membayar ganti rugi yang besar dan menyengsarakan tergugat. Ada win win solution disini, ada efek jera bagi tergugat namun pelanggan pun tidak akan ketakutan untuk kembali menggunakan jasa perusahaan. Faktanya nilai gugatan perdata yang diajukan RS Omni sangat besar yang tidak mungkin mampu dibayar tergugat. Dalam hal ini PR tidak mampu mengontrol nilai tuntutan yang masuk akal karena tidak mempertimbangkan dampak negatif dari gugatan itu. Nilai gugatan yang besar menunjukkan “keserakahan” perusahaan dalam menguras harta pelanggan, implikasinya adalah pasien atau pelanggan lain akan kehilangan kepercayaan pada nilai jual produk jasa perusahaan.

Kemudian, kasus pencemaran nama baik adalah delik aduan. Artinya ini bukan kasus kriminal murni dimana tergugat bisa dipenjarakan jika gugatan dicabut. Saya tidak tahu apakah penahanan Prita Mulyasari oleh pihak kejaksaan adalah murni kebijakan jaksa, atau ada permintaan dari pihak RS Omni untuk menahannya. Karena alasannya pun sangat lemah, yaitu menghindari penghilangan barang bukti dan tergugat melarikan diri. Barang bukti apa yang dibuang, sedangkan bukti email sudah beredar di milis. Lalu melihat kondisi sosial tergugat, kecil kemungkinan bisa melarikan diri sampai jaksa tidak mempu menemukannya.

Munculnya isu suap adalah sebuah krisis susulan bagi perusahaan, masyarakat indonesia yang sudah muak dengan berbagai kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme akan semakin kehilangan empatinya, jika ternyata dugaan ini terbukti.

Unsur lain yang dilupakan oleh PR adalah penentuan juru bicara perusahaan, yang dalam berbagai konferensi pers diwakili oleh kuasa hukum. Ada beberapa kutipan wawancara kuasa hukum yang menunjukkan arogansi perusahaan untuk tidak menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan dan cenderung hiperbola dalam menyalahkan tergugat. Bahasa hukum yang terkadang kaku dan keras, selayaknya tidak dipakai. Karena kalau menilik awal mula perseteruan, sebenarnya pihak RS Omni tidak perlu terlalu keras terhadap pasiennya, karena “hidup” sebuah perusahaan sebenarnya berasal dari uang si pelanggan itu sendiri.

Dan tugas PR pun semakin berat, ketika para netter menggalang aksi solidaritas pada nyonya Prita Mulyasari dan menggugat penyimpangan kasus hukum ini. Ditambah lagi banyaknya para politisi Capres dan tim sukses yang turun untuk sekedar berempati, dan semuanya terekam dalam headline media massa berskala nasional. Artinya bukan lagi puluhan atau ratusan orang yang tahu kasus “buruknya pelayanan RS Omni Internasional” tapi ratusan ribu bahkan jutaan masyarakat.

Menurut saya langkah PR paling tepat untuk menyelesaikan krisis perusahaan ini;

Pertama adalah strategi rendah diri perusahaan dengan cara merangkul si pasien tergugat yaitu nyonya Prita Mulyasari, mencabut gugatan hukum dan mengkondisikan agar akhir dari perseteruan ini diselesaikan secara kekeluargaan dan damai. Karena sikap rendah diri akan menghasilkan empati yang besar dari masyarakat.

Langkah kedua adalah perbaikan layanan dan promosi bahwa layanan rumah sakit sudah semakin profesional.

Langkah ketiga adalah menciptakan image sebagai rumah sakit terbuka bagi masyarakat, untuk menghapus kesan arogan yang selama ini muncul.

Karena hanya dengan strategi penanganan manajemen krisis yang tepatlah, maka nama baik dan kelangsungan hidup perusahaan akan tetap terjaga.

Sency, 5 Juni 2009


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar