Takut: Nyata Atau Fantasi

08.06 / Diposting oleh Phyrman /

1
Semua manusia pasti punya rasa takut terhadap sesuatu. Entah itu yang bersifat nyata atau kebendaan maupun yang bersifat fantasi. Beragam ketakutan menghinggapi alam pikiran kita, ada yang hanya sementara namun ada pula yang menjadi phobia. Ada yang takut pada makhluk hidup lain karena kebuasannya seperti ular, singa, tentara, polisi, diktator, satpol PP dll. Ada juga karena faktor jijik atau geli seperti kecoa, lalat, tikus dll.
Sebagian yang lain takut pada makhluk “dunia lain” seperti hantu, pocong dll. Lalu ada juga yang takut pada tempat tertentu seperti tempat gelap, ketinggian, keramaian dll.

Lalu apa sebenarnya takut itu sendiri? Bagaimana ia tiba-tiba datang dan menyergap pikiran kita? Benarkah benar-benar nyata? Atau hanya fantasi otak kita saja? Trus bagaimana menghapuskan takut itu? Beragam pertanyaan datang bertubi-tubi untuk membahas “rasa” yang dimiliki setiap manusia ini. Dan beragam dampak juga akan muncul terkait keberadaan rasa takut itu sendiri.

(Alm) Cak Munir pernah mengatakan (atau mencuplik) bahwa sesungguhnya rasa takut terbesar manusia adalah pada ketakutan untuk melawan rasa takut itu sendiri. Mungkin maksudnya adalah bahwa ketakutan adalah ciptaan atau fantasi manusia itu sendiri, dia datang dari dalam diri bukan luar tubuh kita. Dia bukan diciptakan oleh satpol PP yang bertindak ganas, atau tentara yang menculik atau polisi yang gegabah, bukan pula oleh diktator yang menyengsarakan rakyatnya. Namun “takut” datang karena kita menciptakannya, kita takut untuk melawan penderitaan karena khawatir akan datang penderitaan yang lebih besar. Tanpa keberanian melawan “takut”, maka dia akan selalu bersemayam dalam pikiran kita.

Secara teori psikologi, Rasa takut merupakan reaksi manusiawi yang secara biologis merupakan mekanisme perlindungan bagi seseorang pada saat menghadapi bahaya. Ketakutan adalah emosi yang muncul pada saat orang menghadapi suatu ancaman yang membahayakan hidup atau salah satu bidang kehidupan tertentu. Ketakutan biasa disebut dengan tanda peringatan terhadap hidup, peringatan agar berhenti, melihat atau mendengarkan.

Mari pelan-pelan kita telusuri satu persatu rasa takut itu. Saya paling takut pada ular berbisa, kenapa saya takut? Karena saya berpikir bahwa “jika” saya tiba-tiba digigit ular itu, saya tidak akan bisa menghindar dan dalam hitungan menit saya bisa tewas tanpa perlawanan. Saya tidak takut pada singa atau tentara, alasan saya sederhana yaitu saya masih bisa melawan untuk sekedar mempertahankan hidup. Padahal seandainya terjadi, saya bisa lari jika bertemu ular atau mengikat area gigitan untuk sementara waktu sampai datang pengobatan.

Dalam psikologi, takut juga bisa berasal dari trauma masa lalu yang masih tersimpan dalam memori otak, sehingga secara tak sadar akan muncul pada situasi tertentu. Bila seseorang diliputi rasa takut, kebahagiaan maupun sukses kita terancam, orang itu sering mengalami rasa nyeri pada perut, telapak tangan berkeringat, jantung berdenyut kencang, malas bergerak, gagap bicara dan lain sebagainya.

Untuk melawan rasa takut, manusia melakukan berbagai macam cara, ada yang melawan ketakutan justru dengan cara melakukan hal yang paling ditakutinya. Yang takut ketinggian, mencoba terbang naik paralayang. Yang takut hantu, mecoba mendatangi kuburan. Yang takut jatuh, mencoba berkegiatan rock climbing. Maka muncullah ide kreatif program TV seperti Dunia Lain, Ekspedisi Alam Gaib, No fear dll. Intinya adalah menantang ketakutan yang selama ini meresap di pikiran banyak orang.

Namun ternyata perlawanan manusia terhadap ketakutan itu sering menjadi kalap dan tidak terkontrol. Ketakutan terbesar manusia adalah pada kematian. Dan gilanya, banyak orang yang mencoba melawan ketakutan ini dengan cara bunuh diri. Di internet banyak bermunculan komunitas bunuh diri, yang menyajikan cara-cara kematian diri, dari yang sangat sederhana sampai paling menyakitkan. Ternyata “rasa takut” yang terkadang tidak logis ini malah dilawan dengan tindakan yang lebih tidak logis lagi, yaitu berani bunuh diri tanpa alasan.

2
Ada sebuah riset yang menarik, bahwa saat ini sebagian besar ketakutan manusia bukan berasal dari hal-hal yang bersifat imajinatif seperti hantu atau phobia pada benda tertentu. Namun justru terkait dengan masa depannya sendiri. Dalam riset tersebut urutannya adalah takut kena PHK, takut tidak punya uang, takut tidak bisa melindungi anak, takut kekerasan yang terjadi dimana-mana, takut terkena penyakit akibat gaya hidup kurang sehat, takut berpisah dari pasangan (sumber: simple plan).

Tapi kalo disimpulkan, semua takut itu bermuara pada takut sengsara dan menderita.

Dampak takut pun beragam. Yang paling menyebalkan adalah ada orang yang takut hidupnya “sengsara” sehingga melakukan “korupsi”. Guna menghindari kesengsaraan dikemudian hari, orang beramai-ramai menipu negara, menumpuk harta haram di rekening pribadinya. Kenapa orang-orang ini tidak takut masuk penjara yaa, padahal kalau tertangkap dan hidup dibui, dijamin “lebih sengsara” dibanding hidup biasa di alam kebebasan.

Rasa takut terlahir dari ilusi tentang penderitaan dan kemalangan yang akan kita hadapi. Dalam sebuah pesta mungkin kita makan sekenyang-kenyangnya, karena dibayangi oleh ilusi kelaparan esok hari atau kehilangan makanan yang nikmat itu. Demikian juga ketika banyak orang korupsi dan bernafsu untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, itu pun karena dibayangi ilusi akan penderitaan di dunia. Sehingga membuat kita menjadi kalap dan kehilangan batas-batas kewajaran. Rasa takut membuat ilusi menjadi kenyataan dan kenyatan menjadi ilusi.

Mungkin kini para koruptor yang “terbui” menyesal bahwa ketakutannya dimasa lalu tentang penderitaan, berubah menjadi kenyataan, bahwa kehidupan penjara memang sengsara dan menakutkan hehehe.

Contoh positif bagaimana orang besar mampu melawan ketakutannya tampak pada tokoh pahlawan kita. Kalo dulu Bung Karno dan Bung Hatta takut sengsara, pasti mereka akan memilih hidup nikmat di negeri Belanda, bukan memerdekakan bangsa dengan resiko hidup sengsara atau tewas dalam perjuangan.

Kalo dulu Cak Munir takut sama tentara, pasti dia akan memilih hidup menjadi rakyat biasa daripada mendirikan Kontras untuk membela hak-hak korban penculikan dan berakhir dengan kematiannya sendiri.

Trus kalo dipikir-pikir, sebenarnya kehidupan kita saat ini jauh dari ketakutan dibanding zaman penjajahan dulu. Jadi buat apa takut?? Atau jangan2 kita perlu hidup “menderita” dulu agar bisa merasakan bahwa hidup menderita ternyata tidak terlalu menakutkan hehehe…

Mungkin benar kata para ustadz, berpuasalah!! Karena berpuasa akan menjauhkan diri dari ketakutan akan kelaparan dan penderitaan )


Sency, 10 Juni 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar