Because In Our Mind; We Are Follower Not Leader Again.

09.24 / Diposting oleh Phyrman /

Kemarin kawanku, seorang produser TV swasta, mengajakku melihat monitor komputernya:
“Bro, you have to see it” katanya.
Lalu kutatap layar yang terpampang disitu, urutan peringkat dari AC Nielsen tentang rating program televisi.
“I don’t believe it” katanya lagi.
Sebuah program yang bertahun-tahun kemarin selalu merajai dunianya, tiba-tiba terpuruk pada peringkat 21, jauh dibawah rival-rivalnya.

Sebagai orang yang merintis karir dari nol di perusahaannya, kawanku tentunya sudah hapal dengan persaingan sebuah program atau produk di bisnis kapitalis seperti ini. Semuanya bergerak naik turun, kadang menjadi nomor satu lalu turun menjadi no 2, 3 dan seterusnya, lalu kembali naik. Tapi terpuruk pada level bawah klasemen sementara, ini sungguh diluar dugaan.

Sering kita melihat orang yang merasa nyaman dan percaya diri dengan apa yang dilakukannya, tiba-tiba terperangah bahwa dirinya harus kembali bekerja keras mengumpulkan segala ide, kreatifitas, teamwork untuk perlahan-lahan merangkak naik menuju ke nomor satu lagi. Suatu jalan yang berat, karena lawan-lawan kita sudah bergerak lebih cepat dengan fasilitas pendukung, kebijakan perusahaan yang lebih terbuka dan kebebasan berkreasi.

Mempertahankan posisi juara, ternyata lebih susah daripada meraihnya.

Seorang kawan lain yang berkerja dibagian “frontline” atau pasukan garis depan, pernah curhat, bahwa dirinya merasa kecewa karena setiap idenya tidak pernah didengar atasannya. Katanya , beberapa informasi yang dia berikan, yang menurutnya bisa menjadi “headline” seringkali tidak ditanggapi positif, bahkan diabaikan begitu saja. Setelah media lain mengangkatnya sebagai headline, baru dia kebakaran jenggot disuruh mengejar narasumber tersebut. But, it’s too late. Kita hanya menjadi “follower” saja, karena esok hari informasi yang ada sudah berganti lagi.

Kawan yang lain lagi, yang dalam level manajemen berada ditingkat tengah, juga merasa tidak bisa optimal. Karena ide-idenya mentok oleh aturan rapat pimpinan yang terkadang tidak mengakomodir konsep kreatifnya itu. Akhirnya dia hanya bersifat pasrah aja, pokoknya ikut apa kata pimpinan dech. Daripada memaksakan diri, malah dianggap melawan dan salah, mending nurut aja dech. Dan diapun telah berubah menjadi “follower”.

Dan mungkin sang pimpinan pun, merasakan hal yang sama. Bahwa ide-ide briliannya seringkali kurang direspon manajemen, karena dinilai membutuhkan biaya besar, sedangkan pendapatannya belum tentu sebanding dengan biaya tersebut. Dia pun hanya menjadi “follower” sang big bos.
Semua orang berpikir bahwa dirinya hanyalah follower dari sang atasan, bukan leader bagi dirinya sendiri dan anak buahnya.

Dibutuhkan keberanian besar dan kemampuan meghitung resiko untuk menjadi leader.

Dalam sebuah moment, beberapa teman tampak terkesima melihat tayangan program dari TV lain yang begitu menawan. Sebuah live event perhelatan besar, dengan berbagai kamera disetiap sudutnya. Dengan penampilan sang MC yang adalah presenter dari TV tersebut. Ada nada kagum menyaksikannya, ada pula nada sinis yang bersifat pribadi saat mengomentari sang MC yang berpakaian terlalu seksi. Semuanya tampak tergambar jelas disitu, sebuah rasa trenyuh dan kekecewaan yang besar. Kenapa bukan mereka yang menjadi penayang utama event tersebut, tapi malah rivalnya. Kemana saja sebelumnya, sampai-sampai tidak bisa melihat peluang yang begitu besar didepan mata.

Ada komunikasi yang terputus dalam hal ini. Ada kekecewaan yang mengurung kemampuan sejati. Ada langkah yang belum seragam dalam memandang sebuah masalah. Dan yang paling parah adalah ada perubahan pemikiran, dari seorang leader menjadi follower.

Dalam ilmu manajemen disebutkan sebuah kesuksesan besar hanya bisa diraih dengan tindakan yang beresiko besar pula. Seorang penjudi kelas kakap akan lebih cepat kaya mendadak dibanding penjudi kelas teri. Walau mungkin resikonya pun bisa miskin mendadak. Diperlukan sebuah manajemen resiko yang kuat.

Secara personal, banyak contoh orang yang tidak berkembang pada sebuah perusahaan, tiba-tiba kemudian menjadi “orang” yang paling dibutuhkan oleh perusahaan lain. Artinya ada kemampuan tersembunyi yang tiba-tiba “meledak” justru ketika dia diberi kebebasan berkreasi. Jadi persoalannya bukanlah pada sumber daya manusia nya, tapi bagaimana meng optimalkan SDM itu sendiri.

Lalu bagaimana mengembalikan kepercayaan diri lagi, bahwa kita bisa kembali menjadi leader bukan hanya seorang follower. Training motivasi pernah diberikan pada beberapa teman, tapi kayaknya kurang berhasil “mengerek” semangat itu. Tetap muncul rasa takut bahwa kalau si karyawan bergerak terlalu bebas, akan ada sanksi besar terhadapnya. Ada rasa was-was bahwa kalau melawan, jabatannya akan digantikan oleh orang lain.

Rasa takut adalah musuh terbesar untuk menjadi seorang leader.

Terbelenggunya sebuah kreatifitas dalam zona takut adalah kerugian yang sangat besar. Menjadi takut adalah hal yang wajar. Tapi kalo sudah berubah menjadi phobia, maka banyak akal sehat yang terlupakan. Karena akan menjadi gagap dan tidak siap diri.

Dibutuhkan sebuah “kata sepakat” bahwa kesalahan adalah milik bersama, bukan personal si pembuat kesalahan. Bahwa ide kreatif, informasi yang tak biasa, dan kebebasan berekspresi akan diakomodir dengan pertanggungjawaban yang sesuai, bukan penghakiman.

Tatkala kebebasan dari rasa takut sudah ada, tatkala kenyamanan berkreasi diberikan, tatkala semua informasi, ide, gagasan diakomodir seperti yang seharusnya. Maka jalan menuju tangga juara tinggal selangkah lagi.

Celesta, 11 Juni 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar