Tayangan Kekerasan di TV; Merubah “Anak Normal” Menjadi Agresif

09.12 / Diposting oleh Phyrman /

Tren tawuran dikalangan mahasiswa dan pelajar, seringkali menjadi wabah sosial yang nyaris tidak pernah habis diberitakan di media massa. Alasan saling berbaku hantam pun terkadang sangat sederhana dan tidak masuk akal; gara-gara rebutan pacar, senggolan dijalan antar pelajar, saling ejek tanpa alasan, hingga musuh bebuyutan antar universitas, atau bahkan antar fakultas di Universitas yang sama.

Tapi dampaknya sangat luar biasa, beberapa pelajar atau mahasiswa tewas akibat terkena lemparan batu atau tikaman senjata tajam, beberapa sekolah atau kampus rusak akibat amukan massa atau bahkan ada yang terbakar akibat bom molotov. Motif kecil tapi berdampak sangat besar, tentunya merupakan wacana sosial yang harus mulai dipelajari dan dicari solusinya.

Akar masalah pun sangat kompleks, beragam kondisi sosial dituduh sebagai penyebabnya; ada yang menyalahkan kelompok tertentu yang dianggap sebagai provokator, ada yang menunjuk alasan kondisi keluarga pelaku yang berantakan, atau mencuplik teori bahwa kekerasan adalah hal yang wajar terjadi dalam kondisi masyarakat dengan ekonomi yang sulit.

Tapi mungkinkah seorang pelajar atau mahasiswa yang notabene berasal dari keluarga harmonis, secara ekonomi mapan, bahkan secara intelektual pun sebenarnya cukup meyakinkan, bisa terlibat dalam tindakan anarkis???

Pelajar atau mahasiswa termasuk dalam kategori anak normal, dalam artian secara umum punya visi untuk berkembang dan maju, punya latar pendidikan yang cukup bagus, dan secara normative tidak mengalami gangguan sosial yang tinggi. Ada satu penelitian menarik dari Robert Liebert (1972), yang menyimpulkan bahwa tayangan kekerasan di televisi mungkin membantu menyebabkan perilaku agresif dari banyak “anak normal”.

Sebuah riset di Amerika, menganalis bahwa banyaknya tayangan kekerasan di televisi membuat seorang anak pada usia menjelang 12 tahun, rata-rata anak telah akan menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk 13.400 kematian (standfield, 1973). Riset seperti ini (mungkin) belum pernah dilakukan di Indonesia, tapi jika menghitung banyaknya program yang bernuansa kekerasan di TV nasional, bukan tidak mungkin bahwa angka yang cenderung sama, mungkin saja terjadi.

Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran, bullying, atau pemerasan antar teman, rawan terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungannya. Bahkan terkadang sangat agresif, sebagai contoh, banyak diberitakan di media massa, seorang pelajar SMP yang menusuk rekannya sendiri sampai tewas, gara2 menginginkan HP korban. Ini tentu sangat ironis.


Tayangan Kejahatan Tanpa Hukuman
Pernahkah anda menghitung, lebih banyak mana tayangan berita peristiwa kekerasan dibanding tayangan berita tentang hukuman yang diterima pelaku?? Pastinya tayangan berita peristiwa sebuah kekerasan jauh lebih banyak. Bagi televisi yang mengandalkan “gambar” untuk menarik pemirsanya, sebuah adegan peristiwa akan jauh menarik dibanding sidang pengadilan untuk sebuah kasus. Demikian pula jika kita menonton sebuah film atau sinetron, pernahkah melihat alur cerita tentang kehidupan antagonis di penjara sebagai balasan atas tindak kejahatannya. Tentunya sangat jarang. Sebuah kisah fiktif konflik, biasanya diakhiri dengan “ending cerita” yang singkat, tanpa pernah menggambarkan secara detil hukuman si antagonis.

Atau contoh paling sederhana adalah kartun Tom & Jerry yang penuh dengan adegan jahil dengan bumbu kekerasan tanpa rasa berdosa, dimana kedua tokoh kartun sering saling beradu strategi untuk bisa menyakiti lawannya, ternyata bisa menginspirasi anak untuk bertindak permisif terhadap kekerasan oleh dirinya. Kartun tersebut seolah mengajarkan bahwa si tokoh boleh berbuat jahat, toh lawannya akan hidup kembali dan tidak ada hukuman bagi tindak kekerasan itu sendiri.

Dalam sebuah riset terhadap tayangan kekerasan di televisi, menemukan fakta bahwa sangat sedikit tayangan kekerasan yang menunjukkan konsekuensi kekerasan jangka panjang, bahwa sebagian besar adegan kekerasan menunjukkan kekerasan itu tidak dihukum, dan bahwa sebagian interaksi kekerasan tidak menunjukkan kepedihan atau konsekuensi kekerasan negatif jangka panjang (National Television Study, 1996)

Berita tentang peristiwa tawuran antara mahasiswa YAI dan UKI di Salemba, Jakarta hingga mengakibatkan kebakaran beberapa bagian kampus akibat bom molotov, membuat beberapa mahasiswa yang dianggap sebagai pelaku kejahatan ditangkap polisi, tapi pemberitaan mengenai kelanjutan hukuman bagi para pelaku, nyaris tidak terekspose lagi. Sebagian tergeser isu-isu baru yang lebih ramai, sebagian media mungkin menganggap bahwa hal itu sudah tidak menarik lagi. Akibatnya masyarakat menganggap bahwa para pelaku kekerasan ini (mungkin) tidak mendapat hukuman atas kejahatannya.

Salah satu cara mengurangi dampak tersebut, peneliti National Television Study menyarankan agar produser lebih kreatif dalam menunjukkan lebih banyak tindak kekerasan yang dihukum, lebih banyak konsekuensi negatif dari tindak kekerasan dan lebih banyak alternatif pada penggunaan kekerasan dalam memecahkan masalah.


Beberapa Hipotesis
Dalam bukunya, Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr menyatakan bahwa ada beberapa hipotesis sehubungan dengan kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi pada perilaku manusia.
Hipotesis katarsis, menyatakan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan di televisi menyebabkan pengurangan dorongan agresif melalui ekspresi perilaku permusuhan yang dialami orang lain.
Hipotesis rangsangan, memprediksikan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif yang sesungguhnya.
Hipotesis menirukan atau mencontoh, menyatakan bahwa orang mempelajari perilaku agresif dari televisi dan kemudian mereproduksi perilaku itu.
Hipotesis kehilangan kendali diri, menyatakan bahwa televisi menurunkan rasa segan orang untuk berperilaku agresif terhadap orang lain.

Apabila hipotesis diatas benar, maka tayangan kekerasan di televisi mungkin mengajarkan norma umum bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk berhubungan dengan orang lain.

Daftar Pustaka:
Teori Komunikasi ; Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa
Oleh Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr


Note:
Terpaksa bikin tulisan, gara-gara “geram” liat Treeva tiap hari nonton kartun kesayangannya “Tom & Jerry” di TV dan DVD koleksinya, tanpa bisa diganggu gugat)
Dampak positifnya adalah jadi kreatif (njahilin orang) hehehe…
Dampak negatifnya adalah jadi super anarkis…

Celesta, 7 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar