Rakyat dan Negara Pengemis

15.34 / Diposting oleh Phyrman /

Seperti biasa, shift kerja malam membuatku serasa jadi bapak rumah tangga di siang hari.
Siang bolong yang panas, memaksaku menjadi super ojek yang baik, dengan mengantar malaikat kecilku membeli kado untuk piknik sekolah esok hari.
Sebuah tradisi bagus, menjelang wisuda TK, tiap murid wajib membawa kado tanpa nama, untuk saling ditukarkan dengan teman-teman yang lain. Sekedar untuk mengingatkan mereka agar saling berbagi dengan ikhlas.

Pilih-pilih kado, dapat sudah, namun seperti biasa treeva selalu minta bonus mainan untuk dia. Ups, ini yang paling menyebalkan, harga mainan yang diminta selalu lebih mahal dari kado yang wajib dia bawa ke sekolah. Tarik ulur beberapa saat, akhirnya treeva mengalah membeli mainan murah, setelah ku bilang papa lagi gak bawa duit hehehe…

Usai berbelanja, kita pulang melewati jalanan yang luar biasa panas hari ini. Ditengah jalan, ada dua pengemis, Ibu dan anak yang berumur sekitar 5 tahunan juga berjalan menyusuri trotoar nan terik. Sejenak terpikir untuk menguji treeva, sejauh mana kepeduliannya kepada sesama. Perlahan ku hentikan roda dua ku, kuambil selembar uang kertas dari dompet, lalu kuminta treeva turun untuk memberikan pada pengemis itu. Aku tak mendengar dialog antar mereka, hanya kulihat ekspresi terima kasih dari sang ibu.

Sampai dirumah treeva langsung bertanya, “papa, anak kecil yang tadi mengemis bareng ibu nya emang rumahnya dimana? Kok gak bobo siang sih? Trus kalo seharian di jalan, berarti gak sekolah dong?”. Satu persatu pertanyaan kujawab secara agak ngawur. Pertama karena aku juga gak tahu dimana rumah para pengemis.
Kedua, aku gak tahu kenapa orangtua pengemis itu tega mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk hidup dijalanan disiang hari.
Ketiga, aku juga gak tahu cara berpikir pengemis terhadap pendidikan anak-anaknya.

Sepengetahuanku, pengemis itu terbagi menjadi beberapa kategori.
Yang pertama, pengemis yang benar-benar tidak tahu lagi cara mencari nafkah untuk membiayai hidupnya, sehingga “terpaksa” mengemis. Tipe ini biasanya karena gagalnya sistem pendidikan pada masyarakat sehingga menghasilkan manusia-manusia yang tidak punya kemampuan sama sekali. Tidak ada kepedulian negara untuk mengelola rakyatnya sehingga mereka kehilangan “pandangan” tentang cara mencari nafkah. Mereka sudah berusaha mencari nafkah secara halal, namun gagal mencukupi standar minimum hidup. Mengemis kemudian menjadi sebuah solusi terakhir.

Yang kedua, pengemis yang pemalas dan berpikir bahwa penghasilan menjadi pengemis ternyata lebih besar daripada menjadi buruh atau pedagang kakilima. Tipe ini menunjukkan lemahnya mental manusia, sehingga selalu berpikir instan dan menghalalkan segala cara untuk mendapat uang. Tipe manusia seperti ini hidupnya sangat tergantung dari kebaikan orang lain, kemudian cenderung pemarah dan kriminal jika orang lain tidak memberinya sesuatu. Ketika seseorang sudah berpikir bahwa meminta itu halal, maka kesengsaraan absolut dihari tua, tinggal menunggunya.
Saya jadi teringat cerita kawan yang pernah meliput ke wilayah konflik di timur tengah, kendati negara mereka hancur akibat peperangan dan penjajahan, namun tak ada satupun dari mereka yang mau menjadi pengemis. Tidak ada pengemis berkeliaran di pinggir jalan seperti di Indonesia. Bagi mereka “harga diri” diatas segalanya, meminta-minta di pinggir jalan berarti hancurnya harga diri tersebut. Mereka lebih memilih mengais-ngais makanan diantara reruntuhan bangunan, atau bekerja apa saja untuk dapat makan hari ini. Lebih baik mati kelaparan daripada menjadi pengemis. Sebuah sikap mandiri yang sangat kuat dan layak dihormati. Keyakinan yang besar akan adanya Tuhan dan hari keabadian lah yang menguatkan mereka.

Yang ketiga, adalah pengemis terorganisir. Ini semacam mafia jalanan yang mendapatkan uang dengan cara mengemis, dan sebagaian ternyata direkrut secara professional kriminal, terkadang dengan cara melakukan penculikan dan penjualan manusia. Kalo kita mendengar ada mafia narkoba, atau mafia prostitusi, saya masih tergambar bagaimana bentuk organisasinya seperti di film The Godfather. Namun mafia pengemis, saya baru mendapatkan cerita nyata di Jakarta dan sebagian dari film Slumdog Millionare yang bersetting di Mumbay, India.

Kisah nyata di Jakarta, saya alami sekitar 3 tahun lalu, saat harus membuat liputan semi investigasi BUSER kasus penculikan anak berumur 7 tahun yang dijadikan pengemis. Sang anak sempat hilang selama 3 bulan, dan ditemukan orang tuanya sedang mengemis di halte bendungan hilir, jakarta. Sang ayah yang hampir putus asa mencari keberadaan anaknya, secara tidak sengaja melihat pengemis cilik mirip anaknya nongkrong di halte itu, setelah didekati ternyata sang anak sama sekali tidak kenal dengan sosok sang ayah. Insting orang tua dan keyakinan yang kuat bahwa itu adalah anak kandungnya, membuat sang ayah nekat memaksa pengemis cilik tadi masuk taksi dan dibawa pulang kerumah. Setelah beberapa hari dibawa ke “orang pintar” dan ke dokter, akhirnya sang anak mulai mengenal keluarganya, walaupun masih sering histeris dan berontak ingin kembali ke jalanan.

Yang membuat saya bingung adalah cara “cuci otak” organisasi itu terhadap sang anak, sehingga bisa melupakan keluarga dan masa lalunya, terkesan lebih menikmati kehidupan jalanan dibanding keluarga. Ada semacam trauma psikologis yang sangat berat disertai perubahan perilaku yang drastis, dalam 3 bulan “hilang” ternyata si anak menjadi perokok berat dan ketergantungan “lem”.

Coba kita perhatikan anak-anak yang menjadi pengemis di perempatan jalan, saya sendiri sering bingung mendapati realitas seperti ini, mereka bahkan kalo dilihat wajah dan postur tubuh banyak yang berusia dibawah lima tahun, berlari bergerombol ditengah jalan, meliuk-liuk diantara mobil dan motor mengetuk kaca sopir dan menengadahkan tangan tanpa rasa takut. Terkadang mereka berlari naik bis, lalu kembali meloncat turun dengan gesit dan tanpa rasa takut.

Terkadang saya sering bandingkan dengan treeva, diusia yang sama, treeva masih memiliki rasa takut untuk pergi sendiri, masih sering nangis kalo lama nggak liat orang tuanya. Namun, anak-anak itu tampil berani dan ceria di jalan tanpa mengenal rasa takut, seolah pengendara motor, sopir, penumpang bus adalah sumber kehidupan mereka, orang tua mereka yang layak untuk dimintai uang.

Jujur, saya sering merasa takut dan cemas, apakah anak-anak pengemis itu adalah diri mereka sendiri, yang karena himpitan ekonomi menjadi lebih cepat dewasa dan ikut mencari nafkah. Atau jangan-jangan otak mereka telah “dicuci” dengan cara-cara tertentu, sehingga mereka sama sekali tidak mengenal diri sendiri. Mereka menjadi semacam robot yang di”remote” untuk mematuhi perintah sang majikan.

Negara lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap mereka. Pengemis kategori pertama bisa diselesaikan dengan membuka lapangan kerja padat karya, mempermudah sistem pendidikan gratis secara merata, atau memberi modal berwiraswasta dengan bungan rendah dan tidak mengikat.

Namun pemerintah juga harus disadarkan, bahwa selama ini negara kita juga merupakan “pengemis” hibah dan pengutang tanpa kontrol. Yang kemudian menjadi ironi, ternyata hasil mengemis dan hutang tersebut, dikorupsi dan ditukar dengan asset-aset sumber daya alam. Akibatnya negara kita secara ekonomi dijajah oleh negara donatur. Negara pengemis dan penghutang terbukti melahirkan rakyat pengemis dan penghutang juga.

Sedangkan pengemis kategori kedua dan ketiga, yaitu pengemis pemalas dan kriminal terorganisir, beragam cara sudah dilakukan dari menangkap koordinator pengemis dan menjebloskannya ke penjara, hingga bolak-balik merazia gelandang dan pengemis, tapi hasilnya tetap nihil. Para pengemis yang sebagian besar adalah orang yang sama, tetap kembali beroperasi ditempat yang sama dan dengan cara yang sama pula. Nyaris tidak ada efek jera yang tersisa.

Sebenarnya, ada satu contoh penyelesaian yang “sangat melanggar HAM” dilakukan di Cina, yaitu dengan cara membersihkan pengemis-pengemis dewasa lalu memaksa mereka bekerja di perusahaan tambang yang terisolir, hingga“mengeksekusi mati” mereka yang memberontak menjalankan sistem ini, lalu merawat anak-anak pengemis dan mendidiknya agar menjadi manusia mandiri dibawah kendali negara. Sangat sadis memang, tapi kota Shanghai yang 10 tahun lalu terkenal sebagai kota kumuh dan kriminal, sekarang sukses menjadi kota bisnis yang aman.

Sebuah prinsip yang sangat “mengerikan” pernah diberlakukan di Cina: “ lebih baik kami (pemerintah) menembak mati 1 juta orang pembangkang dan membuat 1 milyar lainnya hidup senang, daripada membiarkan 1 juta orang mengacau dan membuat 1 milyar rakyat lainnya menderita.”

Namun sekali lagi, solusi ini tidak “direkomendasikan” di Indonesia, masih banyak cara-cara lain agar para pengemis dapat terangkat kualitas hidupnya. Yang paling sederhana adalah “bersedekah” dan “tidak korupsi”.



Celesta, 28 Mei 2009


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

1 komentar:

Comment by Lilis on 15 Juni 2012 pukul 20.42

Terkait postingan di atas dapat juga di lihat link di bawah ini :
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3132/1/PESAT%202005%20_arsitektur_006.pdf

Posting Komentar