Bola-bola Hiperbola

19.25 / Diposting oleh Phyrman /

Saat ikut demo di depan gedung BI Surabaya beberapa hari lalu,, dalam rangka solidaritas untuk rekan wartawan sctv yang “tertanduk” satpam BI, ada beberapa hal yang menurut saya ngawur plus hiperbola..

Ngawur yang pertama adalah jumlah polisi yang berjaga2 ternyata hampir dua kali lipat jumlah wartawan yang berdemo. Berawal dari informasi yang memang ngawur dan guyon, saat koordinator wartawan ditelpon oleh pihak kepolisian, tentang jumlah wartawan yang akan berdemo, lalu dijawab secara bombastis dan sok serius sekitar 100 orang lebih. So, untuk menghindari hal2 yang tidak diinginkan, maka 2 peleton pasukan pun diturunkan. Padahal wartawan yang berdemo hanya sekitar 50 orang, akibatnya adalah susah membedakan mana demonstran dan mana polisi. Ditambah kedua kubu yang berhadapan sudah saling kenal dan biasa nongkrong bareng. Demonstrasi pun menjadi arena guyonan yang dipenuhi acting hiperbola hehehe…

Ngawur kedua adalah pada isi dari isyu yang sempat tergiring, yaitu wacana untuk menuntut agar Gubernur BI Boediono harus bertanggung jawab dan memberikan keterangan pers terkait kejadian tersebut. Lho, opo gak berlebihan iki?
Seandainya Pak Boediono harus turun ke polres dan jadi saksi untuk mempertanggungjawabkan hal2 sepele kayak gini, mungkin nilai tukar rupiah akan langsung turun drastis. Karena figure seorang gubernur BI adalah sangat sentral dan independen, serta tidak boleh terkait perkara kriminal. Kredibilitasnya sangat berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dan kepercayaan dunia internasional.
Akibatnya, negara bisa rugi milyaran rupiah kalo tuntutan wartawan itu dituruti.

Jangan2 besok ada wartawan kesenggol sapu office boy istana RI 1 dan terluka, lalu presidennya suruh bertanggungjawab. Wah, bisa bubaran negeri ini hehehe…

Ada cerita lucu dari cak rahmat, koresponden sctv Surabaya yang menggambarkan pandangan masyarakat terhadap hiperbola wartawan.
Saat berdemo, seorang polisi yang berjaga sempat ber-celetuk ala suroboyoan: “ yok opo wartawan iki, giliran ono sithok sing kesampluk, sak Indonesia raya krungu kabeh. Tapi giliran polisi pitu kesadhuk, tonggone barang gak ngerti.” Terjemahan bebasnya mungkin begini: “wartawan ini lho, giliran ada satu (wartawan) terluka (secara tidak sengaja), seluruh rakyat indonesia tahu. Tapi giliran ada 7 polisi terluka, tetangganya (polisi) pun nggak dengar beritanya.” hehehe…

Wajar kok sebagai wartawan punya solidaritas yang tinggi terhadap corps dan profesinya. Asalkan kemudian tidak terdorong untuk melakukan tindakan yang emosional dan irrasional. Karena sesuai teori peluru dalam komunikasi massa, informasi yang beredar akan diterima oleh otak komunikan, (terkadang) tanpa bisa disaring kebenarannya terlebih dulu. Keseimbangan informasi dan tidak berat sebelah harus menjadi catatan penting dalam penulisan berita.

Seorang kawan menuliskan comment yang sangat bagus pada note saya “arogansi yang menghancurkan diri” terdahulu, intinya dalam kasus “tandukan satpam BI” kesalahan tidak 100% berasal dari arogansi satpam BI, tapi juga arogansi wartawan yang tidak mau menyerahkan KTP sebagai identitas yang disyaratkan oleh aturan pengamanan BI. Artinya ada “Etika yang terlanggar” dalam kasus ini. Etika berkomunikasi dengan tuan rumah, etika menjadi tamu yang baik dan etika bersopan santun terhadap manusia lain, apapun profesinya.

Sering kita bersikap hiperketus terhadap orang yang kita anggap punya profesi lebih rendah dibanding kita seperti office boy, pembantu rumah tangga, satpam, tukang gado2 dll. Tapi disisi lain kita bersikap hipercarmuk (cari muka-red), hipersantun, hiperbasa-basi dihadapan orang yang berprofesi lebih tinggi dari kita, seperti pejabat, pengusaha, artis terkenal dll.

Kalo berkomunikasi didepan direktur, kita bisa hiperlembut, tapi kenapa kalo berbicara dengan anak buahnya level terbawah, kita jadi hiperketus yaa?
Padahal dimata Tuhan semuanya sama kok, yang beda cuman Taqwa nya aja…
(hehehe, gw udah kayak hiper ustadz belum yaa?)

So, biarkan bola-bola menggelinding seperti apa adanya, jangan biarkan menjadi hiperbola (lho, gak nyambung yaaa hehehe)


Celesta, 16 mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar