Resensi: Lukisan Kaligrafi

20.00 / Diposting oleh Phyrman /

Resensi Buku
Judul : Lukisan Kaligrafi
Pengarang : A. Mustofa Bisri
Penerbit : Kompas, Jakarta
Halaman : 134 + IX

========================================================

“Sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan ketika difoto tidak jadi dan tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?”. (hal 71)

Salah satu cuplikan dalam cerpen berjudul Lukisan Kaligrafi ini seolah menggambarkan rasa penasaran manusia pada sisi mistis spriritual. Manusia modern yang sering disibukkan oleh pola pikir serba wah dan konspiratif, tergoda untuk menyelami kesederhanaan Ilahi dari sisi yang rumit. Padahal pemahaman spiritual Tuhan sangatlah sederhana, seperti yang digambarkan pada sosok ustadz Bachri yang mencoba melukis Ayat-ayat suci sesuai aturan kaligrafi yang benar.

Ke “ngawuran” manusia memahami agama digambarkan dengan analogi seniman yang melukis kaligrafi tanpa mengenal aturan-aturan penulisan khat Arab. Tidak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. (hal 63). Sehingga menghasilkan lukisan kaligrafi yang dangkal dan asal tampak indah, tanpa ada kedalaman hati didalamnya.

A. Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan julukan Gus Mus, mengumpulkan cerpen-cerpennya yang sangat sederhana dengan tema-tema sosial agama dengan setting pesantren dan kehidupan masyarakat abangan. Beragam cerita yang ditulis dengan gaya humoris tapi penuh renungan yang dalam ini, seakan menyindir kita untuk kembali pada hakikat sebagai makhluk. Makhluk yang diciptakan untuk menyembah sang khaliq, makhlik sosial yang semakin lupa pada hakikat “sosial”nya, makhluk yang tanpa sadar menganggap dirinya “lebih tinggi” dari manusia lain.

Cerpen favorit saya dalam buku ini adalah “Gus Jakfar”, yang menjadi pembuka dalam koleksi di buku ini. Ketidaksadaran manusia akan kesombongan dirinya digambarkan dengan cukup apik dan sederhana. Cerpen ini berkisah tentang pencarian hakikat ma’rifat oleh Gus Jakfar, seorang anak kyai besar yang memiliki kemampuan khusus untuk menerawang masa depan. Ada salah satu dialog yang menurut saya memiliki makna yang sangat dalam tentang bagaimana manusia memandang dirinya sendiri dan orang lain.

Dialog antara Kyai Tawakkal dan Gus Jakfar :
“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak pelu bersusah payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan surga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendakNya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke surga atau neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke surga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai Kyai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke surga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang diwarung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karna kita ingin dipandang baik olehNya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dariNya. Bukankah begitu? (hal 11).

A. Mustofa Bisri, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. menempuh pendidikan di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo, Kediri; Pesantren Krapyak, Yogyakarta; Pesantren Taman Pelajar, Rembang. Dan terakhir beliau belajar di Al-Qism al’Aalie lid Dirraasaati al-Islamiyah wal Arabiyah, Al-Azhar University, Cairo.

Fenomena munculnya komersialisasi dakwah, disindir melalui refleksi diri seorang ustadz yang rutin memberi pengajian di berbagai daerah dalam cerpen berjudul “Amplop-Amplop Abu-abu”. Ada enam amplop dengan nominal cukup besar yang diterima sang ustadz di setiap pengajian dari seseorang misterius yang rutin mengikuti pengajiannya, namun tiap amplop berisi pesan untuk sang ustadz;
Amplo pertama: Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik.
Amplop kedua: Sebelum anda menasehati orang banyak, sudahkah anda menasehati diri Anda Sendiri?
Amplop ketiga: Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga.
Amplop keempat: Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit.
Amplop kelima: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya? Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!.
Amplop keenam: Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memberdayakan!. (hal 26)

Salahsatu hal yang menurut saya agak sedikit mengganjal adalah cover belakang buku yang mencuplik refleksi sang ustadz dalam Amplop-amplop Abu-abu tentang kegetiran hatinya melihat fenomena maraknya pengajian tapi tidak diikuti perubahan perilaku peserta pengajian, cover ini seolah mewakili gambaran pesimis dari sang penulis dalam memandang realita social, padahal menurut saya, Gus Mus adalah seorang kyai yang sangat optimis dan penuh pengharapan dalam memandang realitas masyarakat, contohnya dalam cerpen Gus Jakfar yang memandang bahwa seorang “pelacur” yang diistilahkan sebagai “orang-orang yang ada diwarung” pun bisa berubah menjadi baik (diistilahkan tidak pasti masuk neraka) jika Allah memang menghendakinya. (hal 11)

Buku ini berisi 17 kumpulan cerpen yang sebagian sudah pernah dimuat diberbagai media massa, seperti Gus Jakfar (Kompas), Kang Amin (Jawa Pos), Ngelmu Sigar Raga (Media Indonesia) dan sebagainya.
Sebelumnya Gus Mus lebih dikenal sebagai penulis buku-buku renungan seperti Mencari Bening Mata Air (Kompas, Jakarta); Canda Nabi & Tawa Sufi (Hikmah, Jakarta); Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung) dll.
Gus Mus juga telah menghasilkan 8 buku kumpulan puisi-puisi seperti Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta); Tadarus (Prima Pustaka, Yogyakarta); Gelap Berlapis-lapis (Fatma Press, Jakarta); Gandrung, Sajak-sajak Cinta (Al-Ibriz, Rembang) dan lain-lain.


Celesta, 24 Mei 2009


Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar