(Ternyata) Ada Lagu Qasidah Di Dolly...

21.43 / Diposting oleh Phyrman /

Beberapa hari lalu, seperi biasa abis sholat maghrib gw pulang dari biro surabaya menuju hotel santika
kali ini gw pulang bareng mas yuda, salah satu karyawan kantor yang baik hati jadi volunteer nunjukin jalan alternatif, dari jalan girilaya yang memanjang di kawasan dolly, kita berbelok masuk ke gang banyu urip yang merupakan salah satu gang yang berisi rumah2 intim (walau bukan gang utama kata temanku)...

Sebelumnya sepanjang girilaya, keramaian musik2 house, disko regge dan disko dangdut terasa memekakkan telinga dalam kemacetan jalanan, pertanda dimulainya kehidupan malam dikawasan itu. Namun saat memasuki gang banyu urip yang relatif sepi, dan lebih banyak berisi perumahan warga, terdengar alusan musik yang mendayu-dayu dan terasa berbeda. musik khas timur tengah terdengar menggema, suara rebana yang menjadi instrumen resmi lagu qosidah mengalun dalam ritme cepat.

Lalu di teras rumah warga terlihat puluhan laki2 berpeci dan berbaju koko tampak asyik bercengkerama usai mengaji, juga beberapa wanita dalam bingkaian baju muslim yang rapat. Tak lama kemudian mereka berjalan keluar rumah dan menyusuri jalan banyu urip, yang dibeberapa titik tampak wanita berdandan seksi, dengan rok mini dan tank top sedang menunggu pelanggannya. Sebuah pemandangan yang kontras, antar dua kelompok itu tidak ada yang saling menyapa, mungkin juga karena tidak saling kenal. Namun juga tidak ada yang saling berbisik, mengggosip atau menghina. Semua berjalan seperti biasa dan tidak saling terganggu.

Sebuah toleransi yang sangat tinggi, dimana masing2 manusia saling menyadari kelemahan dirinya dan tidak saling menyerang. Yang agamis mungkin berpikir mereka lemah dihadapan Tuhan karena tidak mampu mengangkat harkat dan martabat saudari2nya sehingga tidak terjerumus dalam nista. Yang seksi juga berpikir bahwa mereka tak dapat mengikuti ritual agamanya sendiri, seperti sang agamis, (mungkin) karena faktor ekonomi.

Toleransi secara etimologis berasal dari kata tolerare yang berarti 'menanggung' atau 'membiarkan'. Toleransi dapat mempunyai warna etis-sosial, religius, politis dan yuridis serta filosofis maupun teologis. Secara kasar toleransi menunjuk pada sikap membiarkan perbedaan pendapat dan perbedaan melaksanakan pendapat untuk beberapa lapisan hidup dalam satu komunitas. Pada umumnya arah pemahaman toleransi mencakup pendirian mengenai membiarkan berlakunya keyakinan atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai pada level religius, sosial, etika politis, filosofis maupun tindakan-tindakan yang selaras dengan keyakinan tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu masyarakat atau komunita.

Kamus Oxford menegaskan bahwa toleransi adalah kemampuan untuk menenggang rasa atas keyakinan dan tindakan orang lain dan membiarkan mereka melakukannya. Kamus tersebut juga menggambarkan toleransi sebagai "kemampuan untuk menanggung penderitaan atau rasa sakit".

Yap, Kalo mengikuti kamus oxford, toleransi juga berarti kepeduliaan.
Toleransi terendah adalah membiarkan dengan tidak menggangu, tapi juga tidak peduli.
Toleransi tertinggi adalah kepedulian itu sendiri..
Seandainya ada tetangga yang sakit, kita membezuk dan membantu
Jika ada warga yang miskin, kita bersedekah
Dan seterusnya, dari hal2 terkecil yang kita mampu dan ikhlas
Jika orang lain menderita, kita ikut merasakan penderitaannya
Jika orang lain sakit, kita ikut berempati terhadap sakitnya


Ah, begitu indahnya toleransi.
Namun di area lain, toleransi ala dolly, sering tidak terjadi.
Sering satu kubu (mengaku agamis) menghakimi kelompok yang lain yang dianggap sebagai perusak moral, lalu malah tambah merusak dengan cara menyerang bangunan fisik milik orang itu ( aneh kan, wong yang rusak moralnya kok, yang dirusak gedungnya atau fisik orang, harusnya kan dengan memperbaiki moralnya).
Terus kubu yang diserang akan balas menyatakan bahwa kubu penyerang munafik, karena anggota2nya juga banyak yang "dilayani" hehehe...

Nabi idolaku, Muhammad SAW dalam sebuah hadits menyatakan iman itu fluktuatif, bisa naik turun dan bahkan sirna. Artinya orang beriman bisa saja berubah menjadi kafir. Sebaliknya orang kafir suatu saat bisa kembali beriman bila Tuhan memberinya hidayat. Karenanya realitas yang ‘kafir’ di luar sana adalah misteri. Demikian halnya maksiat tidak selamanya permanen. Selalu saja ada ruang pertobatan.
Menyikapinya secara a-priori adalah kurang bijak.

Tuhan lah yang Maha Tahu dan kuasa membuat seseorang beriman atau bertobat.
Tuhan yang membiarkan seseorang menjadi kafir atau membuatnya menjadi beriman.
Adalah di luar kuasa manusia membuat seorang hamba beriman, apalagi dengan paksaan atau kekerasan.
Ini adalah sikap keimanan yang tidak toleran.

Seseorang yang tadinya beriman, bisa jadi tergoda untuk menjadi kafir duniawi
Juga seseorang yang kafir, juga ada harapan untuk menjadi beriman surgawi
So, yang merasa beriman dan (terkadang) merasa kafir, bertoleransilah
Karena kita bisa menjadi kedua2nya hehehe...

(sebagian sumber data dari dunia maya)

Darmo Permai, 9 Mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar