Benarkah Nasionalisme Kita?

17.21 / Diposting oleh Phyrman /

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.

(sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme)

Benarkah gambaran nasionalisme kita juga seperti itu? Sebuah naluri hewani yang muncul untuk mempertahankan diri? Nasionalisme yang notabene lemah dan bermutu rendah? Sebuah kekuatan yang akan sirna, jika lawan sudah pergi?

Ya, jujur saja saat membaca definisi dari wikipedia itu saya ingin tertawa.

Menertawakan diri sendiri yang terlalu bersemangat berteriak “ganyang Malaysia”, karena klaim tari pendet nya melalui iklan di Discovery Channel.

Menertawakan media massa yang setiap hari memprovokasi masyarakat untuk menyerang negara tetangga karena “tindak pencurian” nya yang sudah berulang kali.

Menertawakan tayangan heroik saat kapal TNI AL mengusir kapal perang Malaysia dalam kasus Ambalat.

Kenapa harus tertawa?

Karena semua usaha yang kita lakukan menjadi sia-sia;
kita teriak "ganyang malaysia", tapi disana ada 2 juta TKI yang bergantung hidup.
Kita tuntut "pencurian budaya", tapi kita sendiri tidak melestarikannya.
Kita jaga wilayah perbatasan, tapi penghuni pulau tersebut lebih memilih bergabung dengan negara lain.

Setiap hari kita disusupi pemikiran oleh para pengamat, digiring opini oleh media massa, dan dipaksa mengakui bahwa negara tetangga kita adalah jahat, maling, dan culas. Tapi kita tidak pernah bisa menghentikan besarnya animo masyarakat kelas bawah yang ingin bekerja disana menjadi TKI, kita tidak pernah bisa menghentikan hasrat konsumsi dengan berutang KPR di bank-bank milik negeri jiran itu, dan kita juga tidak pernah bisa menolak milyarder-milyarder mereka untuk menguasai saham-saham di BUMN.

Lalu nasionalisme seperti apa yang kita miliki?

Di bidang olahraga, Timnas sepakbola kita adalah contoh paling tepat untuk menggambarkannya; semangat para pemain untuk memenangkan Timnas PSSI dilakukan dengan cara memprotes keputusan wasit yang memberi hukuman pinalti atau bahkan menyerangnya, bukan dengan berlatih mengasah kemampuan sebaik mungkin, dan berusaha menyerang pertahanan lawan untuk memasukkan gol. Di bangku penonton, semangat nasionalisme digelorakan dengan menyerang suporter Timnas negara lain, jika kita kalah dalam pertandingan internasional. Tapi usai pertandingan, tidak satu pun pemain dan pengurus PSSI yang instropeksi diri, lalu berniat membangun Timnas sepakbola yang disegani minimal di kawasan Asia Tenggara.

Di bidang budaya, semua media massa mengangkat isu “pencurian” tari pendet, terkait tayangan iklan promosi Malaysia di discovery channel, ratusan pemuda dari berbagai daerah turun ke jalan berdemonstrasi lalu puluhan penggiat seni, pengamat budaya, hingga presiden turut angkat bicara. Semuanya memamerkan nasionalismenya dengan berteriak olah kata. Namun seiring waktu berlalu, pariwisata kita tetap stagnan, pagelaran tari tradisional tetap sepi penonton, minim sekali generasi muda yang mau belajar budaya lokal, tak ada sedikit pun niat untuk mempertahankan dan mengembangkannya. Seni seolah menjadi milik turis, dan bangsa asing yang mengagumi keindahannya.

Di bidang politik, isu Ambalat adalah berita terhangat dan terpanas hingga sekarang. Tayangan heroik saat kapal TNI AL mengusir kapal perang Malaysia dari perairan NKRI masih sering diulang-ulang oleh televisi. Hilangnya Sipadan dan Ligitan dalam sengketa arbritasi internasional menjadi trauma tersendiri. Kita lupa bahwa kekalahan kita dalam sengketa wilayah tersebut adalah karena tiadanya perhatian terhadap pulau-pulau di perbatasan. Fakta menunjukkan bahwa Malaysia sudah membangun kawasan wisata di kedua pulau itu, dan semua penduduknya juga ber KTP negara itu. Ketika warga penghuni sudah menentukan pilihan hidupnya, hukum politik hanyalah soal garis batas, bukan bagaimana menyejahterakan rakyat.

Disaat nasionalisme orang lain ditunjukkan dengan menunjukkan hegemoninya atas negara lain, dengan penguasaan ekonomi dan militer. Para elit politik kita masih sibuk menghancurkan negara dengan korupsi; mengganjal berlakunya UU Tipikor, merusak kewenangan KPK dari berbagai sisi, hingga mencegah masuknya para idealis pemberantas korupsi kedalam sistem audit negara seperti BPK.
Ya, nasionalisme era reformasi seolah sedang mencapai titik puncak nya; dengan mengatakan bahwa harta negara adalah harta pribadi kita juga.

Nasionalisme kita baru sebatas kata-kata, hanya sekedar wacana untuk membangun, belum sampai tahap melangkah.

Mungkin kita harus sejenak menoleh ke belakang, menyimak Pidato Bung Karno dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi”, yang dimuat di Suluh Indonesia tahun 1928

“Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme jang timbul dari kesombongan belaka; ia adalah nasionalisme jang lebar,-ia adalah nasionalisme jang timbul dari pada pengetahuan atas susunan dunia dan riwajat; ia bukanlah jingo-nationalism atau chauvinism, dan bukanlah suatu copy atau tiruan pada nasionalisme Barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, jang menerima rasa hidupnja itu sebagai suatu wahju dan mendjalankan rasa hidupnja itu sebagai suatu bakti…Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke Barat-an jang…adalah “ suatu nasionalisme jang menjerang-njerang, suatu nasionalisme jang mengedjar diri sendiri, suatu nasinalisme perdagangan jang untung atau rugi”… Nasionalisme kita adalah nasionalisme jang membuat kita menjadi perkakasnja Tuhan, Nasionalisme kita menjadi hidup dalam roch.


Sency, 2 September 2009

Dwi Firmansyah

Label:

0 komentar:

Posting Komentar