Slank: “Kalo ada yang mencuri, kita ceburin ke kali…”

20.15 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Dalam sebuah dialog tentang korupsi di Liputan 6 Pagi SCTV (27/09/09), grup musik Slank yang sedang aktif dalam mempromosikan anti korupsi di Indonesia bercerita tentang bagaimana mereka berusaha menanamkan budaya anti korupsi di kalangan Slankers atau para pendukung Slank. Ada satu cerita Bimbim yang menurut saya cukup menarik, “Kalo ada anak Potlot yang berkelahi, kita pisahin. Kalo ada anak Potlot yang pake narkoba, kita anterin ke dokter supaya sembuh. Tapi kalo ada anak Potlot yang mencuri, langsung kita ceburin ramai-ramai ke kali (sungai-red) dibelakang markas, dan kita usir dia supaya tidak datang lagi.”

Komitmen mereka untuk menghapus budaya korupsi dari orang-orang terdekatnya, sangat layak kita apresiasi tentunya. Mereka sama sekali tidak menolelir terhadap aksi clepto (pencurian-red), apapun alasannya. Argumen mereka cukup bagus, dengan membuka budaya kejujuran dan keterbukaan diantara para pendukungnya. Jika ada yang tidak punya uang untuk makan, bilang saja, nanti yang lain akan berusaha membantunya, tapi jangan mencuri.

Saya sangat setuju pendapat itu. Dalam sebuah tindak pencurian, ada beberapa nilai yang dilanggar.
Pertama, nilai kejujuran, orang yang berani mencuri adalah orang yang takut meminta. Banyak alasan kenapa orang menjadi takut meminta, bisa karena faktor gengsi atau prestise yang akan turun, atau takut dianggap sebagai warga kelas dua karena merepotkan teman dsb. Kalo kita melihat realita kehidupan, maraknya aksi korupsi di berbagai lapisan masyarakat Indonesia, seringkali disebabkan oleh faktor gengsi. Orang lebih memilih tidak jujur pada lingkungannya, daripada dipandang rendah. Seorang suami lebih suka korupsi, daripada dianggap tidak mampu memenuhi standar hidup keluarganya yang tinggi. Padahal jika mau, mungkin mereka masih bisa hidup layak dan sederhana tanpa korupsi. Seorang pejabat atau tokoh masyarakat lebih memilih korupsi, daripada dianggap tidak mampu menunaikan haji berkali-kali, atau tidak mampu memberi sumbangan kepada masyarakatnya. Dengan alasan prestise, seringkali mereka harus mempertontonkan kehidupan yang lebih “wah” dibanding pendapatannya.

Kedua, nilai kemanusiaan, orang yang berani mencuri adalah orang yang tidak memikirkan kondisi sosial pemilik yang dicurinya. Seorang pencuri tidak pernah peduli, apakah si pemilik harta memang berlimpah atau kebetulan sedang memegang uang untuk keperluan lain. Bagaimana jika uang yang dicuri tersebut sangat dibutuhkan oleh pemiliknya sebagai biaya pengobatan keluarganya, bukankah dampaknya bisa sangat fatal. Demikian pula seorang koruptor, dia tidak pernah peduli peruntukkan uang yang dikorupsinya. Kasus paling “mengerikan” terhadap sisi kamanusiaan adalah korupsi terhadap dana bantuan bencana. Seorang koruptor tetap tega menyelewengkan dana bantuan tersebut, tanpa memikirkan bahwa uang itu sangat dibutuhkan oleh para korban bencana, yang sedang kesulitan menjalani hidup. Yang jelas akibat terjadinya korupsi, jutaan masyarakat miskin tidak mampu meletakkan standar hidupnya dalam posisi normal.

Ketiga, nilai kepercayaan, mungkinkah kita bisa ikhlas berteman dan bersahabat dengan orang yang pernah mencuri uang kita, dan dimasa depan bukan tidak mungkin akan terulang lagi? Pastinya tidak ada lagi kepercayaan terhadap si pencuri, dan kita pun akan selalu merasa waswas jika berdekatan dengannya. Demikian pula seorang koruptor, kendati kamar prodeo belum mengurungnya, tapi kepercayaan masyarakat pasti langsung sirna, jika mereka tahu bahwa si pejabat, si tokoh masyarakat atau si pengusaha itu menyalahgunakan kekuasaan untuk mencuri uang mereka. Petani yang dijanjikan mendapat subsidi pupuk pasti akan marah, jika tahu bahwa penyuluh pertaniannya malah menyelewengkan dana subsidi untuk mereka. Wali murid pasti akan emosi, jika dana subsidi sekolah gratis malah diselewengkan oleh pejabat diknas dan kepala sekolahnya. Karyawan pasti akan mogok, jika tahu hak bonus mereka ditilep oleh pemilik perusahaan.

Kembali ke Slank, dalam dialog itu Bimbim juga bercerita tentang hal kecil yang mereka coba lakukan dalam memutus mata rantai budaya korupsi, katanya “Segmen yang kami tuju dalam ikut mengkampanyekan anti korupsi adalah generasi muda yang berumur dibawah kita (rata-rata usia personil Slank-red), karena kalo sama yang lebih tua, kami takut kualat hehehe… Kami juga belajar dari pengalaman bapak-bapak kita dulu yang juga melakukannya”. Saya kurang paham maksud kalimat terakhir, tapi penafsiran saya, Bimbim ingin mengatakan bahwa orangtua mereka dulu juga melakukan korupsi kecil-kecilan, sama seperti bapak saya, mungkin juga bapak anda, karena saat itu memang budaya korupsi sedang nge-tren.

Yup, saya sangat setuju dengan Bimbim. Segmentasi pasar yang dituju sebagai sasaran kampanye anti korupsi adalah generasi muda yang biasanya masih punya idealisme. Anak-anak yang akan malu memakai mobil bapaknya, jika tahu itu didapat dari hasil korupsi. Anak-anak yang otaknya masih bersih dan masih bisa diisi dengan budaya produktif bukan konsumtif. Anak-anak yang belum terlanjur terbiasa menikmati kehidupan mewah diatas penderitaan orang lain.

Jika anak-anak muda malu memiliki bapak koruptor, dia tentu akan menjauh dari harta bapaknya. Dan bisa jadi akan lebih menyentuh nurani sang bapak, daripada nasehat orang lain atau ancaman hukuman KPK. Bimbim dan rekan-rekannya di Slank mencoba menjadi anak yang sholeh, dengan menjadi anak baik dan tidak mencuri. Bukankah tidak ada orangtua yang mengajarkan anaknya untuk mencuri, walau dia sendiri adalah seorang pencuri. Saya tidak sedang mengatakan bahwa bapak-bapak Slank adalah koruptor, saya hanya ingin memberi gambaran bahwa pada masa bapak-bapak kita dulu, budaya korupsi sangat marak dan terkesan menjadi sesuatu yang legal dan halal. Dan Slank pun merasakan hal yang sama, sehingga dia ingin merubah budaya yang terjadi pada orang tuanya, dengan budaya baru yang anti korupsi bagi generasi dibawahnya.

Menurut saya, langkah sederhana Slank dalam membentuk budaya anti korupsi, adalah sebuah strategi yang cerdas, kreatif dan tepat sasaran. Yang mungkin bisa kita tiru dalam menjalankan kehidupan sosial kita.

Slank yang notabene jauh dari hingar bingar aktifitas pemberantasan korupsi aja berani “melemparkan” orang-orang terdekatnya yang terbukti mencuri ke dalam sungai. Tentunya, harapan kita kedepan, instansi resmi Negara yang masuk dalam lingkaran pemberantasan korupsi seperti KPK, Polri, Kejagung dan MA bisa “menghukum” lebih para koruptor daripada apa yang kawan-kawan Slank telah lakukan.

Jika pendukung Slank yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah saja bisa merubah budaya mereka untuk berkomitmen tidak mencuri, maka sudah seharusnya, para pejabat, pengusaha, anggota DPR dan perangkat pemerintahan yang jauh lebih kaya dan mapan, juga ikut berkomitmen untuk tidak korupsi.

Ah, Slank…
Terlalu manis untuk dilupakan
Kenangan yang indah bersamamu…



Celesta, 27 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Jangan Pernah Ingin Memiliki Hak Orang Lain!

10.19 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Masih teringat di memori otak saya yang ber IQ rendah ini, sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang kawan yang mengutip salah satu butir dalam 10 Perintah Tuhan pada nabi Musa. Kalimat itu berbunyi “Jangan pernah ingin memiliki hak orang lain!”.

“Ingin aja tidak boleh, apalagi (sudah) memilikinya” urai kawanku itu lagi.

Entah kenapa, kalimat sederhana itu tersimpan dalam pikiran saya.
Saya mencoba menghitung berapa banyak hasrat kita untuk merampas hak orang lain demi keinginan untuk memiliki sesuatu yang menjadi hak nya. Dari hal yang paling sederhana dan tak mungkin tercapai, sampai hal yang berat dan kita usahakan untuk memperolehnya.

Kalau baru sebatas “ingin”, tentu jumlahnya tak terhitung.
Dari melihat pacar orang lain yang cantik dan aduhai, lalu membayangkan untuk memiliki kekasih itu.
Atau menyaksikan kawan yang kaya raya, dan kita tergoda untuk mendapat sedekah harta darinya.
Atau mendengar rekan kantor promosi jabatan, dan kita ingin menggantikannya.
Pasti sangat, dan sangat banyak…

Dan dalam realitanya, perintah Tuhan itu sudah banyak dilanggar oleh kita sebagai manusia, baik secara halus maupun kasar, baik secara kasat mata maupun terselubung, baik secara diam-diam maupun terang-terangan.

Seorang perampok “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara merampas harta korban secara terang-terangan, kasar bahkan terkadang kriminal dengan melukainya.

Seorang pejabat “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara korupsi secara halus dan terselubung, tanpa diketahui oleh rakyat sebagai pemilik harta.

Seorang pengusaha “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan memutarbalikkan data keuangan perusahaan, sehingga bonus yang menjadi hak karyawan bisa ditilep dengan cara tersamar.

Seorang seniman atau ilmuwan “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara menjiplak karya seni atau hasil riset orang lain, dan diakui sebagai karya orisinilnya.

Seorang karyawan “ingin” memiliki hak orang lain dan melakukan dengan cara merebut jabatan rekannya, dengan cara yang licik dan penuh intrik politik.


Melihat maraknya aksi “pemilikan” hak orang lain untuk diri sendiri, maka memang tak salah jika Tuhan mencantumkan larangan itu dalam 10 perintahnya di awal turunnya agama langit.

Kalo kita coba putar bahasa secara sederhana, kata “ingin” berarti baru sebatas niat di hati, belum ada eksekusi. Jika ke“ingin”an tersebut bisa dihapuskan dari hati kita, maka bisa diartikan dimasa depan tidak akan ada “eksekusi” pemilikan hak orang lain untuk diri kita.

Tapi mungkinkah…
Seorang perampok menghapus “keinginan” untuk memiliki harta korban, sehingga batal merampas.
Seorang pejabat menghapus “keinginan” untuk memiliki harta rakyat, sehingga batal korupsi.
Seorang pengusaha menghapus “keinginan” untuk memiliki harta karyawan, sehingga batal menilep
Seorang seniman/ilmuwan menghapus “keinginan” untuk memiliki karya orang, sehingga batal menjiplak.
Seorang karyawan menghapus “keinginan” untuk memiliki jabatan rekannya, sehingga batal memfitnah.

Tapi, bagaimanakah caranya?


Celesta, 24 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Tim Solid, kok dibilang Konflik…

10.18 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Seperti cerita komik Lucky Luke, yang digambarkan bisa bergerak lebih cepat dibanding bayangannya. Itu lah hal yang menurut saya paling menarik dan berkesan tentang bagaimana sebuah isu bisa menyebar dan berkembang biak lebih cepat dibanding informasi dari narasumber resmi. Bagaimana tidak? Wong kita yang menjadi narasumber gossip aja masih berpikir, kok tiba-tiba sudah diisukan terjadi konflik dalam tim.

Ini cerita lucu tentang pengalaman liputan arus mudik kemarin, kami ber 20 orang yang sedang asyik leyeh-leyeh menikmati hidangan buka puasa di rumah makan teh Irma, langsung terbengong-bengong saat Pak PO kami yang bijak, mengajak semua kru duduk mendekat dan melingkar guna membahas telepon dari kantor, yang isinya mempertanyakan adanya konflik di tim liputan jalur selatan. Lho kok bisa? Kami dituduh terjadi konflik internal sehingga meminta kepulangan tim dimajukan satu hari, padahal alasannya sederhana, karena lebaran pun maju satu hari.

Masing-masing kru saling berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak…

Saat kreatifitas kami mengalir lancar, dengan menggelar “show” siaran langsung yang tidak biasa. Saat kami bersemangat mengambil angle kemacetan dari sudut pandang yang unik; dari atas SNG atau atap pos polisi, maupun dari pinggir jalanan yang hanya berjarak beberapa centimeter dari bis-bis besar . Saat kami bahu-membahu mengatasi panas menyengat sambil tetap berpuasa, demi menghasilkan tayangan terbaik. Lalu ada orang nun jauh disana yang “muncul” menjadi pahlawan kesiangan dan melemparkan isu terjadi konflik, ini tentu sangat menggelikan.


Saya ingin flashback bercerita tentang bagaimana tim kami berjalan dengan hati tanpa ada paksaan struktural. Dari awal, Pak PO sudah menyarankan agar dalam liputan nanti kita bekerja dengan hati, tidak usah terlalu memperdulikan “tugas struktural”, artinya satu sama lain bisa berganti jabatan sesuai kebutuhan. Dan beliau pun mencontohkan dengan santun tanpa banyak bicara; walau secara struktur adalah pimpinan proyek, tapi beliau tetap mau turun kebawah, melakukan pekerjaan kasar; membantu menggulung kabel yang kotor berdebu, memasang banner dan mencari batu pengganjalnya. Padahal itu adalah tugas seorang helper, yang notabene secara struktur memiliki jabatan terendah.

Kerendahan hati itulah yang menginspirasi kami untuk nyaman bekerja.

Hal lain yang sangat menyenangkan adalah toleransi beragama yang tinggi. Sebelum kami tiga kamerawan membagi tugas liputan, salah seorang kawan yang kebetulan beragama non muslim langsung menawarkan diri untuk mengambil jatah liputan siang hari, yang pastinya adalah tugas terberat, karena kami yang muslim harus mempertahankan puasa. Lalu sebagai balasan, kami membiarkannya beristirahat untuk tidak bertugas pada siaran pagi hari, karena dilakukan usai sahur.

Pun saat kawan non muslim kehabisan jatah sarapan pagi, karena restoran hotel di Tasikmalaya hanya menyediakan menu untuk sahur. Kita pun beramai-ramai mengantarkan untuk mencari makanan, yang ternyata sangat susah didapat, karena restoran atau rumah makan disana sangat taat pada aturan Pemda, untuk tutup pada pagi hingga siang hari selama bulan puasa. Setelah berputar-putar keliling kota, akhirnya ketemu McDonald yang buka setengah pintu dan melarang konsumennya untuk makan didalam restoran. Wal hasil, didalam mobil kami harus ikhlas melirik Hamburger + kentang goreng + Coca Cola berkeringat dingin yang dengan lahap dikunyah oleh kawan itu nyam, nyam, nyam hehehe...

Bukankah semakin besar godaan, berarti semakin besar pula pahalanya.
So, kami harus berterimakasih, karena godaan Coca-Cola dingin itu juga berarti menambah poin kami untuk masuk surga hehehe…

Malam hari adalah malam wisata kuliner, karena tiada waktu tanpa gaul dan nongkrong. Selama 9 hari liputan, hampir setiap malam kita menyusuri berbagai sudut daerah untuk sekedar mencicipi makanan yang tidak khas, disebut tidak khas karena menu ini hampir diseluruh pelosok Indonesia pasti ada, walau mungkin berbeda rasa. Ada STMJ di samping Unpad Jatinangor, Bandrek susu + roti bakar di Dago Bandung, lalu bubur ayam dan jagung bakar ala Tasikmalaya.

Bukan “rasa” yang kami cari, tapi “kebersamaan”.

Pelajaran penting yang saya dapat dari liputan kali ini adalah sangat penting untuk berpikir secara “esensi”, bukan secara struktur, jabatan, aturan, wewenang, kekuasaan dsb yang bahkan akan bisa merusak nilai dan tujuan yang ada. Karena hal-hal diatas hanyalah buatan manusia, yang sangat mungkin salah atau disalahgunakan.

Pak PO berpikir secara esensi, maka beliau ikhlas turun kebawah ikut menggulung kabel demi mengajarkan cara meletakkan dasar sistem yang benar.

Kawan non muslim berpikir secara esensi, bahwa pekerjaan duniawi tapi kemudian melanggar aturan agama dengan batal berpuasa bukanlah tujuan kawan muslim. Maka dia rela memberi kemudahan dengan mengambil jatah tugas terberat.

Kru berpikir secara esensi, bahwa kebersamaan informal sangat penting untuk bisa saling memahami watak dan kepribadian yang lain, maka diadakanlah wisata kuliner.

Jika hanya berpikir secara struktur dan wewenang,
Maka Pak PO pasti akan gengsi untuk menggulung kabel dan lebih memilih berteriak menyuruh helper.
Maka kawan non muslim akan egois membagi tugas sama berat dengan muslim yang berpuasa.
Maka tidak akan ada wisata kuliner sebagai sarana berbagi cerita, yang foto-fotonya langsung diupload di facebook hehehe…

Yup, bukankah lebih enak bekerja dalam suasana riang
Karena dalam kegembiraan itulah, sebuah kreatifitas liar biasanya spontan tercipta
Bukankah lebih nikmat berbagi tugas dalam keikhlasan
Karena semua rekan dianggap sederajat dan seimbang

Tak ada yang berteriak mencari “kambing hitam”, jika urung mencapai keberhasilan
Kesalahan satu orang adalah kesalahan satu tim yang lalai mengingatkan
Tak ada yang arogan bercerita tentang kehebatan individu
Karena masing-masing sadar untuk berbagi peran

Tatkala orang lain mendesain interior artistic nan lux, guna memancing imajinasi kreatif
Kami membangun imajinasi dari pojok tukang roti bakar pinggir jalan yang sederhana
Tatkala orang lain memasang sofa kulit yang nyaman, guna merancang ide brilian
Kami menemukan ide unik justru dari kepulan asap jagung bakar yang memedaskan mata

Jadi, sebenarnya ini tim konflik, solid atau hura-hura?


Celesta, 22 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Budaya Islam Abangan, Isu Teroris dan Kesalahpahaman Masyarakat Dalam Menilainya

10.32 / Diposting oleh Phyrman / komentar (1)

I. Pendahuluan
Pada harian Kompas (Minggu, 23/08/2009) halaman 4, ada berita tentang penghakiman masyarakat terhadap budaya islam abangan terkait maraknya isu terorisme paska ledakan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot, Mega Kuningan, Jakarta.

Judul : “Dihadang Warga karena Berjenggot dan Bercadar”,
Cuplikan isi berita :
“Sial nian nasib suami istri Daud dan Kasitri gara-gara berjenggot dan bercadar, keduanya dihadang dan diinterogasi habis-habisan oleh sejumlah warga seusai bersembahyang di Masjid Al Barokah Kampung Kedinding, Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten. Bahkan, keduanya sempat dibawa ke markas polisi…..” (Kompas, Minggu, 23/08/2009).

Berita tersebut mewakili maraknya kasus-kasus sejenis tentang terjadinya benturan budaya antara masyarakat muslim sekuler dengan budaya islam abangan yang berciri seperti diatas. Kendati tidak secara langsung menuduh bahwa ajaran islam abangan ini sangat dekat dengan keyakinan teroris yang dianalogikan polisi sebagai teroris jaringan Noordin M Top, yang merupakan sempalan Jamaah Islamiyah garis keras, namun akibat pemberitaan media massa yang bertubi-tubi tanpa adanya berita pembanding, maka opini masyarakat pun tergiring bahwa dalam kehidupan sosialnya para buronan teroris akan berpenampilan seperti rilis pihak kepolisian. Dampaknya adalah pembentukan persepsi masyarakat terhadap ciri profil buronan teroris, sehingga ketika menemukan orang, atau sekelompok orang yang berpakaian baju koko, celana menggantung, dan berjenggot akan dicurigai sebagai teroris.

Pertanyaannya adalah kenapa masyarakat yang sebelumnya bisa hidup berdampingan dengan budaya tersebut diatas, kemudian berubah menjadi curiga dan khawatir?

II. Landasan Teori
a). Pengertian budaya
Budaya dalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang dan waktu, konsep alam semesta, obyek-obyek materi, merupakan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Budaya sebagai alat untuk memahami perilaku manusia atau orang lain seringkali tidak dimaksimalkan manfaatnya. Mestinya perspektif yang obyektif harus digunakan untuk mengimbangi subyektifitas dalam memandang perbedaan budaya. Budaya muncul bukan karena kebetulan saja, budaya merupakan hasil proses adaptif manusia terhadap lingkungannya baik secara fisik dan biologisnya. Lalu diturunkan, diwariskan pada keturunannya terus menerrus hingga tidak disadari dari mana asal warisan kebijakan tersebut.

b). Memahami Perbedaan budaya
Perbedaan budaya adalah perbedaan “dunia” seseorang dalam kaitannya dengan komunikasi, kita harus mampu menengok “dunia”mereka yang berbeda dengan dunia kita dan berkata dalam dunia mereka.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada suku bangsa dan kebudayaan. Keanekaragaman tersebut menimbulkan berbagai permasalahan dalam komunikasi interpersonal lintas suku bangsa, dikarenakan perbedaan persepsi dalam penerimaan pesan saat berkomunikasi.

Dalam kehidupan yang multikultural seperti di Indonesia ini, perlu untuk memahami apa yang terjadi dan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi permasalahan perbedaan budaya. Semakin kita mengenal budaya orang lain, semakin terampilah kita memperkirakan ekspektasi orang lain dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Jika hal ini berhasil maka pencapaian tujuan dalam kehidupan akan terwujud sesuai target. Kunci pokok yang dapat mengantarkan kita ke dalam tujuan besar itu diperlukan pemahaman akan perbedaan budaya yang ada dan mendasari latar belakang perilaku seseorang dan pemahaman akan sebuah komunikasi antar budaya diantara pelaku komunikasi tersebut.

c). Komunikasi antar budaya
“Intercultural communication is the art of understanding & being understood by the audience of another culture” (Sitaram, 1970), komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami & dipahami oleh khalayak yang memiliki budaya yang berbeda.

“Intercultural communication is communications which occurs under condition of culture, different – language, values, costumes & habits” (Stewart, 1974), komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

d). Benturan budaya
Benturan budaya terjadi karena perbedaan budaya dalam persepsi, keyakinan dan sebagainya.

e). Konstruksi sosial atas realitas oleh media massa
Dalam buku; Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisis Semiotik dan Analisi Framing, karangan Alex Sobur, ada beberapa definisi Konstruksi sosial atas realitas oleh media massa:

Dalam pandangan Gaye Tuchman mengenai sifat dan fakta media massa, “disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita.” (hal.88)

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”. (hal.87).

Menurut Alex Sobur; “Ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain; misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal. Kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.” (hal.30)

III. Pembahasan
Kalau kita mengikuti perkembangan berita-berita di media massa Indonesia paska serangan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot Jakarta, 27 Juli 2009. Maka akan tampak ciri-ciri buronan teroris yang diduga kuat oleh Polri sebagai jaringan pelaku, yaitu:
- Biasanya berpakaian; baju koko, peci putih, dan celana tinggi (menggantung).
- Biasanya berjenggot.
- Biasanya rajin sholat di masjid/mushola terdekat.
- Biasanya ramah dan baik dengan tetangga, namun orangnya agak tertutup.
- Biasanya menyimpan Al quran dan buku-buku berbahasa arab di rumahnya.
- Biasanya memasang kaligrafi atau stiker tentang jihad di rumahnya.
- Biasanya pendatang baru dan suka berpindah kos.

Profil tersebut adalah gambaran penampilan fisik, budaya berpakaian, dan perilaku keseharian yang biasa dijalankan oleh mayoritas islam abangan di Indonesia. Adanya persamaan profil teroris yang dirilis pihak kepolisian dengan budaya islam abangan, tentunya bisa menciptakan terjadinya perubahan persepsi masyarakat terhadap budaya tersebut. Dan hal ini bisa menyebabkan terjadinya benturan budaya antara masyarakat umum Indonesia yang didominasi oleh muslim garis tengah (sekuler) dengan masyarakat yang kuat memegang budaya islam abangan.

Sebelum terjadinya ledakan bom di kedua hotel yang menyebabkan 56 warga meninggal dunia, nyaris tidak pernah benturan budaya diantara mereka. Semua hidup rukun berdampingan, berusaha saling memahami dan menghormati terhadap ketaatan menjalankan ajaran agama masing-masing. Semua disatukan oleh besarnya toleransi antar budaya.
Lalu kenapa persepsi masyarakat bisa berubah sedemikian cepat? Dari yang sebelumnya saling toleransi berubah menjadi curiga dan khawatir.

Menurut pendapat penulis, hal itu disebabkan besarnya pemberitaan media massa dalam memberitakan isu-isu teroris tersebut kepada masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan, usai terjadinya bom, hampir semua headline media massa terfokus pada penyelusuran jejak pelaku bom tersebut. Setiap hari media massa merilis perkembangan kasus perburuan teroris oleh pihak kepolisian. Keterbatasan narasumber alternative yang mengerti tentang “dunia teroris” menjadikan rilis kepolisian menjadi satu-satunya kebenaran tentang buronan teroris. Dan kebenaran itu sangat dipercaya oleh masyarakat yang menjadi komunikan dari isi pesan media massa.

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”(Dalam Alex Sobur;2001).

Kebenaran rilis kepolisian yang ditayangkan media massa, oleh masyarakat kemudian dianggap menjadi kebenaran sejati tentang profil buronan teroris. Akibatnya masyarakat menjadi sangat percaya, bahwa dalam kehidupan sosialnya, para pelaku terror itu berbudaya (pakaian, perilaku-red) seperti itu. Dampaknya adalah masyarakat islam abangan yang memiliki ciri budaya seperti itu dicurigai oleh masyarakat lain sebagai pelaku teroris.

Adanya rasa curiga, khawatir dan takut terhadap pelaku teror (yang juga digambarkan media massa, sebagai manusia yang berwatak kejam dan nekat), menjadikan masyarakat bersikap agresif dan preventif terhadap warga yang berciri sama. Akibatnya sering terjadi benturan budaya, dimana masyarakat yang curiga itu, lalu menangkap, menginterogasi dan menghakimi orang atau sekelompok orang islam abangan, yang berpakaian seperti profil teroris versi polisi.

Hal ini tentu sangat berbahaya, karena jika ada provokator yang menghembus-hembuskan isu SARA terhadap masyarakat yang sedang “galau” akibat pemberitaan media massa. Bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi konflik antar budaya atau perlakuan tindak kekerasan terhadap budaya lain.

“Intercultural communication is communications which occurs under condition of culture, different – language, values, costumes & habits” (Stewart, 1974), komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

Komunikasi antar budaya yang efektif harus dijalankan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini penting untuk mencoba memahami budaya islam abangan terkait kepercayaan yang mereka yakini dalam pelaksanaan agama islam. Harus ada usaha untuk mempersamakan persepsi bahwa budaya islam abangan bukanlah budaya teroris. Dan teroris tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya mereka, kendati secara penampilan fisik mungkin sama.

Untuk mencegah hal tersebut berkembang ke arah negatif, maka dibutuhkan dialog antar tokoh masyarakat kedua budaya tersebut (islam abangan dan muslim sekuler) untuk menyamakan persepsi tentang terorisme yang terjadi di Indonesia. Pemerintah mempunyai kewajiban memfasilitasi adanya dialog tersebut. Dengan adanya dialog yang terbuka, maka masyarakat akan semakin mengenal budaya orang lain.

Semakin erat komunikasi antar budaya terjalin, maka semakin terampilah kita memperkirakan ekspektasi orang lain dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Jika hal ini berhasil maka pencapaian tujuan dalam kehidupan akan terwujud sesuai target. Kunci pokok yang dapat mengantarkan kita ke dalam tujuan besar itu diperlukan pemahaman akan perbedaan budaya yang ada dan mendasari latar belakang perilaku seseorang dan pemahaman akan sebuah komunikasi antar budaya diantara pelaku komunikasi tersebut. (Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat;1993)

Kesalahan komunikasi (pemahaman-red) masyarakat umum terhadap kelompok islam abangan yang berbudaya khas tersebut, akibat bombardir pemberitaan media massa tentang profil buronan teroris, sudah selayaknya disikapi dengan bijaksana. Media massa harus cooling down dalam memberikan isu teroris dengan memperhatikan dampak negatifnya bagi kerukunan masyarakat. Media massa harus bisa memilih angle berita yang jernih agar tidak memprovokasi masyarakat. Disamping itu, pemerintah dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) juga harus memberikan gambaran yang utuh tentang buronan teroris, sehingga tidak dipahami masyarakat secara parsial. Pemerintah tidak boleh melakukan penghakiman dengan menebarkan rasa takut pada masyarakat terkait gerakan terorisme. Karena penanganan terorisme adalah tugas aparat hukum, jangan sampai “kegagalan” dalam menumpas terorisme, kemudian dialihkan pada penyebaran rasa takut yang mengakibatkan masyarakat tidak bisa berpikir rasional.

Masyarakat yang bisa memahami budaya orang lain, akan menghindarkan terjadinya konflik antar budaya. Rasa empati dan simpati yang besar, akan menggiring pada toleransi antar budaya yang kuat. Sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika, untuk menuju bangsa yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur alias gemah ripah loh jinawi.


By: Dwi Firmansyah


Daftar Pustaka

Buku:
Alex Sobur, Analisi Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisi Semiotik dan Analisi Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993

Diktat:
Nani Nurani Muksin S.Sos M.Si., Diktat Komunikasi Antar Budaya,
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2003

Label:

Yang Terpinggirkan

10.28 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Tercekat
Terikat
Terpenjara
Pasrah

Hanya air mata tercucurkan
Saat menatap si buah hati mengelus perut yang hampa
Hanya emosi tertahankan
Saat menghitung butiran beras tersisa

Hanya kemarahan yang terucapkan
Saat tak ada lagi kepedulian sesama
Hanya amuk yang dapat terlampiaskan
Saat tak ada lagi jalan meretas asa

Satu usaha kebaikan telah dicoba
Satpol PP menghancurkannya
Usaha kedua dengan meminta-minta
Perda lalu menghukumnya

Tatkala tangan-tangan kekuasaan mencengkram
Lalu budaya sedekah menjadi haram
Tatkala jari-jari kapitalis hanya memilih yang terberkah
Lalu adat konsumsi menjadi sunah

Lalu kepada siapa akan bergantung?

Kaadal faqru ayyakuuna kufron…
Sesungguhnya kefakiran akan mendekatkan kepada kekafiran


Celesta, 9 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Televisi: Industri Kreatif atau Toko Kelontong Kreatif?

06.38 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Persaingan ketat industri televisi dalam memperebutkan kue iklan yang mengecil, tentunya akan menghasilkan inovasi-inovasi yang kreatif. Masing – masing stasiun tegerak untuk menciptakan program yang baru guna menjaring masyarakat untuk tetap setia di layar kaca miliknya. Beragam program muncul; reality show dengan beragam genre, konser musik dengan berbagai kemasan, sinetron dengan variasi tema, hingga tayangan berita eksklusif yang mirip reality show.

Semuanya demi rating.

Puncak industri kreatif televisi dalam memproduksi program-programnya secara inhouse dan massal, dipelopori oleh TransTV. Sejak berdiri beberapa tahun silam, televisi milik bos grup Para, Chairul Tanjung ini, memproduksi hampir semua programnya sendiri. Dari acara hiburan seperti extravaganza, program dokumenter Jelajah dan Wisata Kuliner, hingga infotainment pun dikelola sendiri. Strategi ini ternyata cukup efektif dalam memperkuat ekonomi perusahaan, karena biaya produksi bisa sangat efisien, apalagi jika memakai tenaga kerja muda yang rela dibayar standar. Terbukti hanya dalam waktu 3 tahun TransTV mampu bersaing masuk dalam 5 besar televisi nasional. Nasib ini berbeda dengan stasiun TV lain yang lahir hampir bersamaan yaitu TV7, Lativi, dan MetroTV. TV7 diakuisisi dan merger dengan TransTV lalu berganti nama menjadi Trans7. Lativi berganti kepemilikan dan berubah namanya menjadi TVOne. Sedangkan Metro tetap berada dalam posisi buncit dalam perolehan billing iklan.

Fenomena naiknya TransTV dengan format program non drama yang notabene “berbeda” dengan televisi yang sudah mapan saat itu, menjadi tren tersendiri bagi pemirsa. Tren program reality show; baik program lisensi asing maupun original karya anak bangsa sangat dinikmati oleh masyarakat yang saat itu sudah jenuh dengan tayangan sinetron dari pagi sampai malam. Program extravaganza menjadi top rating hingga kemudian ditayangkan daily, usai merger Trans7 menggebrak dengan Program dialog Empat Mata yang dibawakan secara komedi oleh artis kocak Tukul Arwana. RCTI memiliki program lisensi Who Wants to be Millionare? Dan sebagainya.

Namun ternyata eforia tersebut tidak berlangsung lama. Masyarakat kemudian dibuat muak oleh tayangan reality show yang cenderung bertema sama, contohnya format charity reality show ada berbagai judul; Bedah Rumah di RCTI, Toloooong di SCTV, Seandainya Aku di Trans TV dll. Masyarakat dibuat berpaling setelah menumukan banyaknya kebohongan dan eksploitasi terhadap orang miskin yang menjadi tokoh dalam program tersebut.

Dalam 2 tahun terakhir terjadi perubahan arah angin, masyarakat kembali menggemari program drama atau sinetron. Tema yang diangkat pun sejenis, yaitu mistis, religi dan hantu. Ketiga tema tersebut seringkali diramu dalam satu kemasan program. Kembalinya tren sinetron ini membuat stasiun televisi terpaksa mengikuti arah pasar. Rumah produksi drama yang sebelumnya sempat mati suri akibat maraknya program non drama, kembali mendapat suntikan darah segar.
Adanya larangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang melarang sinetron mistis dan hantu, membuat stasiun televisi menggeser tema nya. Maka sinetron bertema cinta, perselingkuhan, perceraian, konflik keluarga pun kembali marak. Tiadanya alternatif program non drama yang bagus, membuat program sinetron marak hingga sekarang. Hampir semua televisi memiliki sinetron bahkan beberapa stasiun televisi mengandalkan programnya dari sinetron.

Program televisi saat ini nyaris seragam. Sinetron, sinetron dan sinetron.

Fenomena ini sebenarnya sangat berbahaya bagi para pekerja kreatif televisi, karena mereka kehilangan “lapak” untuk menyalurkan kreatifitas dan karya-karyanya. Secara ekonomi, hampir 100% program sinetron yang ada adalah buah karya production house, bahkan kalo dipersempit lagi hanya sekitar 3 rumah produksi besar yang menguasai mayoritas sinetron di berbagai televisi nasional.

Fenomena dagang program ini, bukan tidak mungkin akan menghilangkan daya kreatif industri televisi. Karena stasiun televisi atas nama efisiensi akan memilih menjadi “toko kelontong” program yang ditawarkan production house. Stasiun televisi tidak harus menggaji besar para pekerja kreatif, mereka cukup membeli “barang” dari suplier yaitu rumah produksi dan menjual kembali dengan keuntungan yang cukup oleh departemen marketing.

Jika stasiun televisi kehilangan visi misi nya dan memilih menjadi kapitalis murni yang hanya menghitung untung rugi, maka menjadi “toko kelontong” adalah pilihan yang tepat. Perusahaan cukup memiliki departemen programming, marketing, on air, dan beberapa departemen pendukung dengan karyawan yang relatif sedikit. Sedangkan departemen kreatif seperti departemen produksi dan pemberitaan, yang dulu menjadi tulang punggung program televisi, bisa jadi akan diminimalkan. Karena diluar sana akan bermunculan perusahaan “content provider” yang bisa negosiasi harga dan jual beli putus tanpa ikatan dan tuntutan hukum dikemudian hari.

Ah, semoga ini hanya mimpi burukku…

Bangun! Bangun! Udah sahur nich hehehe…

Sency, 4 September 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Benarkah Nasionalisme Kita?

17.21 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.

(sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme)

Benarkah gambaran nasionalisme kita juga seperti itu? Sebuah naluri hewani yang muncul untuk mempertahankan diri? Nasionalisme yang notabene lemah dan bermutu rendah? Sebuah kekuatan yang akan sirna, jika lawan sudah pergi?

Ya, jujur saja saat membaca definisi dari wikipedia itu saya ingin tertawa.

Menertawakan diri sendiri yang terlalu bersemangat berteriak “ganyang Malaysia”, karena klaim tari pendet nya melalui iklan di Discovery Channel.

Menertawakan media massa yang setiap hari memprovokasi masyarakat untuk menyerang negara tetangga karena “tindak pencurian” nya yang sudah berulang kali.

Menertawakan tayangan heroik saat kapal TNI AL mengusir kapal perang Malaysia dalam kasus Ambalat.

Kenapa harus tertawa?

Karena semua usaha yang kita lakukan menjadi sia-sia;
kita teriak "ganyang malaysia", tapi disana ada 2 juta TKI yang bergantung hidup.
Kita tuntut "pencurian budaya", tapi kita sendiri tidak melestarikannya.
Kita jaga wilayah perbatasan, tapi penghuni pulau tersebut lebih memilih bergabung dengan negara lain.

Setiap hari kita disusupi pemikiran oleh para pengamat, digiring opini oleh media massa, dan dipaksa mengakui bahwa negara tetangga kita adalah jahat, maling, dan culas. Tapi kita tidak pernah bisa menghentikan besarnya animo masyarakat kelas bawah yang ingin bekerja disana menjadi TKI, kita tidak pernah bisa menghentikan hasrat konsumsi dengan berutang KPR di bank-bank milik negeri jiran itu, dan kita juga tidak pernah bisa menolak milyarder-milyarder mereka untuk menguasai saham-saham di BUMN.

Lalu nasionalisme seperti apa yang kita miliki?

Di bidang olahraga, Timnas sepakbola kita adalah contoh paling tepat untuk menggambarkannya; semangat para pemain untuk memenangkan Timnas PSSI dilakukan dengan cara memprotes keputusan wasit yang memberi hukuman pinalti atau bahkan menyerangnya, bukan dengan berlatih mengasah kemampuan sebaik mungkin, dan berusaha menyerang pertahanan lawan untuk memasukkan gol. Di bangku penonton, semangat nasionalisme digelorakan dengan menyerang suporter Timnas negara lain, jika kita kalah dalam pertandingan internasional. Tapi usai pertandingan, tidak satu pun pemain dan pengurus PSSI yang instropeksi diri, lalu berniat membangun Timnas sepakbola yang disegani minimal di kawasan Asia Tenggara.

Di bidang budaya, semua media massa mengangkat isu “pencurian” tari pendet, terkait tayangan iklan promosi Malaysia di discovery channel, ratusan pemuda dari berbagai daerah turun ke jalan berdemonstrasi lalu puluhan penggiat seni, pengamat budaya, hingga presiden turut angkat bicara. Semuanya memamerkan nasionalismenya dengan berteriak olah kata. Namun seiring waktu berlalu, pariwisata kita tetap stagnan, pagelaran tari tradisional tetap sepi penonton, minim sekali generasi muda yang mau belajar budaya lokal, tak ada sedikit pun niat untuk mempertahankan dan mengembangkannya. Seni seolah menjadi milik turis, dan bangsa asing yang mengagumi keindahannya.

Di bidang politik, isu Ambalat adalah berita terhangat dan terpanas hingga sekarang. Tayangan heroik saat kapal TNI AL mengusir kapal perang Malaysia dari perairan NKRI masih sering diulang-ulang oleh televisi. Hilangnya Sipadan dan Ligitan dalam sengketa arbritasi internasional menjadi trauma tersendiri. Kita lupa bahwa kekalahan kita dalam sengketa wilayah tersebut adalah karena tiadanya perhatian terhadap pulau-pulau di perbatasan. Fakta menunjukkan bahwa Malaysia sudah membangun kawasan wisata di kedua pulau itu, dan semua penduduknya juga ber KTP negara itu. Ketika warga penghuni sudah menentukan pilihan hidupnya, hukum politik hanyalah soal garis batas, bukan bagaimana menyejahterakan rakyat.

Disaat nasionalisme orang lain ditunjukkan dengan menunjukkan hegemoninya atas negara lain, dengan penguasaan ekonomi dan militer. Para elit politik kita masih sibuk menghancurkan negara dengan korupsi; mengganjal berlakunya UU Tipikor, merusak kewenangan KPK dari berbagai sisi, hingga mencegah masuknya para idealis pemberantas korupsi kedalam sistem audit negara seperti BPK.
Ya, nasionalisme era reformasi seolah sedang mencapai titik puncak nya; dengan mengatakan bahwa harta negara adalah harta pribadi kita juga.

Nasionalisme kita baru sebatas kata-kata, hanya sekedar wacana untuk membangun, belum sampai tahap melangkah.

Mungkin kita harus sejenak menoleh ke belakang, menyimak Pidato Bung Karno dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi”, yang dimuat di Suluh Indonesia tahun 1928

“Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme jang timbul dari kesombongan belaka; ia adalah nasionalisme jang lebar,-ia adalah nasionalisme jang timbul dari pada pengetahuan atas susunan dunia dan riwajat; ia bukanlah jingo-nationalism atau chauvinism, dan bukanlah suatu copy atau tiruan pada nasionalisme Barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, jang menerima rasa hidupnja itu sebagai suatu wahju dan mendjalankan rasa hidupnja itu sebagai suatu bakti…Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke Barat-an jang…adalah “ suatu nasionalisme jang menjerang-njerang, suatu nasionalisme jang mengedjar diri sendiri, suatu nasinalisme perdagangan jang untung atau rugi”… Nasionalisme kita adalah nasionalisme jang membuat kita menjadi perkakasnja Tuhan, Nasionalisme kita menjadi hidup dalam roch.


Sency, 2 September 2009

Dwi Firmansyah

Label:

Cerpen: Dia Tidak Salah, Kawan!

08.43 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

“Hamid ditangkap polisi”, ungkap Azra pelan.
“Kapan dan kenapa?”, tanyaku sambil menatap wajahnya..
“Kemarin malam di musholla dekat rumahnya, dia dituduh terlibat aksi pengeboman sebuah hotel beberapa bulan silam”, Azra kembali menatapku dengan mata menyala.
“Ah, tidak mungkin. Apa yang bisa dia lakukan, hatinya yang halus dan perasa itu tidak mungkin mampu melakukannya”, protesku sambil sejenak menatap mata Azra yang menahan amarah.

Aku kembali membayangkan kebersamaan kita dulu, tatkala kami bertiga masih duduk di bangku Madarasah Tsanawiyah, di sebuah pesantren kecil di kota Solo, Jawa Tengah. Ya, hampir 20 yahun berlalu, tapi kenangan itu masih tertancap kuat dalam memoriku. Kami datang dari tiga daerah yang berbeda, aku dari Pemalang, Azra dari Semarang dan Hamid asal Sragen, sebuah kabupaten kecil tak jauh dari Solo. Kami disatukan oleh kamar di asrama yang dipenuhi sekitar 17 santri dari berbagai daerah. Kami bertiga memilih tidur berjejer dengan beralaskan kasur lipat yang tipis di pojok kamar, diantara lemari-lemari yang berjajar. Di kamar seluas 6 X 4 itu lah kami saling berbagi cerita tentang keluarga masing-masing, tentang alasan memilih sekolah di pesantren dan jauh dari orang tua, tentang hukuman disiplin yang berat dan seringkali membuat kita ingin keluar dan lain-lain. Kebersamaan itulah yang menguatkan kita untuk bisa menyelesaikan pendidikan ini.

“Bagaimana ceritanya, dia bisa dituduh terlibat dalam aksi teror itu?” Tanyaku penasaran.
“Entahlah, tapi menurut cerita ayahnya, ada seorang kawan Hamid yang tertangkap polisi mengaku bahwa Hamid juga mempunyai peranan penting dalam peristiwa itu.” Kata Azra.
“Siapa kawan Hamid itu, dan bagaimana dia bisa mengatakan bahwa Hamid terlibat dalam kasus itu, apakah polisi menemukan bukti-buktinya?” Tanyaku kembali.
“Informasinya masih simpang siur. Kata ayah Hamid, kawannya itu juga dipaksa mengaku untuk mencari jalinan pelaku yang kata polisi memiliki ideologi yang sama dengannya. Karena terus disiksa, terpaksa dia berbohong dan menyebut nama Hamid. Karena hanya dia satu-satunya sahabat dekatnya yang memungkinkan polisi percaya bahwa mereka mempunyai hubungan dekat yang kuat dan saling melindungi.” Azra menjelaskan dengan emosi.

Ingatan akan masa lalu kembali membayang di pelupuk mata, saat hari Jumat pagi tiba, yang berarti adalah hari libur sekolah. Jumat adalah hari yang paling kita nanti-nantikan. Setelah 6 hari terkurung dalam tembok tinggi yang tidak memungkinkan kita untuk melompatinya, kita menemukan kebebasan sejenak. Berbaur dengan masyarakat, melihat-lihat suasana kota solo, atau sekedar jalan-jalan mencari buku bekas di belakang Sriwedari dengan sekali naik bus umum.

Kami mempunyai ritual rutin setiap hari Jumat, usai sholat subuh di masjid, kami menyiapkan celana training, kaos oblong dan sepatu kets untuk berlari memutari bundaran Manahan yang terletak sekitar lima kilometer dari Pabelan, tempat pesantren kami berada. Lalu pulangnya kami tidak berlari di jalan raya, tapi berjalan menyusuri jalanan kampung yang masih asri, sambil menikmati indahnya perkebunan tebu yang dulu menjadi komoditas andalan para petani di sekitarnya. Terkadang kita iseng, masuk ke dalam kebun tebu sambil bermimpi suatu saat akan menjadi tuan tanah yang bisa menjadi penyuplai pabrik tebu terbesar di Karanganyar itu. Atau memetik pucuk-pucuk bunga tebu, sambil membayangkan kampung halaman yang sudah lebih dari 6 bulan kita tinggalkan. Atau kalau ada keberanian, kita meminta pada para petani agar diberikan sebatang pohon tebu, untuk digerogoti rasa manisnya. Ah, kebersamaan yang kuat.

“Lalu bagaimana kondisi Hamid?” tanyaku lagi.
“Kondisinya batinnya baik-baik saja, walau dia agak syok dan bingung. Tapi dia cukup kuat untuk menerima fitnah dari temannya tersebut, dan berusaha memahami alasan sahabatnya untuk turut melibatkannya dalam kasus teror yang sama sekali tidak dipahaminya. Tapi fisiknya lumayan drop, wajahnya sedikit membiru, sedangkan kakinya susah digerakan karena dibalik celana panjangnya yang menggantung tampak bekas-bekas pukulan benda tumpul melukai organ dalam tulang-tulangnya yang rapuh.” Azra kembali menahan emosinya.

Hamid dan Azra adalah dua sahabat dekat yang saling mengisi, Hamid bertubuh mungil dengan otak yang cerdas, namun sensitive dan pendiam. Sedang Azra adalah figure “preman” dalam pesantren, berkali-kali mendapat hukuman disiplin dari pengurus, dari yang dibentak-bentak senior, dihukum pukul pakai penggaris, hingga digunduli rambutnya, sebagai hukuman tertinggi untuk mempermalukan santri agar tidak mengulang kesalahan, sudah berkali-kali dijalaninya. Azra yang emosionil pada masa itu adalah pelarian dari konflik keluarga dirumahnya, yang membuatnya memilih untuk masuk pesantren daripada setiap hari harus menyaksikan “pertempuran kata” antara ibu bapaknya. Rasa kekeluargaan yang didapat di pesantren itulah yang membuat Azra merasa diterima dan berusaha melindungi ikatan kecil ini dari gangguan luar.

Hamid adalah pahlawan kecil bagi Azra. Dengan otak brilian dan kesabaran Hamid mengajar lah yang membuat Azra sukses menyelesaikan deadline “belajar ngaji” sebelum dikeluarkan oleh sekolah karena tidak bisa membaca Alquran hingga pertegahan semester pertama. Jiwa guru Hamid lah yang membuat nilai-nilai Azra lumayan bagus saat mengerjakan PR, walau hancur saat ujian akhir.

Kelulusan sekolah tidak menghalangi persahabatan kami terputus begitu saja. Aku meneruskan sekolah di sebuah universitas negeri di Yogyakarta, lalu bekerja di perusahaan swasta di Jakarta. Hamid memilih tetap tinggal di Solo, memperdalam ilmu agama dan bekerja menjadi dosen di sebuah universitas islam swasta, sambil mendirikan pesantren kecil. Sedangkan Azra adalah salah satu mantan aktivis mahasiswa yang cukup ternama, dan kini meneruskan karirnya sebagai pengurus sebuah partai politik.

“Hamid tidak bersalah. Dia bukan teroris!!” tegas Azra pelan.
“Aku tahu betul karakternya, dia tidak mungkin melakukan hal-hal seperti itu. Jangan-jangan benar kata orang-orang ku, dia sengaja dikorbankan untuk memancingku keluar. Iya, aku ingat beberapa bulan lalu, seorang lawan politikku menekanku untuk diam, dan dia bilang akan menghancurkan diriku dan orang-orang terdekatku, jika aku tetap bicara.” Azra terdiam sejenak. “Ya pasti ini ulah si jahanam itu. Dia sengaja menyuap polisi agar menangkap Hamid dalam kasus terorisme, supaya dalam pengusutan nanti, dia bisa memaksa Hamid untuk membuat pengakuan, terkait kedekatan kita dulu.”

“Kau lihat hasilnya, kawan. Sekarang pesantren yang dipimpin Hamid telah bubar, orang tua murid mana yang berani memasukkan anaknya untuk dididik seorang teroris. Jangan –jangan nantinya akan dijadikan “pengantin”. Keluarganya terpaksa mengungsi, menghindari sindiran dan amarah warga, yang dulu sangat menghormatinya dan sekarang memandang dengan ketakutan. Seolah rumah-rumah mereka akan diledakkan.”

Aku kembali membayangkan sahabat mungilku itu, yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan tartil setiap ba’da magrib. Aku teringat bagaimana dia dengan sabar mengajari kami ilmu fiqh, berdiskusi tentang halal haram, sampai mendengar keluhan kami yang terlambat dapat kiriman orang tua. Sosok sahabat yang sabar dan lurus, dan kini harus menanggung beban berat yang mungkin tidak akan pernah dibayangkannya seumur hidup.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” Tanyaku.
“Aku sudah menyiapkan pengacara terbaik untuk membela Hamid. Dan aku juga sedang menyiapkan orang-orang terbaikku untuk melakukan “aksi” di kota lain. Sekedar menunjukkan pada polisi, bahwa Hamid bukanlah otak pelaku teror tersebut, dia hanyalah kambing hitam. Karena ada kelompok lain yang lebih professional dan menjadi pelaku sebenarnya dari teror itu.” Papar Azra.

“Maksudmu…?” Seruku.

“Ya, hanya dengan cara itu lah, aku bisa membebaskan Hamid dari segala tuduhan…”



Celesta, 31 Agustus 2009


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label: