Effort, dimanakah kau berada??

23.23 / Diposting oleh Phyrman /

Seorang supervisor di sebuah perusahaan swasta mengeluhkan kinerja anak buahnya yang lebih banyak berdiam diri daripada bekerja. Para buruh datang ke kantor, absen, lalu mengerjakan tugas yang diberikan atasan secara tertulis, tanpa inisiatif, tanpa semangat, mungkin hanya 40 persen dari kemampuan sesungguhnya. Jika tidak ada tugas secara langsung, mereka memilih berdiam diri di smoking room, atau sengaja bergerombol ngrumpie, intinya menghindar dari pandangan atasan, karena takut diberi tambahan beban kerja.

Dan kemalasan yang tadinya hanya dimiliki oleh sebagian kecil karyawan saja, ternyata bergerak menyebar sangat cepat, satu per satu karyawan terkena virus malas, sehingga hanya menyisakan segelintir orang saja yang masih bersemangat. Namun si karyawan rajin ini pun mulai ragu akan “kerajinan” nya. Disatu sisi dia sering disindir kawannya karena dianggap cari muka dan sok kecentilan, disisi lain dia juga mulai ragu terhadap atasannya dan mulai tidak yakin bahwa “rajin” nya akan diapresiasi dengan benar.

Si supervisor bingung menghadapi tingkah laku anak buahnya yang jumlahnya banyak dan seolah kompak dalam kemalasan, sementara si buruh juga mulai menikmati ke”santai”annya dalam bekerja karena merasa kehilangan spirit. Sang atasan ibarat ibu yang kehilangan anak-anaknya dan jadi frustasi, sedangkan sang anak buah ibarat itik yang kehilangan induknya, kehilangan arah tujuan.

Benarkah semua buruh itu malas? Kenapa menjadi malas, padahal ditahun-tahun sebelumnya mereka adalah tim yang terkenal tangguh kinerjanya, dan diakui kesolidannya oleh perusahaan lain. Apa yang merubah tim yang sangat tangguh di masa lalu, tiba-tiba berubah menjadi tim loyo dan tanpa gairah.

Kalau dilihat secara umum, sebuah tim kerja biasanya terbagi menjadi 3 sifat kelompok, yang prosentase nya berubah-ubah tergantung situasi.

Pertama, kelompok berdedikasi tinggi, bagi orang-orang ini pekerjaan adalah tantangan yang harus ditaklukkan, kerja menjadi hobi yang selalu menggairahkan. Terhadap kelompok ini atasan tidak perlu berbuat banyak, cukup mengapresiasi kinerja mereka dengan benar dan tidak menjadikannya sebagai politisasi kerja bagi kepentingan diri. Atasan bersikap fair, dan anak buah pun akan bersikap dua kali lebih fair. Karakter kelompok ini biasanya diisi oleh professional yang mumpuni dibidangnya, sehingga akan banyak tawaran “side job” dari perusahaan lain. Jika perusahaan tidak mampu memberi income yang sesuai, sang atasan cukup mengingatkannya agar tetap professional dalam membagi waktu kerja dan side job.

Kedua, kelompok biasa-biasa aja, biasanya jumlahnya mayoritas dalam sebuah tim, yaitu jenis karyawan yang memiliki kemampuan individu yang standar, kinerjanya sangat tergantung kemampuan atasan dalam mengelolanya. Jika dikelola dengan benar, mereka akan berubah menjadi karyawan yang berdedikasi tinggi, mau belajar meng upgrade skill, tertarik untuk berkembang kearah yang lebih tinggi, dan merasa bangga jika berhasil menyelesaikan tantangan dari atasan. Namun, tipe ini bersifat sangat labil karena jumlahnya banyak, jika mereka merasa tidak dipedulikan, tidak diapresiasi, bisa berubah menjadi karyawan yang malas. Kemampuan atasan dalam berkomunikasi dan memahami karakter tiap individunya sangat penting. Terobosan atasan untuk memfasilitasi proses pengembangan kemampuan diri karyawan sangat dibutuhkan, karena tipe ini cenderung bukan orang yang mampu belajar secara otodidak. Intinya kelompok tipe ini adalah sebuah emas yang belum terasah, sehingga membutuhkan dorongan yang besar untuk menggiringnya maju.

Ketiga, kelompok pemalas, tipe ini memang sudah dari lahirnya menjadikan kerja hanya sebagai sumber penghasilan. Baginya hanya mengerjakan tugas pokok yang dibebankan, itu sudah cukup. Kelompok ini biasanya berkarakter gampang mengeluh, suka menuntut, tidak mau belajar, susah menerima masukan orang lain dan terkadang sok tahu karena merasa sudah berpengalaman. Tapi kelompok ini sebenarnya cemas dengan dirinya sendiri, terkadang dia gelisah melihat persaingan dalam kelompok dan merasa kalah. Dia juga takut akan menjadi korban jika ada perampingan karyawan perusahaan. Titik takut dan cemas inilah yang sebenarnya bisa memaksa mereka mengatasi kemalasannya. Sedikit ancaman akan bisa merubahnya menjadi karyawan yang berkinerja standar, sehingga seorang atasan harus pandai-pandai memanfaatkan celah ini


Lalu bagaimana jika kelompok pemalas ternyata menjadi mayoritas?? Dalam konteks ini perusahaan harus intropeksi diri, karena secara teori, jumlah mayoritas harusnya diisi karyawan berkinerja standar. Terjadinya pergeseran prosentase, menggambarkan ada situasi yang salah dalam kehidupan sosial kerja. Bagaimana mungkin karyawan yang tadinya berdedikasi tinggi tiba-tiba kehilangan effort kerja, padahal tipe ini biasanya sangat cerdas dalam membaca situasi. Hampir pasti ada yang salah kelola dalam manajemen, yang berakibat pada hilangnya kenyamanan kerja, runtuhnya semangat teamwork, dan rusaknya kebanggaan terhadap institusi.

Hilangnya effort (usaha untuk mencapai hasil terbaik) kerja karyawan biasanya disebabkan oleh beberapa hal;
1. Gaji dibawah standar,
dibawah standar bisa diartikan bermacam-macam; memang dibawah harga pasar yang berlaku dibanding perusahaan lain, dianggap tidak sesuai dengan beban kerja yang diberikan, atau dibanding profesi lain yang sejenis terjadi perbedaan yang signifikan.
2. Sistem karir yang tidak jelas,
Promosi karir merupakan hal yang diidam-idamkan karyawan, tapi terkadang sebuah perusahaan merusak sistem itu dengan melakukan promosi berdasarkan kedekatan atau kelompok tanpa ada kriteria yang jelas. Seorang karyawan yang berkali-kali kehilangan masa promosi dikarenakan tiadanya kesempatan tentu akan merasa jenuh.
3. Suasana kerja yang tidak nyaman
Seringkali kita menemukan karyawan yang tetap loyal dan bersemangat kerja kendati tidak mendapat penghasilan yang besar, dan penyebabnya adalah mereka sangat menikmati suasana kerja yang nyaman, kekerabatan yang kuat dan tim yang saling mendukung. Ketika kenyamanan itu hilang, maka hilang pula effort kerja sehingga mereka mulai berpikir tentang kecilnya gaji dan karir yang stagnan.

Banyak gambaran bagaimana pergeseran itu terjadi, contohnya dalam sebuah perusahaan yang mapan dan berdiri cukup lama biasanya memiliki sistem yang sudah baku dan disepakati oleh karyawan. Sehingga perubahan yang terjadi hanya pada tataran konsep suatu program atau produk, tidak lagi mengatur bagaimana cara karyawan bekerja. Kenyamanan bekerja bisa langsung hilang, jika perusahaan merubah sistem lama dengan sistem baru secara mendadak tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu, dan akibatnya karyawan kehilangan orientasi kerja. Apalagi jika perubahan itu dilakukan dengan perubahan struktur organisasi, dengan diiringi pergantian jabatan yang massal. Jika hal itu dilakukan melalui penilaian yang benar dan bertahap, mengkin riak yang terjadi akan mudah diantisipasi. Namun jika terjadi politisasi di perusahaan, hampir dipastikan orang-orang yang tergusur akan kecewa dan diam-diam membuat kelompok tandingan. Ini yang sangat berbahaya, disatu sisi perusahaan masih membutuhkan kemampuan mereka dan tidak punya alasan untuk membuangnya, disisi lain para pejabat baru juga kesulitan untuk menjalin komunikasi positif dengan mereka.

Ketidaknyamanan kerja yang akan muncul, rasa saling curiga antar karyawan, saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan. Situasi ini jika dibiarkan terus menerus akan menggerogoti semangat para karyawan yang lelah melihat pertikaian yang terjadi, sehingga mereka menjadi itik yang kehilangan induknya, tanpa perhatian, tanpa apresiasi, tanpa orientasi. Kehilangan orientasi itulah yang merusak effort kerja karyawan, mereka merasa hanya dijadikan pion bagi kesuksesan atasan sehingga memilih menjadi pemalas, toh mereka berpikir, para bos juga tidak melihatnya kok, misalpun melihat besok juga akan lupa lagi karena sibuk dengan urusannya sendiri.

Hilangnya effort kerja akan mempengaruhi out put yang dihasilkan, kinerja yang rendah akan menghasilkan produk yang rendah pula. Produk asal jadi tanpa kualitas, tentu akan membuat konsumen berpaling menggunakan jasa perusahaan, akibatnya perusahaan tidak mendapat keuntungan dan berpotensi merugi. Jika perusahaan rugi maka akan hilang bonus, kenaikan gaji, hingga efisiensi budget dan karyawan. Efisiensi akan menambah ketidaknyamanan dalam bekerja, sehingga output pun akan semakin rendah, output yang rendah akan membuat perusahaan tambah rugi, demikian seterusnya hingga merusak sistem yang ada.

Perubahan harus dilakukan, komunikasi, koordinasi dan reorientasi visi misi menjadi hal yang urgent, guna mengembalikan effort kerja yang sempat menghilang. Komunikasi dua arah harus dibangun dalam kesetaraan, yang salah dan merusak harus rela diganti atau dirubah, yang tidak mampu harus dikembalikan sesuai bidang kemampuannya, yang potensial harus diapresiasi kembali, harus ada kesamaan persepsi dalam menentukan langkah kedepan. Jalankan sistem dengan benar sesuai job desk nya, dan pastikan hal itu berjalan sesuai aturan, hilangkan kepentingan pribadi dan pertemanan dalam penilaian kinerja. Yang gagal harus rela mundur untuk diganti dengan yang lebih berpotensi. Hapuskan dendam, pretensi politik, dan hasrat untuk saling menghancurkan. Buka kembali kran keterbukaan dan keikhlasan untuk kembali berjuang. Dan terpenting adalah memenuhi kebutuhan minimal karyawan, sehingga bisa berkonsentrasi pada perusahaan, bukan memikirkan penghasilan tambahan diluar sana.

Mungkinkah itu bisa mengembalikan effort yang hilang?? Entahlah hehehe….


Celesta, 20 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar