Antiklimaks Hasil Debat Capres/Cawapres

20.27 / Diposting oleh Phyrman /

Usai menyaksikan debat capres dan cawapres beberapa hari lalu sebelum pencontrengan, beberapa teman ngobrol berdiskusi baik secara langsung maupun via facebook, intinya mereka mencoba mencari gambaran dari opini orang lain terkait isi debat, kepiawaian kandidat, hingga program-program yang ditawarkan dalam debat. Sebagian bersepakat kendati debat tersebut masih jauh dari harapan, tapi cukup sebagai pembuka sebuah tradisi baru dalam berdemokrasi di Indonesia.

Dan sebagian kawan juga bersepakat bahwa ada satu sosok kandidat yang cukup kritis dan piawai dalam moment adu argumentasi lima tahunan itu. Sebagian kawan mengaku mencoba bersikap logis dan kritis usai menyaksikan debat, sehingga yang tadinya masih sebagai swing voter berubah menjadi pemilih tetap bagi kandidat yang berslogan lebih cepat lebih baik itu.

Namun usai pencontrengan, ternyata hasil quick count yang muncul sangat diluar dugaan. Kandidat yang kita anggap paling piawai dalam debat ternyata mendapat hasil yang sangat kecil, jauh dibawah prediksi beberapa lembaga survey sebelumnya, dan jauh dari perkiraan jumlah dukungan partai koalisinya. Ini sangat menarik, karena ternyata debat terbuka seperti itu belum bisa merubah opini masyarakat dalam memilih kandidatnya.

Iseng-iseng browsing di internet, saya menemukan tulisan Henry Subiakto, berjudul Kampanye Capres dan Budaya Komunikasi, yang mengatakan bahwa kandidat yang piawai berdebat belum tentu memperoleh simpati publik. Dan ternyata prediksinya terbukti benar.

Eforia Obama yang jago pidato dan piawai dalam adu argumentasi, ternyata tidak cukup mampu menyihir masyarakat Indonesia untuk merubah budaya politiknya. Debat capres/cawapres yang cukup heboh dengan moderator yang hebat, ternyata belum bisa merubah pandangan masyarakat terhadap pilihannya.

Menurut Henry Subiakto, budaya konteks tinggi (high context culture) dalam berkomunikasi masih sangat kental di masyarakat Indonesia, dalam budaya ini konteks atau budaya nonverbal diberi makna yang sangat tinggi. Masyarakat budaya ini kurang menghargai ucapan atau bahasa verbal. Komunikator lebih suka berbicara berputar atau istilah gaulnya “ngeles” dan menghindari substansi dalam menyampaikan pandangannya. Penyampai pesan akan memberikan simbol-simbol tertentu yang dianggap lebih santun dan berharap orang lain akan memahami keinginannya, tanpa harus mengucapkan inti permasalahan yang dimaksud.

Budaya konteks tinggi mungkin sangat dekat dengan budaya sebagian masyarakat Indonesia, dimana orang lebih menghormati dan bersimpati pada pemimpin yang halus, tidak frontal dalam menyampaikan keinginannya, dan tidak menjatuhkan lawan bicara dalam berkomunikasi.

Bahasa-bahasa santun seperti “kalau diberi amanat oleh rakyat” sebagai pengganti istilah “saya akan mencalonkan diri”, akan lebih diterima dihati masyarakat. Bahkan senyuman lembut saat menjawab kritikan kandidat lain akan lebih menimbulkan simpati masyarakat, dibanding jawaban yang keras dan menyerang walau sebenarnya logis dan benar.

Kalau kita review jauh-jauh hari sebelumnya, banyak masyarakat yang menyayangkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X secara terang-terangan mencalonkan diri menjadi calon presiden RI. Masyarakat jawa yang tadinya manut dan nurut pada rajanya, pada kondisi tertentu malah berubah kehilangan simpatinya karena menganggap Sultan sangat ambisius dalam mengejar kekuasaan.


Coba sekarang bandingkan dengan situasi debat Capres/Cawapres di Amerika. Hasil survey kandidat dari partai republik langsung menurun tajam, gara-gara calon wakil presiden Sarah Palin gagal menjawab materi debat dengan benar. Sebaliknya, kepiawaian Barack Obama dalam menguasai panggung dialog langsung mengerek perolehan suaranya.

Dalam berkomunikasi, masyarakat Amerika memiliki budaya konteks rendah (low context culture) dimana bahasa verbal amat dihargai untuk mengungkap ekspresi dan keinginan mereka. Karenanya kemampuan berorasi, pidato, berdebat dan berbicara didepan publik menjadi hal sangat penting dalam meraih dukungan masyarakat. Dalam kampanye presiden, perdebatan lewat televisi merupakan momentum yang sangat menentukan bagi keberhasilan capres/cawapres.

Di Indonesia, kampanye melalui debat di televisi menjadi hal yang unik, dimana seseorang yang menguasai debat, bisa menjawab pertanyaan moderator secara logis, bahkan mampu menyerang dan mengkritisi pernyataan kandidat lain, justru kehilangan simpati masyarakat karena berkesan ingin menjatuhkan dan mempermalukan calon lain.

Benturan antara budaya masyarakat yang santun dan mudah berbelas kasihan melihat orang yang terdesak atau kalah, dengan sistem kampanye melalui debat televisi yang cenderung saling menjatuhkan dan mengalahkan, mungkin akan menjadi antiklimaks. Karena yang kalah berdebat bisa jadi akan meraih dukungan besar dari masyarakat, sebaliknya si pemenang debat hanya dianggap sebagai orang yang pandai mengumbar janji saja. Kandidat boleh jadi piawai berdebat, tapi rakyat tetap punya pilihannya sendiri.

Hah, masak sich hanya dapat suara segitu??? hehehe...


Celesta, 9 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar