Mourinho, Sang Peracik Kesempatan

06.37 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Ada dua hal yang menginspirasi saya untuk ikutan nimbrung berbagi cerita tentang pentingnya memberi sebuah kesempatan. Yang pertama adalah curcol (curhat colongan-red) dari seorang sahabat yang saya akui kehebatan dan profesionalitas nya dalam bekerja dan yang kedua adalah artikel dari penulis gaya hidup idola saya, Samuel Mulia, di harian Kompas 9 Mei 2010.

Seorang sahabat saya dalam suatu kesempatan bercerita tentang sistem di kantornya, yang menurutnya agak aneh. Mendengar kata aneh, yang berkonotasi dengan nyleneh, saya langsung serius tertarik mendengarnya. Di kantornya, kawan saya merasa sudah mencurahkan segenap karya dan rasa dengan titik keringat terakhir untuk memberi yang terbaik bagi perusahaan, tetapi selalu tidak pernah diberi kesempatan untuk promosi jabatan. Dan ketika dia berusaha menanyakan ke atasan, didapat jawaban yang cukup mengiris hati; “soalnya kamu tidak pernah mengeluh ke saya untuk naik jabatan, sedangkan yang lain sudah berulangkali curhat. Jadi saya pikir kamu sangat menikmati jabatanmu selama ini.

Lho, kok bisa?? Bagaimana mungkin sebuah kesempatan promosi jabatan hanya didasarkan pada curahan hati, bukan pada kemampuan? Seseorang yang tidak pernah mengeluh terhadap pekerjaannya, demi atas nama profesionalitas, kemudian dituduh “menikmati” pekerjaannya sekarang, sehingga tidak diberi kesempatan bersaing mencapai promosi. Sementara orang lain yang selalu mengeluh dengan pekerjaannya, malah lebih diapresiasi hanya dengan alasan biar tidak mengeluh lagi.

“Persaingan kesempatan” tertutup bagi para professional yang mau belajar, tetapi hanya milik para pengadu dan pencurhat. Sebuah nepotisme terselubung yang mendasarkan pada kedekatan pribadi. Sistem nepotisme hanya akan melahirkan persaingan tidak sehat antar karyawan dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Nah lho, kalo sistemnya begini bukannya malah enak, jadilah si pengeluh agar bisa dapat kesempatan promosi hehehe…

Samuel Mulia menulis tentang ke”iri”an hatinya terhadap Roberto Cavalli, perancang mode Italia, yang berani mengelar festival mode dengan model baru dan membuat iklan produk nya dengan lebih memilih memakai jasa fotografer baru. Samuel dengan jeli mengkritisi kebiasaan mayoritas orang, yang dia representasikan dengan dirinya, yang ketika menjadi pemimpin lebih suka memilih orang-orang terbaik yang sudah “jadi” daripada memberi kesempatan kepada orang ”belum ternama” untuk berkembang. Roberto Cavalli disebutnya sebagai orang yang mau bekerja keras membabat hutan untuk menemukan batu berlian mentah, bukan tipe orang yang hanya berani memamerkan berlian polesan.

Soal menyoal menjadi pemimpin yang baik, saya langsung teringat allenatore idola saya, Jose Mourinho, pelatih tim sepak bola Inter Milan yang saat ini sedang berusaha meraih gelar treble. Kendati merupakan sosok pelatih kontroversial dan dibenci media, tetapi saya menyukainya karena kecerdasannya dalam meracik tim. Mr Mou mampu merubah anak buahnya dari bukan siapa-siapa menjadi tim yang disegani lawan. Dia sosok pelatih yang tidak peduli bagaimana kualitas awal pemain-pemainnya, karena baginya, salah satu tugas pelatih adalah merubah dari yang “tidak berkualitas” menjadi “berkualitas”. Dalam perjalanan karirnya, Mr Mou mampu menyulap FC Porto, sebuah tim kecil asal negerinya Portugal, menjadi juara Liga Champion, yang biasanya merupakan langganan milik tim sepakbola kaya Eropa, seperti MU, AC Milan, atau Real Madrid.

Satu hal yang menginspirasi dari sosok Mourinho adalah keberaniannya melawan mainstream, dan kenekatannya melawan keinginan pihak lain yang sering mempengaruhi sebuah kebijakan. Dia tidak peduli citra, yang dia pedulikan adalah karya. Contoh kasus adalah ketika salah satu pemainnya, Mario Balotelli, mendapat kecaman dari para internisi (fans Inter Milan-red) saat bermain buruk dan membuang kostum usai pertandingan, sehingga diserang oleh salah satu pemain Inter dan nyaris dikeroyok oleh internisi di luar stadion. Saat itu pendukung Inter mendesak Mourinho agar mendepak Bolatelli dari skuad, karena dianggap menghina dan melukai perasaan internisi.

Namun Mourinho tetaplah Mourinho, sosok yang berani melawan tekanan luar, seberapapun besar desakan itu. Mou cuek dan membela Bolatelli dengan memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri dan agar bisa menjadi bagian dari skuad inti. Sang Manajer tetap memberinya kesempatan untuk bermain guna mengembalikan potensi Balotelli ke permainan terbaiknya. Walhasil, dalam pertandingan melawan Chievo, Balotelli membayar kepercayaan Sang Boss, dengan turut menyumbangkan gol penting dalam memuluskan usaha meraih gelar scudetto Serie A Italia.

Pun ketika salah satu striker terbaiknya, Zlatan Ibrahimovic, yang telah turut menghantarkan Inter meraih scudetto 3 kali berturut-turut, lebih memilih hengkang ke klub terbaik dunia saat ini, FC Barcelona, dan dijual dengan harga fantastis. Mou tidak tergoda menghambur-hamburkan uang hasil penjualan tersebut untuk membeli pemain-pemain terbaik dari klub lain, guna memperkuat skuad, tapi lebih memilih memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang sudah dimilikinya untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi tim. Dan hasilnya adalah Inter Milan mampu menumbangkan FC Barcelona dalam semifinal Liga Champion.

Keberanian memberikan kesempatan yang sama, akan melahirkan persaingan yang sehat bagi anak buahnya, semua orang akan terpacu untuk menunjukkan kinerja terbaiknya, jika diberi kesempatan untuk tampil. Dengan memberi kesempatan, sang pemimpin cukup berdiri memantau dan sesekali bertepuk tangan melemparkan pujian bagi anggota tim yang sukses berkontribusi.

Seperti sosok Mourinho yang ekspresif bertepuk tangan dari pinggir lapangan, kala para pemainnya berpesta gol ke gawang lawan.
Forza Inter Milan!!!
Fiva Mourinho!!!

Celesta, 11 Mei 2010

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com