Bermimpi yang (tidak) Membumi…

12.57 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Ada satu kalimat inspiratif dari novelis Andrea Hirata yang banyak menyentuh hati penggemarnya; “Dan bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpimu…”. Sebuah kalimat yang menjadi tag line bagi karyanya paling populer Laskar Pelangi. Kumpulan kata yang sangat kuat dan mampu membakar semangat hati yang mulai membeku.

”Bermimpi” menjadi kata paling indah untuk diucapkan, paling nikmat untuk dijalani dan paling mudah untuk dipenuhi. Karena kita cukup berdiam sejenak, memejamkan mata, melepaskan segala beban hidup, membayangkan apa yang kita inginkan, dan tertidur.

Seharusnya ”mimpi” yang kita angankan adalah menjadi sebuah motivasi, seperti gambaran Ikal yang merepresentasikan sang penulisnya dalam novel Laskar Pelangi. Namun dalam realitanya, seringkali ”mimpi” tersebut hanya menjadi imaji semu yang justru menerbangkan kita ke dunia awang-awang yang jauh dari kenyataan. ”Mimpi” terlalu indah itu malah merusak bayangan kita tentang kerasnya kehidupan, melemahkan urat syaraf kita untuk berlomba memeras keringat demi mencapai sebuah target. Dan buaiannya menghambat tapak-tapak kaki untuk melangkah di bumi.

Ibuku pernah bercerita tentang seorang priyayi sepuh di kampungku yang tidak mau membiayai sekolah cucunya hingga perguruan tinggi. Alasannya pun sangat sederhana, karena dia merasa kapok melihat tabiat anak kandungnya, seorang sarjana dari sebuah universitas swasta ternama, yang dulu diimpikannya akan menjadi pegawai atau wiraswastawan yang mapan, namun hingga usia mendekati 40 an tidak mau bekerja keras. Dan hanya menggantungkan hidupnya dari bapaknya, sang priyayi sepuh itu.

Mimpi indah priyayi sepuh direalisasikan dengan menyekolahkan sang anak hingga lulus perguruan tinggi. Namum mimpi itu buyar tatkala sang anak pun hanya mau bermimpi menjadi pegawai bergaji besar atau pengusaha sukses, tanpa bersedia merintis dari anak tangga terbawah. Sang anak yang hidup di desa, merasa gengsi untuk menjadi orang suruhan, hanya karena merasa dirinya adalah satu dari segelintir orang yang mampu meraih gelar sarjana disitu. Harga dirinya akan jatuh jika dia tidak langsung menjadi pimpinan. Dia pun tak tahan, jika harus merintis usaha sendiri dengan cara menawarkan barang-barang ke konsumen dari rumah ke rumah. Karena dia merasa bahwa dirinya lah yang seharusnya membeli barang-barang itu, bukan menjadi sales yang menurunkan derajat untuk merayu pelanggannya.

Dan ”mimpi” itu telah mengangkat tubuhnya untuk tidak menapak di bumi nan fana.

Di ibukota nan hiruk pikuk ini, belasan stasiun televisi telah menghipnotis masyarakat miskin kota dengan buaian mimpi lewat program sinetron yang tidak realistis. Kisah gadis miskin yang dicintai pemuda kaya raya dan lalu dalam sekejap menjadi direktur perusahaan calon mertuanya tersebut. Atau seorang pencopet berhati lembut yang beruntung berwajah tampan sehingga membuat putri konglomerat tergila-gila. Adegan film yang hiper realitas telah mengkonstruksi alam bawah sadar masyarakat untuk bersikap instan dan pragmatis dalam usaha mencapai target. Maka muncullah copet-copet trendy yang bergaya metroseksual atau penipu-penipu modis yang merayu untuk melucuti harta pasangannya. Maka jangan kaget kalo melihat di program berita kriminal televisi, banyak penjahat-penjahat yang berdandan keren layaknya eksekutif muda.

Mimpi-mimpi yang tertanam telah membentuk cara-cara praktis, ekonomis dan efisien, untuk mendapatkan uang, tentu saja dengan jalan yang merugikan orang lain.

Kalau kita bertanya kepada masyarakat kecil, realitas seperti apakah yang tergambar dalam benak mereka, tentang gambaran ustadz yang ideal. Maka jawabannya adalah seperti ustadz Uje yang tampan atau Ustadz Yusuf Mansur yang cool, yang selalu mengajarkan tata cara bersedekah kepada umat. Masyarakat ”memaksakan” mimpinya bahwa gambaran seorang ustadz yang disegani, disamping mempunyai ilmu agama yang tinggi, juga harus rajin bersedekah, sehingga tanpa sadar, ada tuntutan bahwa seorang ustadz juga harus kaya raya. Semakin sering beramal, semakin tinggi nilai prestise nya, dan akan semakin disegani oleh masyarakatnya.

Tuntutan ”harus kaya” agar lebih disegani, membuat seorang ”ustadz” akan berusaha memperkaya dirinya. Kalo dia mampu dengan cara yang halal, maka itu akan menjadi barokah bagi dirinya dan masyarakat sekitarnya. Namun yang seringkali terjadi adalah untuk meraih mimpi menjadi ”ustadz” yang terhormat, seseorang melakukan korupsi, yang sebagian harta hasil korupsinya tersebut, kemudian disedekahkan, diinfaqkan, dan dizakatkan kepada orang lain. Maka tak heran, jika hasil riset peringkat korupsi oleh sebuah LSM menempatkan departemen para ustadz menjadi departemen terkorup di negeri ini.

Dalam realitas kehidupan yang sederhana, sering kita terjebak dalam mimpi yang cair. Sebuah mimpi yang oleh orang lain bisa tercapai melalui kerja keras, tetapi kita hanya bisa memeluk bayangan mimpi itu sendiri. Seperti mimpi sukses berbisnis MLM dengan iming-iming meraup jutaan rupiah dalam waktu singkat, jika mampu menarik dua atau tiga downline dan berikut seterusnya ke bawah. Namun nyatanya tidak sesederhana itu, karena pada prakteknya usaha yang harus dijalankan, justru bisa sepuluh kali lebih berat dari yang kita bayangkan. Butuh energi dan semangat ekstra keras untuk mencapai target.

Tak salah kalo sutradara Hanung Bramantyo memilih tema MLM untuk film terbarunya ”Menebus Mimpi” dalam rangka memperingati Hari Kartini (gak nyambung yaaa hehehe...)

Terkadang mimpi tidak hanya menjadi sumber inspirasi , tetapi juga menjadi awan penghalang bagi kita untuk menapak ke bumi.

Note: Maksudnya kebanyakan mimpi justru gak kerja-kerja hehehe...

Sency, 20 April 2010