Mobil Baru Lagi, Nge-les Lagiii…

12.04 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Pejabat negeri kita emang paling jago kalo suruh nge-les, bukan nge-les dalam arti positif mengajarkan ilmunya pada orang lain; les inggris, les sempoa atau les piano. Tapi nge-les dalam arti negative yaitu mencari jawaban-jawaban yang gak nyambung, terkesan dipaksakan, dan membodohi rakyatnya…

Coba kita baca respon para pejabat usai mendapat mobil dinas baru Toyota Crown Royal Saloon 3.000 cc, seharga 1,3 M.

Mensesneg Sudi Silalahi:
"Usia pakai kendaraan selama lima tahun sudah menunjukkan ketidakefektifan lagi. Digunakan Camry, kita sering kali masuk bengkel.”

Ketua DPR RI Marzuki Ali :
”Rasanya masih bagus mobil Mercy saya kok”.
"Ya mobil negara dikasih, harus pakai, ya gimana lagi. Barang sudah dibeli gimana menolak, tadinya memang tidak mau pakai.”

Menkoperek Hatta Radjasa:
"Mobilnya lebih kecil dari yang dulu, dalamnya kita lihat tuh lebih sempit".

Hehehe, tapi jangan pada ngiri yaa…
Kita lihat bagaimana kehebatan mobil ini

Toyota Crown Royal Saloon ini sekelas dengan BMW Seri 5 (530), Mercedes E-Class, dan Audi A6 (dari Jerman). Di Jepang, kompetitornya adalah Honda Legend dan Nissan Fuga. Royal Crown 2009 adalah sedan mewah canggih dan terlengkap di kelasnya. Di Jepang, mobil ini ditawarkan dengan dua versi mesin, yaitu V6, 2,5 liter dan V6, 3,0 liter. Crown buat para menteri adalah versi yang terakhir.

Di negara asalnya, mobil ini dilengkapi dengan sistem navigasi satelit 3D yang dikendalikan oleh G-BOOK. Fitur khas ini hanya dimiliki Crown.Dengan fitur tersebut, peredaman suspensi bekerja secara otomatis sesuai dengan kondisi permukaan jalan. Misalnya, jika ada lubang atau jalan bergelombang, maka peredam suspensi akan berubah. Begitu juga ketika membelok. Pengemudi tak perlu repot menekan tombol. Inilah kehebatan teknologi yang disebut Toyota dengan VDIM atau Vehicle Dynamics Integrated Management.

Bahkan, perpindahan gigi bisa diatur sendiri. Komputer mobil akan mengaktifkan efek pengereman mesin ketika mendekati gerbang tol. Radar yang digunakannya sangat presisi dan bisa mengukur sampai ke tingkat milimeter. Konsumsi bahan bakarnya, diklaim Toyota, mencapai 11,8 km/liter.

Di Jepang, mobil ini juga dilengkapi night vision system yang mendeteksi pejalan kaki melalui kamera inframerah jarak dekat. Tambahan lain adalah intelligent parking assist system untuk membantu pengemudi agar mudah parkir dengan berbagai posisi.

Wow, fantastis bukan?

Saya yakin jika saya atau anda ditawarin mobil sehebat ini, pasti akan lebih memilih mengumpulkan 1001 kalimat nge-les daripada menolaknya. Tak usahlah terlalu idealis dengan mendengarkan teriakan iri hati dari para rakyat kecil, yang mengatakan ini pemborosan, tidak sensitif terhadap warga miskin, bentuk kesombongan pejabat atau apapun kata cercaan iri hati lainnya. pokoknya the show must go on.

Makanya mulai sekarang cobalah setiap hari mencatat di diari atau note anda, jawaban-jawaban nge-les yang layak dan logis untuk dilontarkan.

Siapa tahu periode 5 atau 10 tahun berikutnya, bapak presiden yang baru akan khilaf, sehingga memilih saya atau anda menjadi menteri di kabinetnya…

Siapa tahu saya atau anda beruntung? Hehehe…

Sency, 29 Desember 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Mbak Luna dan Arogansi Profesi

05.20 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Sengketa kecil antara Luna Maya (artis, pesinetron, penyanyi dan MC) dengan pekerja infotainmen memasuki babak yang penuh opini. Sebagian masyarakat yang pro infotainmen “merasa” adalah sungguh tidak tahu diri jika seorang artis yang (notebene) dibesarkan oleh industri infotainmen lewat kucuran keringat para pekerja nya, tiba2 menghujat orang yang telah mengangkat namanya, dari bukan siapa2 menjadi artis tenar termahal di negeri ini. Kendati sebenarnya “klaim” tersebut juga berjalan sepihak, karena sang artis pun merasa kesuksesannya karena telenta dan kerja keras, bukan hasil ”pemberian” dari pekerja infotainment.

Yang pro mbak Luna tentunya sepakat, bahwa sebagai manusia memiliki hak individu yang namanya ”privacy” dan ini dilindungi oleh UU tertinggi manusia yaitu Hak Azasi Manusia (HAM), dimana tidak seorang pun atas nama profesi apapun berhak untuk mengganggu kenyamanan hidup orang lain. Jadi kalo seseorang merasa terganggu dengan kehadiran orang lain yang ”memaksa” dia untuk membuka kisah pribadinya, hal itu bisa masuk pada pasal pidana. Namun seringkali pekerja media membenturkan dengan (sedikit menyeleweng tafsiran) UU pers, bahwa seseorang tidak boleh menghalangi wartawan untuk mendapatkan informasi. Nah lho?

Menghadapi ”update status” Mbak Luna di twitter nya yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik para pekerja infotainmen, saya langsung bertanya-tanya, benarkah itu sebuah penghinaan? Trus kenapa seseorang harus merasa terhina padahal dalam tulisan itu tidak menyebut sebuah institusi atau pribadi seseorang. Atas dasar apa seseorang berhak merasa menjadi ”korban” pencemaran nama baik. Apakah jika saya mengatakan ”para pejabat memang koruptor dan penjahat” lalu semua orang pejabat pemerintahan dari tingkat pusat hingga kelurahan berhak melaporkan saya ke pengadilan terkait pasal pencemaran nama baik. Jika itu terjadi maka semua demonstran yang biasa kritis, bisa2 langsung masuk bui hehehe...

Saya teringat cerita seorang kawan wartawan televisi yang ditugaskan mewawancarai seorang tokoh reformasi yang terkenal kritis dan tajam. Saat bertemu di kantornya, sang narasumber berkata ”kamu dari TV mana?” lalu kawan saya menunjukkan logo mic, dan spontan si narasumber berkata ”Kamu tahu gak, saya dulu sangat mengagumi berita2 di TV mu yang ikut menentukan sejarah suksesnya gerakan reformasi 1998, tapi sekarang saya muak melihat isi beritanya, seperti sampah!” Kawan saya langsung terdiam dan tersenyum kecut. Tapi dengan cool dia tetap merayu agar bisa mendapatkan wawancara si narasumber, karena merasa bahwa keberhasilannya menjalankan profesi adalah dengan sukses mendapat wawancara eksklusif kendati harus mendengar caci maki terlebih dahulu.

Kenapa kawan saya tidak tersinggung atau melaporkan si narasumber ke polisi karena menyebut ”sampah” pada institusinya. Karena dia paham, bahwa kata-kata itu adalah kritikan membangun terhadap kekurangannya dalam membangun sebuah berita yang ”mencerdaskan” masyarakat.

Kembali ke twiter Mbak Luna, dia mengatakan ”derajat infotainmen lebih rendah dari pelacur dan pembunuh”. Secara teks dia tidak menyebut sebuah profesi tertentu, kata infotainmen sendiri bermakna program bukan profesi. Dan bisa jadi itu infotainmen di amerika atau arab saudi bukan di Indonesia, artinya banyak tafsir yang mungkin muncul dari istilah tersebut. Dari segi konteks, itu hanya luapan emosi yang mungkin terganggu akibat pemberitaan infotainmen yang merugikannya atau etika pekerja infotainmen dalam mencari berita yang sangat mengganggunya. Maknanya adalah kalo dari dua hal ini menimbulkan multitafsir, kenapa orang lain yang mungkin bukanlah orang yang dimaksud oleh Luna harus merasa tersinggung dan geer (gedhe rumangsa-red). Lebay banget sich hehehe... Btw, lebay adalah salah satu akar dari arogansi pribadi.

Secara psikologis, lebay atau berlebihan dalam memandang diri sendiri bisa disebabkan oleh dua hal, pertama karena dia ingin dipuja dan dianggap sebagai orang yang hebat. Kedua adalah menutupi karakter pribadinya yang sebenarnya minder dan tertekan. Merasa tidak hebat tapi ingin dianggap hebat. Kalo dua hal ini berpadu dalam satu pembenaran pendapat maka jadilah sosok orang yang tidak pernah merasa bersalah dan arogan. Profesi dijadikan pembenaran untuk merugikan orang lain, demi menghindari ”tekanan” dari kantor yang seringkali bertentangan dengan hati nuraninya.

Ini sebenarnya mewakili perasaan saya pribadi yang pernah menjalani profesi sebagai pekerja infotainmen dan pekerja media. Ini hanya sekedar pendapat pribadi, karena bisa jadi orang lain memiliki pengalaman yang berbeda. Saat beberapa tahun silam iseng-iseng side job sebagai kamerawan infotainmen, hal pertama yang saya rasakan adalah hasrat yang besar untuk mendapatkan gosip menarik plus rasa tidak tega untuk mencampuri atau mengetahui urusan pribadi orang lain. Dan ini membuat saya tertekan, pertama saya menyadari bahwa adalah hak si artis untuk menjaga rahasia pribadinya, tetapi berita tentang prestasi si artis bukanlah gosip yang menarik dan berating tinggi.

Kedua, secara kasat mata, penampilan materi si artis jauh lebih glamour dibanding saya dan seorang kawan yang untuk datang ke lokasi artis, hanya menggunakan motor butut. Ada rasa minder sebenarnya, tapi kita tetap harus menjaga image agar terlihat setara hehehe...

Ketiga, usaha kita untuk meliput seringkali tidak diakomodir oleh perusahaan, sehingga butuh kerja keras untuk sekedar bisa datang ke TKP, sementara tuntutannya adalah berita bagus. Pun jikalau kita gagal mendapat berita panas, resiko pemecatan dari Rumah Produksi tempat kita bekerja sangat besar, karena seringkali tidak ada kontrak kerja yang sesuai UU bagi pekerja infotainmen, apalagi asuransi.

Keempat, tidak adanya training jurnalistik (btw, pekerja infotainmen termasuk jurnalis bukan yaa?) membuat wawasan kita tentang etika profesi dan aturan peliputan menjadi nihil. Kita seperti anak-anak yang langsung diterjunkan ke lapangan tanpa pengetahuan sama sekali.

Kelima, infotainmen tetaplah disebut berita gosip, yang kendati berating lebih tinggi dibanding berita politik, sosial budaya etc. Tapi tetap dianggap ”berita sampah” oleh para pengamat media, tokoh masyarakat, praktisi pendidikan. Yang dianggap hanya merusak moral masyarakat dan tidak mencerdaskan.

Terjepit diantara kebanggan diri dan penilaian miring orang lain, seringkali membuat kita kehilangan akal sehat saat melakukan peliputan, dan mungkin hal ini masih berlaku hingga sekarang. Ketidaktahuan tentang etika profesi jurnalistik ditambah tuntutan rumah produksi untuk selalu mendapat gosip terpanas, membuat kita terkadang harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita. Dan inilah yang menurut saya melatarbelakangi seringnya terjadi benturan tidak etis dalam peliputan.

Kembali ke soal merasa arogan berprofesi wartawan. Menurut saya ini karakter wartawan pemula yang masih eforia dengan dirinya dan tidak paham konsekuensi atas profesinya. Ada perasaan bangga yang berlebihan bahwa profesi ini adalah pilar keempat yang menentukan kesuksesan suatu bangsa. Bahwa UU pers melindungi wartawan dari tuntutan hukum dalam melaksanakan pekerjaan. Bahwa wartawan bisa menaikkan atau menjatuhkan narasumber nya. Bahwa dirinya berhak untuk mendapatkan informasi dan menyebarluaskan ke masyarakat. Kebanggan-kebanggan ini kalo tidak dikontrol akan menghasilkan sosok pribadi yang kehilangan rasio, dengan memandang semua masalah dari sudut pandang diri sendiri, bukan orang lain.

Dan ternyata hal itu terbukti nyata, pelaporan oleh pekerja infotainmen terhadap mbak Luna ke polisi dengan mengadukan pasal-pasal UU ITE malah didukung oleh korps Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), padahal UU itu sedang diprotes oleh insan media karena dianggap menghalangi kebebasan pers. Entah apa motivasi pekerja infotanmen dan PWI memakai pasal karet yang jelas-jelas berpotensi memberangus profesinya.

Secara pribadi saya mendukung AJI yang berusaha mendamaikan ”sengketa kecil”ini dalam ranah musyawarah, antara insan pers dengan narasumbernya.

Lebih baik kembali menjadi pilar bangsa yang mencerdaskan masyarakat daripada tampil arogan mempertontonkan keunggulan profesinya untuk sesuatu yang ”SANGAT TIDAK PENTING” ini.


Celesta, 22 Desember 2009


http://ruangstudio.blogspot.com

Dan Berkarya lah, Maka Dunia Akan Memelukmu...

11.12 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

1
Sosok Ardiansyah menjadi titik balik bahwa Indonesia masih memiliki pahlawan-pahlawan yang mempunyai semangat besar mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Adalah seorang pegulat asal Kalimantan Timur yang baru pertama kali ikut dalam Sea Games, berangkat tanpa target apapun karena kondisi organ tubuh yang memiliki kekurangan yaitu hanya memiliki satu paru-paru. Ternyata mampu membuktikan bahwa ”semangat & kerja keras” mampu mengalahkan segala hambatan fisik. Pegulat kelahiran 19 September 1983 mampu menjawab kepercayaan sang pelatih dengan meraih medali emas di gaya Greco-Roman kelas 50 kilogram pada Sea Games Laos 2009.

”Begitu dinyatakan sebagai pemenang, Ardiansyah langsung jatuh tertelungkup ke matras gulat Booyong Gymnasium, Vientiane. Para pelatihnya segera berlari mendatanginya untuk memberikan pertolongan. Beberapa saat kemudian, ia pun sudah bisa duduk dan lalu berdiri. Sambil memegangi dadanya yang sakit, ia berusaha mengacungkan tinjunya sebagai selebrasi kemenangannya.” (Kompas, 16/12/09).

Semangat, belajar & kerja keras adalah kuncinya...




Ardiansyah mampu melupakan rasa sakit yang mungkin dialaminya saat sedang bertanding, dan melepaskannya usai menjadi juara. Kekurangan udara pernafasan yang dirasakannya diganti dengan ”oksigen semangat” yang tidak memerlukan paru-paru tambahan untuk memompa.

Kedua telinga nya yang juga mengalami gangguan pendengaran, ternyata tidak menghalangi untuk mendengarkan nasehat dan wejangan dari sang pelatih, sehingga semua pelajaran tentang teknik gulat mampu dipelajarinya dengan baik.

Ah, kita yang punya dua telinga normal malah seringkali berlagak tuli untuk mendengarkan kebaikan dari orang lain.

Kemenangan Ardiansyah didapat dari sebuah kerja keras selama bertahun-tahun, dan karya nya ditunjukkan dalam sebuah pertandingan yang mungkin hanya berjalan beberapa menit saja.

Fase inilah yang tidak dimiliki atlet indonesia lain, yaitu berlatih keras untuk meraih kemenangan. Selama ini mereka hanya memiliki hasrat besar untuk mencapai kemenangan secara instan tanpa mau berusaha. Contoh terbaru adalah Tim sepakbola U-23 yang dua tahun ”bersekolah” di Uruguay dan hasilnya adalah sebagai juru kunci babak penyisihan Sea Games tanpa pernah menang sekalipun. ”Sungguh memalukan” kata bang Rhoma Irama.


2
Ria Nurlaela Badaria, 25 tahun, adalah peraih Khatulistiwa Literacy Award 2009 untuk kategori Penulis Muda Berbakat, novel pertamanya bergenre metropop berjudul Fortunata, dianugerahi penghargaan bergengsi itu, mengungguli tujuh karya finalis lainnya.

Coba simak bagaimana cara dia berkarya:
Dia mulai menulis novelnya dengan tangan di kamarnya sejak 2006. Ketika tulisan tangannya sudah cukup panjang, dia pergi naik angkutan kota sejam perjalanan ke penyewaan komputer di kota Bogor untuk mengetik karyanya. "Kalau sudah di rental, bisa sampai seharian saya menulis," kata Ria.
Pengalaman kehilangan naskah pun dialaminya. Sepuluh bab pertama Fortunata, yang tersimpan di disket, hilang karena disket terjatuh dan rusak. "Terpaksa saya mengetik ulang," kata Ria, yang kadang meminjam laptop temannya untuk menulis novel. (Koran Tempo, 6/12/09).

Bagi para fesbuker yang tiap hari nongkrong di depan komputer pantas iri hati, karena keterbatasan fasilitas pendukung (komputer-red) ternyata tidak menghalangi Ria Nurlela untuk tetap berkarya. Sebuah novel yang ditulis tangan, karena tidak memiliki komputer.

Semangat Ria mungkin bisa disamakan dengan Pramoedya A. Toer atau Soekarno yang menulis buku dengan tangan dari dalam penjara pada jaman pra kemerdekaan atau awal-awal orde baru yang penuh intimidasi.

==

Ardiansyah dan Ria adalah gambaran semangat pantang menyerah yang sangat layak kita tiru. Keterbatasan fisik dan fasilitas tidak menghalangi untuk tetap berkarya. Karena hanya dengan ”karya” lah eksistensi kita sebagai manusia akan diakui oleh orang lain.

Penilaian terhadap hasil sebuah karya adalah obyektif. Namun sebenarnya ada yang lebih penting dari karya itu sendiri, yaitu bagaimana proses sebuah karya dihasilkan. Kisah proses ini seringkali mampu menginspirasi orang lain dan menjadikannya sebuah pelajaran berharga.

Dan dunia pun akan selalu mengapresiasi orang yang mau berkarya.

Celesta, 17 Desember 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Untuk Anakku...

02.20 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Insya allah akan kuberi nama Gibran Muhammad Difiansyah

Gibran adalah Kahlil Gibran, sang penyair pantang menyerah
Sang Nabi yang mencipta Sayap-sayap Patah
Yang karyanya merangkum tiga agama langit
Yang tutur katanya menggugah hati untuk bangkit

Gibran artinya cerdas (arab-red)

Muhammad adalah manusia terbaik yang dipilih Tuhan
Rasul terakhir yang berhasil merubah dunia
Yang memiliki kecerdasan, kepercayaan, keyakinan, dan kejujuran
Yang baginya telah disempurnakan agamaku

Muhammad artinya orang yang terpuji (arab-red)

Difiansyah hanyalah sebuah nama tanpa makna
Sekedar merefleksikan pertautan dua hati orang tuanya
Sekedar penanda ada dua jiwa yang menyatu didalamnya
Sekedar pengingat bahwa dia hanyalah manusia biasa

Anak adalah titipan Tuhan
Dia adalah anak panah yang siap dilepas untuk menembus sang waktu
Yang kepadanya lah harapan segala kebaikan hidup
Semoga kelak aku bisa mendidiknya, menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama

Ya Allah,
Berikanlah kepadanya kesehatan fisik dan hati
Bukalah pintu nurani dan pikiran akan kebenaran
Ajarkanlah dia membaca ciptaanMU

Ya Allah,
Permudahkanlah kami dalam merawatnya
Lancarkanlah rejeki kami agar bisa memberinya kehidupan terbaik
Bimbinglah kami dalam meletakkan dasar-dasar pelajaran baginya


Celesta, 10 Desember 2009


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label: