Berkah Ramadhan : Segelas Teh Manis dan Nilai Keikhlasan Pak Tukang Taman

10.41 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Hari ketiga bulan puasa, ada sebuah berkah ramadhan yang aku dapat, sebuah nilai tentang bagaimana seseorang berusaha menjaga tali silaturahmi nya dengan penuh keikhlasan.

Berawal dari suatu sore, usai ngabuburit bersepeda keliling graha raya di hari kedua puasa. Di rumah sebelahku yang kebetulan belum ditempati, ada seorang tukang taman sedang menyirami rumput dan bunga-bunga yang baru ditanamnya. Keringat masih membasahi wajahnya, sementara bedug magrib udah menjelang, dan suara adzan bergema bersahut-sahutan dari masjid-masjid di sekitar komplek. Melihatnya sendirian, lalu kubawakan segelas teh manis hangat, sekedar untuk membatalkan puasanya. Aku pun memberikan tanpa tendensi apa-apa, hanya sekedar kasihan melihat dia belum selesai menyelesaikan pekerjaan, sementara buka puasa telah tiba.

Keesokannya, di pagi hari jelang siang, terdengar suara ketukan di pintu rumah, berdiri Pak Tukang Taman dengan membawa satu tas plastik berisi timun suri. Dan dengan sopan dia berkata “Mas, ini saya bawakan buah alakadarnya. Terima kasih, kemarin memberi saya teh manis buat buka puasa”. Sejenak saya tertegun, lalu kujawab, “waduh makasih banget pak. Tapi gak perlulah mbawain kayak gini, wong kemarin saya cuman ngasih gitu doang kok.” Lalu beliau tersenyum, dan berkata “saya ikhlas kok mas, dan saya sangat senang kemarin mendapat minum untuk berbuka puasa.” Lalu dia segera berpamitan untuk kembali bekerja.

Sambil menenteng timun suri dari Pak Tukang Taman tadi, saya langsung merenung.

Pertama, saya jadi teringat salah satu ayat dalam al quran tentang janji Allah yang akan melipat gandakan pemberian (sedekah) kepada orang lain dengan nilai yang lebih. Saya tidak sedang menghitung secara materi keuntungaan yang saya dapat, bahwa saya hanya memberi segelas teh yang bernilai seribu rupiah dan diganti dengan timun suri seharga sepuluh ribu rupiah. Bukan matematika itu yang saya hitung, tapi bagaimana Allah membuktikan janjiNYA dengan contoh yang sangat sederhana dalam kejadian itu.

Kedua, saya jadi malu hati terhadap kebaikan Pak Tukang Taman, yang secara elegan datang mengetuk pintu rumah untuk membalas budi. Seseorang yang mungkin secara materi pas-pasan tapi tetap berusaha menjalin silaturahmi dengan sebuah nilai kesejajaran. Sementara saya kalau diberi kebaikan oleh orang lain, seringkali tidak punya itikad baik untuk ganti membalas budi.

Ketiga, saya salut atas keikhlasan beliau dalam menjalin tali silaturahmi. Jujur saat memberinya minum, saya tidak pernah berniat atau bersengaja membangun tali silaturahmi dengannya. Hanya sekedar kasihan, lalu saya bawain air minum, titik. Tapi balas budi beliau, membuat saya selalu mengenang dirinya sebagai orang yang baik dan tulus. Insya allah, jika diberi kesempatan bertemu lagi, saya akan mempererat persahabatan yang ditawarkannya. (tapi, saya bahkan tidak tahu namanya…)

Keempat, beliau menyadarkan saya, bahwa masih banyak orang-orang yang bekerja keras dan jujur dalam menjalani hidupnya. Dari raut wajahnya yang polos, tampak sebuah keteguhan hati dalam menjalankan profesi. Beliau rela berpanas-panasan mencangkul tanah, membersihkan rumput liar dan menggantinya dengan gajah mini yang hijau, sambil tetap berpuasa di siang hari yang panas menyengat, tanpa mengeluh.

Kelima, senyumnya yang memancarkan ketulusan hati saat memberi, membuat saya malu, bahwa saya sering merasa tidak ikhlas dalam beramal. Sering menghitung-hitung untung rugi yang akan saya dapat jika memberi kepada orang lain. Dan yang paling parah, sebelum beramal saya sering berharap bahwa Allah akan membalas amal saya, dengan nilai materi lain yang berlipat. Astaghfirullah…

Ya, Allah telah mengajarkanku tentang sebuah persahabatan dan keikhlasan dari Pak Tukang Taman. Walau saya juga tidak tahu apakah akan bisa menjalankan pelajaran itu atau tidak.

Semoga Allah tidak bosan untuk terus memberi pelajaran tentang hidup kepadaku, Amiiin…

Sency, 25 Agustus 2009

Dwi Firmansyah

Label:

"Label Teroris" dan Hilangnya Kenyamanan Hidup

09.18 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Lensa kamera televisi seolah telah menjadi hantu paling menakutkan bagi sebagian orang. Beberapa wanita bercadar tampak jengah dan berusaha menutup wajahnya yang memang sudah tertutup itu. Wanita-wanita itu yang biasanya tidak pernah (bahkan mungkin tidak mau) untuk berhadapan dengan media massa, tiba-tiba seolah dipaksa menjadi obyek gambar yang “seksi” di mata kamerawan. Sekelompok wanita yang tengah berjalan, segera mempercepat langkahnya menghindari sorot kamera yang tidak pernah meminta ijin darinya. Ekspresi warga masyarakat yang bingung, ikut menatap para wanita yang tengah memenuhi kewajiban berpakaian tertutup itu. Yang satu bingung dan ikutan curiga melihat arah lensa kamera, si obyek jengah karena merasa tanpa salah dan dipaksa menjadi artis demi insert gambar televisi.

Dampak “kegagalan” penangkapan Noordin M Top di Temanggung memang dahsyat. Antiklimaks perburuan gembong teroris, yang sempat “didiagnosa” media massa telah tewas dalam penggrebekkan oleh 600 aparat itu, membuat runyam kehidupan masyarakat yang lain.

Seolah untuk menutupi “kelemahannya”, pihak kepolisian kemudian “memamerkan” kemampuan intelejennya dengan mempublikasikan data-data intelejen pada media massa; setiap pergerakan, penyamaran, perekrutan teroris diungkap secara transparan di televisi. Plus rangkaian struktur organisasi, dugaan kaitan pendukungnya, calon pengantin bomber hingga istri-istri yang dinikahi sang gembong.

Masyarakat pun “dipaksa” harus ikut berpartisipasi dalam perburuan teroris yang sebenarnya adalah tugas aparat. Warga dituntut memasang mata terhadap setiap kedatangan orang baru, ciri-ciri khas pakaian dengan baju koko, peci putih dan celana tinggi (menggantung) harus lebih diwaspadai.

Dan yang “terbaru” adalah wacana bahwa ada kemungkinan para teroris itu menyamar sebagai perempuan yang bercadar muka. Yang direspon televisi dengan menayangkan grafis; foto wanita bercadar disandingkan dengan foto rekayasa teroris yang menyamar dengan cadar terbuka.

Media massa seolah sedang berlomba menginterpretasikan wacana yang dirilis oleh pihak kepolisian, yang kemudian tanpa sadar (atau memang sengaja) telah melakukan “pelabelan” terhadap budaya-budaya tertentu. Media mempunyai peranan penting dalam mengkonstruksi kebenaran sebuah realitas yang akan dipahami masyarakat. Sudut pandang media dalam melihat suatu peristiwa menjadi gambaran "kebenaran" yang diterima audiens nya.

Dalam buku; Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisis Semiotik dan Analisi Framing, karangan Alex Sobur, ada beberapa definisi konstruksi media :

Dalam pandangan Gaye Tuchman mengenai sifat dan fakta media massa, “disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita.” (hal.88)

Menurut Paul Watson mengenai perilaku media massa, “konsep kebenaran dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa”.
(hal.87)

Menurut Alex Sobur; “Ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain; misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal. Kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.”
(hal.30)


Pemberitaan oleh media massa terhadap suatu kasus secara terus menerus tentunya akan menggiring opini publik pada pandangan tertentu. Jika semua media massa “bersepakat” mendasarkan beritanya dari rilis pihak kepolisian, maka realitas berita itu yang akan dianggap menjadi kebenaran oleh masyarakat. Masyarakat seolah “dipaksa” untuk menerima kebenaran itu secara mutlak, karena tiadanya gambaran lain tentang sosok teroris. Keterbatasan narasumber alternative, membuat masyarakat minim sekali mendapat informasi tentang teroris dari sudut pandang yang berbeda, misalpun ada porsinya sangat sedikit. Contohnya profil teroris versi Ustadz Abu Bakar Baasyir yang disebutnya sebagai Mujahidin.

Cara penanganan teroris versi polisi pun sangat keras. Para teroris dianggap sebagai musuh Negara, orang yang sangat berbahaya dan nekat, sehingga harus diberlakukan dengan “keras” juga. Hal itu menurut saya, terbaca dari banyaknya polisi yang dikerahkan ke Temanggung (600 aparat-red) dan canggihnya peralatan modern yang digunakan (ada robot detector, granat dan berbagai jenis senjata api-red) dalam upaya menangkap seorang Noordin M Top yang ternyata adalah Ibrahim. Lalu penembakmatian dua teroris di Jatiasih, Bekasi yang “baru” diduga akan meledakkan rumah pak SBY di Cikeas, Bogor.

Atas nama ekskusifitas berita dan rating yang intinya berujung pada komersialisasi media, seringkali tanpa sadar, para pewarta berita berubah menjadi “algojo” bagi masyarakat, mereka melupakan dampak “pelabelan” itu bagi warga yang sudah nyaman menjalankan tradisi budaya nya (agama-red).

Saya belum pernah meneliti secara serius, jadi hanya berdasarkan pengamatan sekilas saja. Ada beberapa kriteria profil teroris yang diulang-ulang media massa:
- Biasanya berpakaian; baju koko, peci putih, dan celana tinggi (menggantung).
- Biasanya berjenggot.
- Biasanya rajin sholat di masjid/mushola terdekat.
- Biasanya ramah dan baik dengan tetangga, namun orangnya agak tertutup.
- Biasanya menyimpan Al quran dan buku-buku berbahasa arab di rumahnya.
- Biasanya memasang kaligrafi atau stiker tentang jihad di rumahnya.
- Biasanya pendatang baru dan suka berpindah kos.
- Dan lain-lain.

Kriteria-kriteria seperti ini sangat lazim dilakukan oleh seluruh umat muslim di Indonesia, terlalu luas untuk menggambarkan realitas sosok khas seorang teroris. Namun karena diberitakan secara terus menerus dan berulang-ulang, maka hal ini bisa menjadi sebuah “kebenaran” oleh masyarakat.

Ya, wanita-wanita bercadar itu mungkin juga sama sekali tidak tahu tentang terorisme, apalagi mengenal Noordin M Top. Mereka hanya sekedar mengikuti ajaran rasulnya, tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan baligh. Tapi tiba-tiba mereka “dipaksa” menjadi point of view dari jutaan penikmat berita teroris di negeri ini. Mata-mata kamera itu seolah ingin “menelanjangi” untuk sekedar memastikan bahwa tubuh yang berada dibalik pakaian itu bukanlah Mujahidin eh teroris yang sedang buron.

Pada harian Kompas (Minggu, 23/08/2009) halaman 4, ada berita berjudul “Dihadang Warga karena Berjenggot dan Bercadar”, isi berita; “Sial nian nasib suami istri Daud dan Kasitri gara-gara berjenggot dan bercadar, keduanya dihadang dan diinterogasi habis-habisan oleh sejumlah warga seusai bersembahyang di Masjid Al Barokah Kampung Kedinding, Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten. Bahkan, keduanya sempat dibawa ke markas polisi…..”

Ini memang agak dilematis…

Saya teringat kata-kata yang diucapkan oleh seorang kawan dalam sebuah dialog bedah buku dengan seorang pengamat teroris beberapa hari lalu. Intinya beliau mengatakan (mohon dikoreksi kalau salah), “Bangsa ini punya sejarah yang buruk terkait pembantaian antar sesama; pada tahun 1965-1966 terjadi pembantaian warga (berlabel) PKI hingga ribuan orang, lalu pemusnahan warga (berlabel) etnis Madura di Sampit, Kalimantan, dan konflik antar agama di Maluku. Jika ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin orang-orang yang dicurigai sebagai teroris oleh masyarakat akan mendapat perlakuan yang sama (seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya)”

Ini sangat mengkhawatirkan…

Ibarat api dalam sekam, pelabelan terhadap budaya tertentu ini, suatu saat akan membakar, jika ada provokator yang meniupkannya. Dan yang menjadi korban seringkali adalah warga sipil yang tak bersalah.

Ah, semoga tidak terjadi…

Referensi :
Alex Sobur, Analisi Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana, Analisi Semiotik dan Analisi Framing, PT. Remaja Rosdakarya, 2001.


Celesta, 23 Agustus 2009

Dwi Firmansyah

Label:

Hotel Rwanda; Konflik antar budaya yang dibina?

07.54 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Dua hari jelang 17 agustus kemarin, untuk kedua kalinya saya menonton film Hotel Rwanda di sekolah. Sebuah film yang mengisahkan perseteruan antara dua suku di Rwanda yaitu suku Hutu dan suku Tutsi, dan berakhir dengan pembantaian masal (genosida) sekitar 800 ribu jiwa.

Film karya sutradara Terry George ber-genre drama aksi (based on true story) bercerita tentang sejarah kelam Rwanda di tahun 1994 pada masa-masa berakhirnya penjajahan Belgia. Sebuah konflik budaya yang sengaja diciptakan dan dibina oleh penjajahnya, dengan memanfaatkan hubungan yang tidak harmonis antara kedua suku yang hidup berdampingan.

Dalam film itu tergambar jelas bagaimana suku Hutu yang melakukan pembantaian, lebih bertoleran terhadap bangsa kulit putih dibanding bangsanya sendiri yang sama-sama berkulit hitam walau berbeda etnis. Toleransi suku Hutu terjadi karena tekanan negara eropa dalam hal ini Perancis yang menjadi pemasok senjata, dan penyumbang bantuan bagi pasukan militer pemerintah Rwanda yang dipimpin presiden beretnis Hutu. Nyaris tak ada rasa nasionalisme kebangsaan akibat saling curiga yang mendalam.

Menurut saya, ini adalah sebuah infiltrasi (penyusupan) budaya yang sadis. Dimana masing-masing suku diprovokasi untuk terus berprasangka buruk terhadap etnis lain. Secara cultural tergambar dalam salah satu adegan, dimana suku Hutu menuduh suku Tutsi sebagai penyihir dan penyembah ritual setan yang berbahaya. Bahkan adegan pembantaian pun digambarkan sebagai pengusir roh jahat sehingga harus dimusnahkan dari dunia. Pembunuhan dianggap sebagai pelaksaan aturan budaya sendiri. Sangat irrasional, tapi itulah yang terjadi.

Secara politik, penjajah melakukan teknik devide et impera yaitu pada masa penjajahan pemerintah Belgia 'berpihak' pada suku minoritas Tutsi, tetapi pada saat kemerdekaan justru kekuasaan diberikan pada suku Hutu. Balas dendam politik ditambah infiltrasi + provokasi budaya yang menyesatkan ternyata menghasilkan tindakan genosida yang mengerikan.

Menonton film itu mengingatkan saya akan film G 30/S PKI karya (Alm) Arifin C. Noor, sebuah karya yang mengedukasi masyarakat untuk membenci orang komunis , mengisahkan kekejaman PKI sebagai cara menyederhanakan pikiran kita bahwa membalas dendam (membunuh-red) PKI adalah hal yang wajar sesuai dengan perbuatan mereka. Bahwa lagu genjer-genjer merupakan lagu budaya Gerwani yang asyik dinyanyikan sambil minum-minuman keras. Atau dialog “darah itu merah, jenderal!” yang dilontarkan seorang wanita sambil menyayat kulit anggota TNI.

Dan sejarah mencatat bahwa pembantaian orang-orang PKI sebagian justru dilakukan oleh warga sipil yang terprovokasi oleh stigma bahwa komunis adalah kafir, atheis, dan kejam sehingga darahnya halal untuk dibunuh. Sesama warga desa bisa membunuh tetangganya sendiri jika ketahuan dia pernah ikut PKI. Ini mirip stigma budaya yang dimasukkan pada suku Hutu di Rwanda, bahwa suku Tutsi adalah pemuja setan, sehingga layak dibunuh.


Provokasi yang menimbulkan terjadinya konflik antar budaya selalu menjadi permasalahan yang menarik untuk diobrolkan, karena dampaknya yang seringkali diluar dugaan. Saya jadi teringat saat ditugaskan meliput Ulang Tahun RMS (Republik Maluku Selatan-red) bareng reporter Iwan Setiawan pada tahun 2005.
Memang usai pecahnya konflik besar antar agama di Ambon tahun 2009, setiap jelang tanggal 25 April, hampir semua media massa “wajib” mengirimkan kru tambahan ke sana. Tanggal 25 april adalah hari Ulang Tahun RMS, hari-hari yang rawan terjadi konflik susulan (pada 25-30 april 2004 terjadi perang jilid II-red).

Pada saat itu suasana semakin mencekam 1-2 hari jelang hari H, aparat biasanya sibuk melakukan razia keberbagai titik yang dinilai rawan. Beberapa orang yang “dicurigai” pun ditangkap. Pada malam hari nya, puluhan warga berkerumun melakukan ronda dipinggir jalan, sambil menyembunyikan “senjata” dibalik sarungnya. Dan jika tidak terjadi konflik, maka yang paling ditunggu-tuggu adalah dimana bendera RMS akan berkibar? Berapa jumlahnya? Dan bagaimana reaksi aparat yang kembali kecolongan hehehe…

Sebagai orang yang tidak memahami konflik di Maluku, menurut saya ini adalah konflik budaya yang sangat menarik. Karena ternyata tidak setiap warga masyarakat memahami akar masalah yang sebenarnya. Pada suatu malam jelang hari H, iseng2 saya ikut ngobrol dengan beberapa warga yang “ronda” dipinggir jalan. Mereka bercerita, bahwa sebelum konflik 1999 hampir setiap hari mereka yang berbeda agama itu melakukan kegiatan bersama tanpa masalah; mereka berbelanja di pasar yang sama, main gaple bareng, dan nongkrong tanpa ada rasa curiga. Sebuah toleransi yang tinggi, dan cenderung tidak memperdulikan adanya perbedaan budaya (agama-red).

So, menurutnya; adalah hal yang membingungkan ketika mereka terpaksa harus berperang dengan saudara-saudara sendiri, tanpa tahu penyebabnya, dan tanpa alasan yang jelas untuk menyerang. Dan rasa curiga itu terus menerus “dipupuk” tanpa tahu untuk apa dan kenapa harus curiga.

Lalu siapa yang memprovokasi dan meng-infiltrasi mereka? Yang membuat suku Hutu menjadi pelaku genosida, yang menjadikan masyarakat Indonesia menjadi pembantai sesamanya yang berlabel PKI, yang membina konflik di Maluku agar terus terjadi…

Yang jelas kata Bu Guru Komunikasi Antar Budaya, cara menghindari konflik antar budaya adalah dengan melakukan komunikasi yang ber-empati dan ber-simpati…

Bagaimana caranya? Tanya aja sendiri, wong gw juga bingung wakakakakkkkk….


Sency, 20 Agustus 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Upacara Bendera

21.13 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

“Pemirsa, saat ini kita bangsa Indonesia, telah berhasil membuktikan… Bahwa kita sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, telah berhasil memecahkan rekor dunia!!!
Pemecahan rekor menyelam dengan jumlah terbanyak, lebih dari dua ribu penyelam berpartisipasi dalam ajang ini. Esok hari, 17 agustus pukul tepat pada pukul 10 WITA diharapkan kita akan kembali memecahkan rekor dunia, dengan mengadakan upacara kenegaraan di bawah air, yang pertama kali dilakukankan di dunia…”, sambil sesekali tercekat menahan emosi bangga yang memenuhi serambi paru nya, seorang reporter televisi swasta melaporkan siaran langsung dari bawah air di perairan Malalayang, Sulawesi Utara.

Gelembung udara dan minimnya oksigen tak menghalangi sang reporter untuk terus melaporkan peristiwa bersejarah itu. Dan saya yakin, di antero penjuru Indonesia, beragam etnis, suku dan ras masyarakat, turut menitik haru menyaksikan detik demi detik moment itu berjalan.

Eforia penyambutan HUT kemerdekaan bergema di empat arah angin negeri; di puncak Mahameru yang berada pada ketinggian lebih dari enam ribu meter, bendera merah putih dikibarkan dengan penuh hikmat. Siluet sang saka tertiup angin, dengan latar matahari di atas awan, seolah menghapus segala lelah usai dua hari pendakian. Puncak tertinggi di pulau jawa ini, menjadi bukti semangat anak muda untuk terus mengumandangkan Indonesia Raya.

Ditebing yang curam dan sepi, puluhan kaki tertapak kuat di dinding cadas, otot-otot tangan mengeras menggenggam erat tonjolan sedimen yang telah membatu ribuan tahun. Paku-paku ditancapkan dicelah-celah karang, sebagai pengait bendera yang berukuran hampir seperempat lapangan bola. Membentangkan kain lambang pemersatu jiwa

Di kampung-kampung, ratusan pohon pinang ditancapkan dengan baluran minyak pelicin di sekujur tubuhnya, aneka hadiah dipajang di puncak menaranya, dengan tetap mengaitkan sebatang bambu kecil sebagai pengikat bendera merah putih.
Di berbagai daerah, anak-anak berpakaian adat tradisional mengikuti pawai karnaval yang digelar oleh sekolahnya, sambil tak ketinggalan menggenggam erat bendera plastik mini, juga berwarna merah putih.

Semua berbangga, semua bersatu, semua bahu membahu, tanpa pandang bulu, berasal dari daerah manakah kawannya, marga apakah dia, asli pribumi atau keturunan, etnis mayoritas atau minoritas dll. Semua sekat-sekat pemisah langsung runtuh, begitu mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang dan kibaran bendera yang perlahan naik.

Tak ada egoisme suku, individualitas golongan, atau eksklusifitas agama. Semua merasa satu; satu nusa, satu bangsa, satu negeri; Indonesia.


Tapi usai upacara kemerdekaan berakhir

Ah, saya tidak mau meneruskannya…
Biarlah kebanggaan yang tertanam di sanubari anak bangsa itu tetap terpendam dalam, bersama rasa optimisme untuk terus membangun negeri. Biarlah anak-anak bangsa yang memiliki idealisme itu terus berjuang, dengan sepenuh hati membesarkan Ibu pertiwi.

Saya tidak mau menjadi pemadam semangat membara itu, dengan mengutip;
Pengamat hukum yang bercerita tentang korupsi diberbagai lini
Pemerhati keamanan yang memprediksi teror susulan
Pakar ekonomi yang meragukan keberhasilan pengentasan kemiskinan
Ahli sosial yang menuliskan maraknya anak jalanan
Ilmuwan pendidikan yang mempertanyakan sekolah gratis
Politikus yang meneriakkan ancaman disintegrasi bangsa
Dan para seniman yang meragukan “kemerdekaan” Indonesia

Saya juga tidak mau melontarkan joke
Tentang bagaimana puluhan pemuda adat di pulau kepala burung papua
Mengadakan upacara di dataran bukit sebuah pinggiran hutan
Koteka, tombak, dan busur beserta anak panahnya sebagai seragam seremoni
Sebuah bendera terlipat siap dikibarkan
Dan sesaat usai terbentang lebar
Ternyata bukan merah putih yang selama ini kita kenal
Tapi lambang bintang kejora…
(ah, ada-ada aja kawan kita di papua itu….)

Biarlah, di hari nasional nan sakral ini…
Kita berprasangka baik terhadap seluruh saudara-saudara kita
Bahwa mereka tidak akan mengkhianati makna kemerdekaan yang sudah diraih
Dan berjanji pada diri sendiri, untuk juga tidak mengkhianatinya


Note:
Salut buat Tim Live Sail Bunaken dan Ekspedisi Mahameru SCTV, yang telah sukses meneruskan tradisi penyambutan HUT kemerdekaan. Semoga bonus menanti anda (dan juga teman2 yang lain tentunya hehehe…)


Celesta, 18 Agustus 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Juara Tarik Tambang Tanpa Piala…

10.32 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Betul-betul hari yang menyenangkan….
Perayaan 17 agustus masih seminggu lagi, namun suasana riang tampak di taman komplek nan mungil ini..
Puluhan anak-anak kecil berlari memegang sendok berisi kelereng, kemudian dilanjutkan lomba makan krupuk, sangat sangat meriah…

Para mbak alias pembantu rumah tangga pun diberi lahan unjuk kebolehan, berkerumun di ember merah untuk berebut memegang belut dan membawanya ke ember lain yang masih kosong, tentunya dengan adegan kocak belut-belut berjatuhan karena licin…

Sore harinya, giliran ibu-ibu yang sebagian diwaktu kerjanya berprofesi sebagai sekretaris, manajer, karyawan dari beragam perusahaan bersaing menginjak-injak balon yang diikatkan dikaki lawan, siapa yang bisa menjaga balonnya tetap utuh, dialah pemenangnya, lalu mereka bersaing adu ketelitian memasukkan pensil ke dalam botol, seperti anak-anak kecil, lucu banget…

Dan sebagai penutup pesta tetaplah didominasi kaum adam yang beradu fisik, saling tarik, saling memperkuat kuda-kuda kaki di tanah, agar lawan bergeser melewati garis batas… Yap, tarik tambang adalah lomba yang paling sempurna…
Karena memamerkan sisi macho laki-laki untuk unjuk kekuatan tanpa menyakiti lawan, dan diiringi teriakan anak istri yang menyemangati sang suami agar kuat bertahan…
Dan blok kami menjadi juaranya!!!

Ya, tradisi rutin tahunan yang telah membudaya selama berpuluh-puluh tahun sejak Indonesia merdeka, saya tidak faham sejarah kapan untuk pertama kalinya perayaan HUT Kemerdekaan RI diramaikan dengan lomba-lomba antar warga.

Tradisi adalah bagian dari budaya hasil pikiran, cipta dan karya manusia.
Kitalah yang merawatnya, mengajarkan ke generasi berikutnya, lalu anak cucu itulah yang kelak akan melestarikannya. Jika kita gagal mengajarkan, dan anak-anak kita tidak tergoda untuk tahu tentang nya, maka hilangnya sebuah budaya tinggal menunggu waktu.

Sebuah desa besar bernama dunia dengan beragam asimilasi budaya yang menyatu dan membentuk budaya baru yang disepakati bersama, berpotensi menghilangkan budaya awal yang pernah berjaya dimasa lalu.

Kebaya berganti kaos, kain sarung atau jarik berganti celana.
Blankon berganti topi, peci pun berganti tutup kepala ala Bob Marley.
Tulisan jawa sudah tidak diajarkan di sekolah negeri.
Bahasa daerah pun menghilang berganti hasrat belajar bahasa inggris.

Bahasa menyatukan dunia.
Bahasa menyatukan budaya.
Bahasa juga menyatukan selera, keinginan, pikiran bahkan makanan.

Kalo dulu, banyak orang merasa belum makan, kalo belum menelan nasi
Sekarang perlahan-lahan bergeser, makan siang yang paling sesuai adalah burger
Karena tidak terlalu berat menunya, dan gak bikin ngantuk akibat kekenyangan.
Warung tegal pun dianggap hanya buat warga kelas buruh, kalo kelas karyawan lebih bergengsi kalo makan spaghetti ato ayam di restoran berlisensi asing.
(padahal apa beda buruh dan karyawan, toh sama-sama kerja untuk orang hehehe…)

Sekolah-sekolah berlomba-lomba mencantumkan status internasional
Bahasa inggris menjadi bahasa kurikulum
Guru-guru pun dipilih yang fasih cas cis cus inggris, walau terkadang melupakan kompetensinya sebagai seorang guru.
Anak-anak pun sedari kecil dididik melatih lidahnya agar tidak medhok dan menghapus aksen daerahnya.

Sebuah kata bijak menuliskan bahwa “martabat suatu bangsa dinilai dari budayanya”
Pertanyaannya adalah budaya apa?
Untuk membangun tembok raksasa di Cina, mengorbankan ratusan ribu jiwa untuk merealisasikan mimpi itu.
Untuk membangun kemegahan arsitektur di amerika, ratusan warga dunia belahan lain harus rela berperang dan kelaparan, karena pejabatnya korupsi demi membiarkan perusahaan asing mengeruk sumber daya alamnya tanpa bagi hasil yang sesuai.
Untuk membangun hegemoninya, negara-negara eropa menjajah negara-negara di benua asia dan afrika.

Entah kenapa aku merasa sangat bahagia siang tadi…
Tradisi silaturahmi dengan berbagai permainan yang sederhana, yang dulu sempat aku kritisi karena kuanggap tidak penting dan kampungan, kini berubah warnanya menjadi ceria.
Aku tiba-tiba rindu untuk bermain “jamuran” saat bulan purnama, atau main petak umpet sambil berteriak dengan bahasa banyumasan yang ngapak.
Aku tiba-tiba merasa berdosa karena tidak pernah sedikitpun mengajarkan bahasa daerah ke anakku, bahasa banyumas dari sang ayah, atau bahasa kromo inggil dari sang ibu.

Kendati sebagai juara tarik tambang, tak ada piala yang kami dapat.
Tapi aku memperoleh hadiah yang lebih besar dibanding nilai piala itu, bahkan sangat jauh lebih besar.
Sebuah kesadaran bahwa ternyata masih banyak warga negeri ini yang menikmati indahnya budaya sendiri.
Sebuah kesadaran bahwa ternyata kita memang merindukan budaya asli kita, yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan.
Dan sebuah kesadaran bahwa bukan hal yang mustahil bahwa sebelum kita meninggal, kita tidak akan bisa menyaksikan langgengnya budaya itu, jika anak-anak kita tidak pernah diperkenalkan pada budaya itu.

Semoga di kampung atau komplek lain, akan lebih banyak budaya-budaya asli yang terlestarikan jauh dibanding apa yang kami lakukan.

Jayalah Negeri ku
Banggalah pada budaya sendiri…

Sency, 10 Agustus 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Pom Bensin Merah Abu-abu, Hijau, Kuning, terussss…..

10.15 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Bersepeda adalah sarana transportasi yang irit sekaligus menyenangkan, karena lebih santai dan rileks saat menyusuri jalanan. Yap, sepanjang jalanan dari arah Graha Raya menuju Bintaro, hal yang paling kusukai adalah menikmati warna-warni tanaman di pinggiran jalur, lalu menyaksikan gedung-gedung yang tengah berkembang, dan satu lagi, ini mungkin agak berbeda, membandingkan pom bensin-pom bensin yang terlewati.

Masih didominasi oleh pemasar nasional tentunya, tiap beberapa kilometer selalu bertengger pom bensin PERTAMINA yang megah dengan warna merah abu-abu sebagai ciri khasnya. Dengan beragam aksesorisnya, ada pom bensin + ATM, ada yang + kafe, restoran dan lain-lain.

Namun kini diantara warna yang sudah kuhapal itu, terselip pom bensin berwarna hijau dengan logo kuning menyala bertuliskan PETRONAS, sesuatu yang beberapa tahun silam tak mungkin kita dapati di seluruh kota negeri ini.

Kondisinya bangunannya lebih mewah, bersih, dan luas, sangat nyaman untuk memuaskan pelanggan yang datang. Tapi entah kenapa, suasananya masih sangat sepi, mobil yang masuk pun hanya satu – satu. Trenyuh juga melihat puluhan karyawan yang setia berdiri menanti datangnya pelanggan, mencoba menawarkan senyuman yang sudah terlatih untuk memikat hati pemilik kendaraan, namun tak kesampaian. Terkadang mereka duduk bergerombol, sekedar membuang waktu sambil ngobrol, karena memang nyaris tak ada pelanggan yang harus dilayani.

Tapi kalau dipikir lebih mendalam, rasa syukur harus dipanjatkan, karena sepinya pom bensin milik negeri tetangga itu, juga menjadi bukti tingginya nasionalisme masyarakat untuk tetap membeli produk yang dijual oleh perusahaan nasional.

Tapi kalo dipikir lagi, sebenarnya mungkin itu bukan nasionalisme, itu hanya karena kebetulan saja. Sebuah kebetulan karena harga yang dijual pertamina lebih murah dibanding harga pom bensin asing seperti Petronas atau Shell. Ya, hingga saat ini pemerintah indonesia masih memberi subsidi hingga ratusan triliun untuk bahan bakar konsumsi kendaraan pribadi. Negara masih “menyuapi” orang kaya yang bermobil, bahkan bisa jadi subsidi minyakl untuk orang kaya nilainya jauh lebih besar dibanding subsidi untuk warga kelas menengah ke bawah yang biasanya menggunakan sepeda motor sebagai sarana transportasi.

Beberapa hari lalu, sebuah media cetak terbesar memberitakan hasil wawancara dengan seorang pengamat ekonomi, yang mengatakan bahwa “mungkin sudah saatnya, masyarakat indonesia membeli BBM dengan harga dunia, sehingga subsidi untuk konsumsi yang bernilai ratusan triliun bisa dialokasikan ke bidang lain yang lebih produktif”.

Saya yakin, pasti akan terjadi pro kontra di kalangan pengamat ekonomi. Yang pro mungkin akan bilang, bahwa pengalihan subsidi ke bidang produktif akan menggerakkan roda perekonomian yang selama ini banyak menemui hambatan, seperti infrastruktur dll. Yang kontra bisa jadi akan mengatakan, bahwa kenaikan harga BBM mengikuti harga dunia akan memberatkan masyarakat kecil, yang saat ini juga sudah susah hidupnya.

Demonstrasi mendukung dan menentang kenaikan harga BBM sudah jamak terjadi di negeri ini bukan?? Yang pro biasanya “oknum demonstran” sedang yang kontra adalah “demonstran beneran” hehehe…

Terkadang saya membayangkan, perubahan apa yang akan terjadi jika pemerintah menghentikan subsidi BBM untuk jenis premium dan solar produk Pertamina. Artinya harga jual BBM yang dijual oleh pom bensin milik Pertamina akan sama tinggi dengan harga di pom bensin milik Petronas dan Shell.

Bisa jadi kelak pom bensin asing akan lebih ramai dibanding pom bensin nasional.

Sambil mengayuh sepeda, saya jadi berpikir, kenapa pemerintah mengeluarkan UU yang mengizinkan perusahaan asing juga menguasai penjualan BBM pada masyarakat. Dulu dengan alasan tiadanya modal dan teknologi, pemerintah menyerahkan penambangan minyak dan gas pada perusahaan asing. Jadi kedepan, penguasaan hulu dan hilir energi di negeri ini, bisa jadi akan dimiliki asing.

Saya tidak tahu apakah beberapa tahun kedepan, saat bersepeda menyusuri jalanan Graha Raya – Bintaro, karyawan pom bensin warna hijau akan lebih sibuk dibanding karyawan pom bensin warna merah abu-abu…

Entahlah…..


Sency, 8 Agustus 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

I Love You Full

05.43 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Tagline yang meresap di alam bawah sadar kita, tatkala mengenang Alm. Mbah Surip adalah “I Love You Full”, kalimat yang selalu diucapkannya, disetiap akhir pembicaraan, apapun tema nya. Susunan 4 kata yang setiap orang pasti tahu artinya, karena 3 kata pertama adalah sebuah ungkapan romantis antara dua insan lawan jenis tatkala memadu kasih, yang hampir semua orang pernah mengalaminya. Dan jika ada yang belum pernah merasakan, pasti sudah sering mendengar kisahnya.

I Love You Full, jika diterjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia, mungkin bisa diartikan Aku Cinta Kamu (dengan se) Penuh (hati). Mari kita urai satu per satu kalimat nan penuh makna ini.

I adalah Aku (sebagai subyek pelaku)
Love adalah Cinta (sebagai predikat atau pelaksanaan kegiatan)
You adalah Kamu (sebagai obyek)
Full adalah se-Penuh hati (sebagai keterangan yang menyangatkan)

Menurut saya, kata yang paling dalam untuk dimaknai adalah Love (cinta) dan Full (sepenuh hati), karena disinilah letak totalitas manusia dalam menjalankan kehidupannya.

Mari kita coba ubah subyek dan obyek dengan kata lain. Sedangkan predikat dan keterangan masih tetap. Misalnya :
Jika Aku sebagai subyek diganti Orang tua
Kamu sebagai obyek diganti Anak
Maka akan menjadi kalimat “Orang tua Cinta Anak dengan sepenuh hati”

Jika orang tua cinta anaknya dengan sepenuh hati, maka pertanggungjawaban social dari orang tua akan dilakukan dengan benar, sehingga tidak akan ada lagi anak jalanan yang berkeliaran dipinggir jalan tanpa tahu siapa keluarganya (menurut Departemen Sosial, hingga akhir 2008 jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 109.454 anak; Kompas, 6 Agustus 2009). Tidak ada lagi anak yang kekurangan gizi karena ayahnya lebih memilih membeli rokok untuk menyenangkan hasratnya daripada membelikan susu atau makanan bergizi bagi sang buah hati.

Jika Aku sebagai subyek diganti Pemerintah
Kamu sebagai obyek diganti Rakyat.
Maka akan muncul kalimat “Pemerintah Cinta Rakyat dengan sepenuh hati”.

Pemerintah cinta rakyat, bisa jadi hanyalah sebuah slogan kosong kampanye. Tapi jika ternyata pemerintah dengan sepenuh hati mencintai rakyatnya, maka semua program pembangunannya pastilah bertujuan mensejahterakan masyarakat. Tidak akan ada pejabat yang korupsi, jika dia bekerja dengan sepenuh hatinya. Hati menjadi landasan untuk menjaga rasa cintanya, agar tetap cinta. Jika memang pemerintah mencintai warganya dengan sepenuh hati, pastinya tidak akan terjadi penelantaran TKI di kolong jembatan Jeddah, Arab Saudi hingga berbulan-bulan lamanya. Dan tidak akan ada lagi Halimah-halimah lain yang harus meninggal di negeri orang, dalam kesengsaraan tanpa pengobatan medis.

Atau kita ubah susunan katanya dengan kata yang lain lagi.
Subyek Aku diganti dengan kata “orang kaya”
Obyek Kamu diganti dengan kata “orang miskin”
Akan muncul kalimat, “orang kaya cinta orang miskin dengan sepenuh hati”.

Jika itu terjadi, maka tidak akan ada lagi keluarga miskin yang harus menangis malu karena tidak tega melihat anaknya putus sekolah gara-gara belum bayar SPP, atau bayi-bayi minum ASI yang kekurangan gizi karena ibunya hanya makan nasi aking setiap hari, tanpa protein dan vitamin penunjang.

Orang kaya yang cinta orang miskin dengan sepenuh hati, akan ikhlas menyisihkan sebagian hartanya bagi orang lain. Dia rela mengorbankan sedikit kesenanganya, demi melihat kebahagiaan obyek yang dicintainya. Ratusan ribu uang untuk biaya nongkrong di kafe, atau bergoyang di diskotik selama beberapa jam bagi orang kaya, mungkin nilainya sama dengan biaya SPP anak miskin selama setahun atau sekedar beli telur berprotein bagi keluarga miskin selama berbulan-bulan.


Ya, cinta dengan sepenuh hati…
Manusia yang cinta kepada Tuhannya dengan sepenuh hati, akan rela meluangkan waktu tidurnya untuk duduk bersimpuh memanjatkan doa dan pujian, berkomunikasi dengan sang khaliq agar tetap dibukakan pintu hidayah dalam menjalani kehidupannya.

Seorang teroris yang cinta pada Sang Pencipta dengan sepenuh hati, pastinya tidak akan merusak manusia lain hasil ciptaan sang Khaliq dengan cara yang kejam dan mengerikan. Dia juga tidak akan membunuh dirinya sendiri, sebelum diizinkan oleh Tuhan untuk kembali padanya dalam keadaan khusnul khotimah.

Jika Israel cinta Palestina dengan sepenuh hati, pasti tidak akan ada bom fosfor yang dijatuhkan guna merenggut nyawa ribuan penduduk sipil di Gaza (mungkin gak yaa???)

Jika pelaku kriminal cinta korbannya dengan sepenuh hati, maka tidak akan pernah terjadi pembunuhan sadis dengan bumbu mutilasi.(ada gak pelaku kriminal yang cinta ama korbannya? hehehe)

Ya, cinta dengan sepenuh hati…
Siapapun subyek dan obyeknya akan membuat manusia ikhlas dan rela berkorban.
Kebahagiaan si subyek adalah dengan melihat obyek yang dicintainya bergembira.
Kebahagiaan si obyek adalah dengan menunjukkan bahwa pengorbanan cinta dari subyek tidak sia-sia.

Ya, cinta dengan sepenuh hati…
Adalah cinta yang tulus tanpa ada pengkhianatan terhadap makna cinta itu sendiri
Atau jangan-jangan I Love You Full ala Mbah Surip, dibaca oleh orang tua, pemerintah, orang kaya dan beragam subyek lainnya, sebagai I Love You Fool alias Aku Cinta Kamu, Bodoh!!!
Sebuah cinta yang memang dimaksudkan oleh subyek hanya sekedar sebagai lip services, yang memang bertujuan untuk merendahkan, meremehkan dan menipu obyek nya.

Mbah Surip, I Love You Fool eh Full… Ha Ha Ha Ha Ha……


Celesta, 6 Agustus 2009

Dwi firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Ruang Studio

05.42 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Ruang studio awalnya adalah sebuah ruangan yang besar, kosong dan sepi.
Manusialah yang kemudian mengisinya menjadi sebuah ruang dekoratif warna-warni,
aneka cahaya berpendar, beragam aktor menari, dan teknologi tinggi menyelimuti.

Art Director mencipta keindahan suasana
Lightingman mendramatisasi dengan warna
Audioman memukau dengan suara
Cameraman melukis dengan cahaya
Director mengelola semuanya

Seperti manusia,
ada tangan yang mencoret kertas,
ada telinga yang mendengar getar suara,
ada hidung yang mencium aroma,
ada mata yang memilah warna,
ada mulut yang mengolah kata
ada kaki yang menapak kehidupan
semua diatur oleh sang sutradara yaitu otak
dan hati sebagai asistennya.

Itulah wujud eksistensi Yang Maha Kuasa

sency, 14 April 2009

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Teman Yang Menginspirasi

20.56 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Dosenku kuliah Dinamika Kelompok mengatakan “semakin banyak kelompok yang diikuti oleh individu, maka akan semakin berkembang jaringan yang dimilikinya, akan semakin banyak ide dan gagasan yang didapat, dan akan semakin mudah merealisasikan pikiran-pikiran kita menjadi sebuah karya”

Beliau mencontohkan seorang desainer, yang punya kelompok sosial dengan sesama perancang, akan mudah menemukan trend fashion yang sedang booming. Lalu dengan berkelompok dengan model, akan mudah menemukan bentuk tubuh dan karakter wajah yang sesuai memerankan rancangannya. Dengan membentuk kelompok bersama para penjahit, akan menemukan jenis kain dan aksesoris yang mudah diaplikasikan dalam karyanya. Dan dengan berkumpul bersama pelanggannya, maka akan tahu pangsa pasar yang menjanjikan bagi bisnisnya.

Beliau juga menunjukkan publik figur yang sangat dikaguminya, BJ Habibie, sebagai orang yang pandai berinteraksi dengan orang lain dan memiliki banyak kelompok dari berbagai kelas masyarakat. Menurut beliau, Habibie memiliki sekitar 70 kelompok atau organisasi semasa akitif berkegiatan; dari kelompok studi sains sampai kelompok pemikir keagamaan. Dari kelompok tokoh masyarakat daerah sampai kelompok pejabat politikus.

Hmmm, boleh juga penjabaran dari teori dinamika kelompok itu.

Sebagai manusia yang dikaruniai otak dengan IQ pas-pasan seperti aku, peranan teman memang banyak sekali dalam mempermudah hidup ini. Teman dikantor misalnya, banyak membantu menyelesaikan tugas-tugas yang ribet, mengajari teknologi broadcasting terbaru yang tak mungkin kupelajari secara otodidak, mengajak berdiskusi tentang tema sosial yang berat kupelajari, sampai mendorong agar tetap semangat dengan nongkrong minum kopi, sampai merayu atasan agar menaikkan gaji (bisa gak yaaa??? Hehehe)

Di kampus, banyak teman yang bisa diminta email contoh tugas yang udah dia kerjakan, membuat tanda tangan absensi palsu saat malas masuk, sampai memberi contekan saat ujian. Namun banyak juga yang mengajarkan untuk tetap optimis dan jujur dalam belajar (kalo yang ini sindirannya dalam banget hehehe). Banyak romantika dalam berkelompok, namun ada satu nasehat penting dari salah satu teman kampus yang tercatat dalam otakku “belajar adalah mendewasakan cara berpikir”, entah apa maksudnya? Tapi dia sangat yakin dengan prinsip tersebut dan berusaha menjalankannya.

Di rumah, obrolan-obrolan ringan dengan tetangga satu RT, membentuk komunitas kelompok yang kompak, dari komplain rame-rame satpam tentang keamanan komplek, protes air PAM yang kadang keruh, sampai nitip anak ke tetangga saat kita bekerja.

Di facebook, ada kelompok online yang saling berbagi comment tentang status dan note yang diupload, terkadang penting isinya, terkadang lucu dan gak nyambung, namun yang terpenting adalah adanya pengakuan berupa perhatian terhadap pesan yang dikirim. Ada kepuasan hati saat membaca comment & like. Berarti ada yang peduli terhadap pesan, walau tidak penting untuk tahu bagaimana dampaknya bagi komunikan. Narsis dot com hehehe…

Secara teori, kelompok adalah sekumpulan individu informil yang berkomunikasi untuk mencapai tujuan yang sama, ada saling ketertarikan dan kebutuhan, tak ada pemimpin baku, dan semua kesepakatan berdasarkan peranan masing masing.

Kelompok tidak dibentuk berdasarkan struktur, dia terbentuk karena ada kebutuhan. Kebutuhan untuk saling berbagi informasi, sharing adu argumentasi tentang suatu tema, atau sekedar mengisi waktu luang.

Suatu kelompok berasal dari sebuah pertemanan yang jujur, karena tak ada ikatan formal yang membuatnya untuk tetap bertahan. Tak ada keuntungan materi secara langsung, dan memang bukan itu tujuannya.

Banyak memiliki kelompok secara otomatis akan memperbanyak teman. Jika satu teman saja sudah banyak membantu mempermudah hidup kita, berarti banyak teman akan membuat hidup semakin-semakin mudah.

Terima kasih teman, jasamu tiada tara.
Engkau adalah pahlawan tanpa tanda jasa (guru kaleeee hehehe)


Sency, 4 Juli 2009

Dwi Firmanyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Koordinasi Gampang Susah...

20.48 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Bola itu dilemparkan dengan terarah oleh sang kiper pada swing back, yang dengan sedikit berlari segera diopernya pada rekan2nya di tengah lapangan, lalu dengan lincah beberapa pemain gelandang saling memainkan bola dari kaki ke kaki dengan umpan-umpan pendek, tak ada tarian meliuk yang menggiring bola sendirian, lalu pada moment yang tepat, sang striker menyambut bola dari pemain dibelakangnya, mengocek bola sendirian, karena merasa tak mampu keluar dari kepungan pemain bertahan lawan, segera ditendangnya bola ke arah pemain gelandang lain yang berdiri bebas didekat gawang, dan goooooolllll…

Yap, koordinasi yang efektif dari kaki-kaki seringkali lebih produktif dibanding kumpulan bintang pada sebuah klub raksasa sepakbola. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa kualitas individu juga sangat mempengaruhi hasil suatu output. Namun juga tak dapat diremehkan, bahwa seorang bintang sangat identik dengan egoisme pribadi, terkadang membuat dia merasa sebagai point of view dari semua mata penonton di stadion, ego itu yang membuatnya berusaha mempertontonkan kemampuan tariannya sendirian dan melupakan kerjasama tim.

Koordinasi adalah kunci dari semua pemecahan masalah, jika kita tak mampu berpikir sendirian, maka bukalah otak kita untuk menerima ide dan saran dari rekan kerja. Koordinasi adalah sesuatu yang sangat sederhana, cukup dengan meluangkan 1 menit berkirim sms, atau beberapa detik mengingatkan informasi, atau membuang sedikit pulsa dengan cara menelepon, akan menghindarkan dari sebuah kerugian yang besar. Koordinasi yang baik akan merubah modal atau SDM yang rendah nilainya, menjadi sebuah hasil produksi yang berkualitas tinggi.

Pernahkan anda merasa kesal karena pekerjaan tim yang harusnya bisa segera diselesaikan tiba-tiba jadi terhambat gara-gara ada satu orang yang “hilang” tanpa alasan dan saat muncul, dia hanya tersenyum kecil tanpa nada penyesalan, lalu berkata “kan minggu kemarin gw udah bilang ada acara keluarga” sambil berharap orang lain memahami urusannya.

Atau kita menemukan klien yang marah-marah karena deadline yang dijanjikan gagal terpenuhi, karena ada bagian kecil proyek yang lupa dikerjakan oleh salah satu tim kita, dan merusak kredibilitas semuanya.

Atau pada rolling shift kerja, ternyata pada jam pergantian waktu, si karyawan dan si pengganti justru tidak ada dikantor, karena yang satu pulang ontime dan berharap si pengganti datang ontime juga, sedangkan si pengganti yang terlambat berpikir bahwa karyawan shift awal akan menunggu dirinya sebelum pulang.

Dalam sebuah tim kerja, kehilangan 1 orang bisa jadi bukan masalah besar, asalkan diberitahukan sebelumnya, sehingga dicari orang lain yang bisa menggantikan.

Pun, sebuah bagian proyek yang sederhana, bisa jadi akan mudah dirangkap tugaskan pada kawan se tim, asal diinformasikan sebelumnya, sehingga si kawan tidak terburu-buru dalam mem back up nya.

Demikian juga dalam pertukaran shift, 30 menit adalah bukanlah waktu yang lama untuk menunggu, asal yang datang terlambat, menelepon keterlambatannya.

Kekacauan diatas seringkali terjadi, dan penyebabnya sangat sederhana yaitu “mis-koordinasi”. Yang satu mengharap orang lain memahami dirinya, sehingga dia merasa tidak perlu meng“informasi”kan, dan yang lain berpikir, mana mungkin saya tahu tanpa diberitahu sebelumnya.

Yap, koordinasi adalah hal kecil yang berdampak besar.

Berharap orang lain sudah paham tentang tugas nya, sehingga dirinya lalai untuk mengingatkan kembali, adalah hal yang paling sering terjadi.

Beberapa hari lalu ada satu contoh kecil bagaimana sebuah miskoordinasi merusak kualitas produk. Di sebuah stasiun televisi, suatu tayangan program berita yang sudah berjalan bertahun-tahun tanpa masalah, tiba-tiba muncul dengan gambar presenter yang siluet, alias tanpa cahaya, lalu sang presenter pun terbata-bata membaca naskah berita seolah masih jetleg.. Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah karena ada kru baru sehingga tidak tahu job desk nya? Atau karena ada kesalahan teknis sehingga lighting terlambat menyala? Atau presenternya masih baru sehingga grogi?

Usut punya usut, ternyata hal diatas bukanlah penyebabnya. Semua kru yang saat itu bertugas adalah profesional yang menguasai job nya dengan baik. Tak ada kerusakan teknis yang terjadi, dan tak ada human error. Penyebabnya adalah hal yang sangat-sangat sepele; produser lupa mengingatkan program director tentang program yang akan tayang, PD pun lupa mencek ulang rundown sehingga salah perintah pada kru studio, lalu presenter yang sudah standby tidak mendapat informasi jam tayang program tersebut.

Saling berharap rekan kerjanya sudah tahu semua informasi, sehingga lupa untuk cek n ricek, dan cenderung malas bertanya, menjadikan koordinasi berantakan. Ya, kekacauan itu disebabkan masalah koordinasi yang tidak berjalan efektif.

Kalau sang produser sebelum siaran menginformasikan dan mengingatkan kembali pada PD bahwa jadwal siaran adalah program A dan jam tayang adalah waktu B, terus PD melanjutkan informasi tersebut ke presenter, cameraman, dan lightingman, maka kekacauan itu tidak akan pernah terjadi.

Tapi yang terjadi adalah produser lupa menginformasikan ke PD, karena mengangap PD sudah memahami rundown, yang ternyata salah dipahaminya.
Lalu PD memperkirakan bahwa programnya adalah A dan ternyata program B, sehingga salah memberi perintah pada tim nya.

Inti permasalahan adalah “kemalasan” untuk memberi informasi secara detil dan berulang-ulang, dan “kemalasan” untuk bertanya informasi yang benar, sehingga lebih suka memperkirakan saja. Tidak ada cek n ricek.

Ciri-ciri masyarakat Indonesia yang memiliki budaya komunikasi konteks tinggi (high context culture) adalah menyepelekan cek n ricek, malas berkomunikasi yang langsung pada inti masalah (to the point), lebih suka menyindir dengan bahasa halus dari pada menegur secara langsung, dan lebih suka memperkirakan daripada bertanya karena takut dianggap bodoh.

Dan hal-hal diatas adalah alasan mengapa “koordinasi” menjadi hal yang sangat susah dilakukan oleh masyarakat kita.

Coba dengarkan keluhan ini:
“Apa susahnya sih telpon dulu??”
“Dari tadi bilang kek, jadi gw gak salah ngerjain!!”
“Kalau emang tidak bisa masuk bilang dong, jadi bisa dicari penggantinya, jangan diam aja lalu tiba-tiba bilang ada acara keluarga, emang acara tidak direncanakan apa??”.
“Sorry, aku pikir kamu yang liputan di bekasi, ya udah dech, sekarang kamu bergeser dari tangerang ke tkp di bekasi” (padahal jalanan macet total).
“Gila kali yaa, si bos udah dikasih tahu jauh-jauh hari, diam aja. Sekarang giliran waktu mepet gini, baru gw disuruh ngerjain, terpaksa gw tolak. Emang gw superman apa??”.
“Maaf mas, acaranya kan masih minggu depan” kata resepsionis. “lho kok bisa, padahal saya diplotting korlip hari ini mbak??” kata reporter. (wakakakakkkkk…)

Apakah itu juga terjadi pada diri anda???


Celesta, 28 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

What Love Can Do?

13.20 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

1
Seorang sahabat lamaku bercerita tentang kegalauan hatinya, apakah dia harus menjadi seorang pahlawan yang rela melepas kekasih yang amat dicintainya untuk berpaling pada orang lain, atau mempertahankan cinta yang sudah dibangun sekian lama tapi harus melihat seseorang yang sangat dikasihinya tenggelam dalam kesedihan, karena tidak dapat bersatu dengan pujaan hatinya yang baru.

Mungkin akan sangat dilematis, menyakitkan tapi memunculkan kebahagiaan tersendiri saat melihat kekasih kita dapat bersuka cita dengan cintanya yang tulus, walau bukan dengan diri kita. Tapi tidakkah boleh kita juga bersuka cita bersama cinta pilihan kita dengan menjaga keutuhan itu.

Saya tidak tahu siapakah yang harus dianggap benar dalam kasus ini? Kawanku yang sebenarnya masih ingin mempertahankan cinta atau kekasihnya yang berani jujur mengatakan bahwa dirinya sudah tidak cinta lagi.

Saya juga tidak tahu siapa yang akan dianggap egois, kawanku yang tetap berusaha memperkuat rangkaian kisah kasih dengan seseorang yang tulus dicintainya, atau sang belahan jiwa yang berharap diberi kebebasan untuk memilih cintanya sendiri.

Menjaga sebuah keutuhan cinta adalah sebuah pengorbanan yang suci, dimana pengorbanan kita untuk sang kekasih adalah kebahagiaan itu sendiri. Namun bagaimana jika pengorbanan itu sendiri tidak dihargai sebagaimana mestinya.

Mungkinkah kita bisa hidup bahagia, saat melihat sebuah ketidak ikhlasan cinta yang selalu mendampingi, seumur hidup kita???

2
Beberapa tahun silam, sebuah kesaksian bagaimana manusia meyakinkan dirinya untuk cinta dengan segala doa dan harapan. Sebuah resepsi pernikahan sakral digelar dalam suasana biru nan indah. Sang mempelai wanita sahabatku mencoba tetap berusaha tersenyum dan menampilkan wajah ceria, saat hari yang penuh kebahagiaan itu dirinya bersanding di pelaminan suci, bukan didampingi oleh suami tercinta, tapi sang adik.

Sebuah tayangan video digelar disampingnya, untuk menunjukkan pada para tamu undangan; kawan-kawannya, teman-teman suaminya, rekanan orang tuanya dan handai taulan. Sebuah akad nikah syahdu disebuah rumah sakit, yang menyatukan dua cinta di hadapan Tuhan, beberapa saat sebelum sang suami harus menjalani operasi kanker otak. Sebuah pertaruhan medis dimana perbedaan antara sisi manusia dan sisi Tuhan sangat tipis.

Ya, dihadapan saudara, sahabat, dan kawan-kawan yang disayanginya, dia tampil tegar sendirian, menunjukkan bagaimana kekuatan cintanya mampu mengalahkan segala ego, dengan setulus hati dengan penuh harapan dan doa.

Satu per satu kawan yang datang, menyalami dan memeluknya dengan menahan titik air menetes, suasana resepsi yang biasanya diisi dengan canda tawa dan humor mesum, berganti dengan haru biru tanpa ada yang sutradara yang men-skenario-kannya. Semua orang menjadi berpikir tentang tulusnya cinta yang dimiliki sahabatku dan bagaimana tegarnya dia, saat menghadapi beban yang berat ini, sendirian.

Ya, mereka harus memerankan pergulatan cinta, masing-masing sendirian. Sang suami mempertaruhkan jiwanya demi keutuhan cinta abadi, dengan menyerahkan dirinya pada tim medis dan keajaiban Tuhan, sang istri memerankan dirinya dalam wajah keceriaan cinta dalam sebuah resepsi, sendirian, kendati hatinya diliputi kekalutan.

Ya, cinta adalah sebuah ketulusan dimana kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada pasangan kita, atau pada diri kita sendiri.

Ah, cinta….


Celesta, 29 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label: