Horeka, Effort Telah Kembali…

09.38 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Kawanku ini memang luar biasa, energinya nyaris tak ada habisnya, ide-ide nya tampak selalu brilian, out put nya juga fantastis, padahal di perusahaan sebelumnya dia hanyalah karyawan biasa-biasa aja, tidak ada yang lebih, walau juga tak kurang. Sangat-sangat standar kalau dibanding karyawan lainnya.

Namun kini dia seolah berubah jadi bintang, entah tukang sulap mana yang bisa mengubahnya menjadi sedemikian hebat. Yang dulu kalau pulang “teng go”, alias jam kerja abis langsung cabut, kini betah tinggal di kantor hingga larut malam. Yang dulu kalo suruh kerja angin-anginan dan harus diawasi, kini menjadi panutan bagi rekan setim nya. Apa yang bisa merubah attitude nya sampai 180 derajat??

Akhirnya dia mengakui, bahwa yang bisa membuat motivasi kerjanya sangat tinggi adalah “pengakuan”. Pengakuan dari atasan bahwa dia sebenarnya mampu dan berpotensi, yang memicu effort kerja pantang menyerah, dan membuatnya bangga untuk selalu menghasilkan karya-karya yang fantastis.

Sesederhana itu kah? Hanya sebuah pengakuan?

Yap, kebanggan diri muncul tatkala lingkungan sosial nya mengapresiasi dengan benar, tatkala sang atasan bisa mendukungnya saat hampir menyerah, tatkala rekan-rekannya mengisi celah kekurangannya dengan cermat, tatkala bawahan mencintainya dengan tulus.

“Aku sangat mencintai profesi, institusi, dan rekan-rekanku” katanya suatu hari. Dan itulah yang membuatku tidak pernah menghitung waktu saat bekerja, aku bangga bisa menghasilkan karya yang lebih bagus, aku bangga saat atasanku berkata “ini sangat luar biasa”, aku sangat bangga ketika kawan-kawanku bilang “idemu sungguh cemerlang” dan aku menjadi sangat bangga ketika kantor mengapresiasinya dengan bonus yang tak kuduga.

Satu per satu alasan yang membuatnya menjadi seperti sekarang, diceritakannya dengan antusias. Ada empat poin penting yaitu atasan, rekan, perusahaan, dan diri sendiri.

Pertama, atasan, adalah orang tua, manajer, guru, motivator dan marketer bagi anak buahnya. Dia figure yang ngemong, penuh perhatian bahkan untuk hal-hal kecil, peduli, tahu kapan saat harus men-support dan kapan harus membiarkan mandiri. Dia bukan tipe yang suka mengakui ide anak buahnya, sebagai gagasannya. Seorang atasan juga selalu meng upgrade skill dan wawasannya dengan membaca buku sehingga ruang diskusi selalu diisi dengan hal-hal yang baru. Atasan yang bisa menjadi guru terbaik, akan menghasilkan murid yang loyal. Dia juga seorang motivator yang tahu kapan harus mendorong dan kapan harus menarik.

Seorang atasan yang baik tidak harus lebih tua, dia bisa aja berusia muda asal bijak dan berwawasan. Untuk bisa mengelola anak buah, seorang atasan harus mengasah kemampuannya agar selalu satu tingkat lebih tinggi dari bawahan. Dia harus jujur dan fair, tidak otoriter dan tidak omong doang. Atasan juga harus berani menjadi bumper bagi anak buahnya jika ada kesalahan, seorang atasan yang pengecut dan rela mengorbankan anak buahnya demi prestise diri sudah selayaknya digusur dari roda pimpinan. Seorang atasan adalah fasilitator bagi perjalanan karir anak buahnya, dia menjadi marketer promosi anak buahnya.

Sangat tidak masuk akal jika ada atasan yang tidak tahu job desk dan tidak memahami teknis kerja bawahannya. (ada gak ya atasan kayak gini?? Hehehe).


Kedua, rekan kerja, adalah tim, sahabat, lawan diskusi dan sekaligus kawan brainstorming. Dia tahu kelemahan dan kekuatan partnernya, sehingga bisa saling mengisi segala kekurangan.

Rekan kerja yang kompak dan solid akan bisa menginspirasi teman yang lain untuk berusaha lebih keras dalam menghasilkan masterpiece. Ketimpangan dalam tim akan menimbulkan celah dalam karya. Dalam proses pembuatan film misalnya, seorang sutradara yang hebat tidak akan menghasilkan karya hebat jika tidak didukung kru yang hebat. Rekan kerja tidak harus menjadi teman curhat, yang terpenting adalah professional dalam kerja, dan tidak saling menjatuhkan.

Ketiga, perusahaan, adalah rumah, tempat kursus, dan periuk nasi bagi karyawannya. Menjadi rumah diwaktu kerja dengan fasilitas yang memadai dan nyaman. Menjadi tempat kursus gratis bagi karyawannya yang ingin berkembang, dengan menyediakan trainer dan gudang ilmu yang lengkap. Menjadi periuk nasi yang mencukupi standar karyawan dalam menghidupi keluarganya.

Perusahaan haruslah jujur pada karyawan. Jika ada bonus, maka bagilah dengan adil dan bijaksana, jangan membuat laporan palsu dengan mempertinggi target. Tapi jika merugi, sebisa mungkin tidak dengan menunda pembayaran gaji karyawan hehehe…

Keempat, diri sendiri, adalah yang terpenting. Sebaik apapun atasan, sesolid apapun rekan kerja dan sebesar apapun gaji dari perusahaan, jika memang dasarnya mblendezzz alias pemalas, tetap aja akan tanpa hasil. Diri sendiri adalah kunci keberhasilan. Jangan pernah menggantungkan hidupmu pada orang lain. Tidak ada dalam sejarah, seorang pengemis yang sukses menjadi hartawan. Sekali bermental pengemis, maka selamanya masa depannya akan suram.

Kebanggan diri adalah nilai tertinggi dari harga diri. Dimana kita tidak perlu menjual diri untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Berlian tetap akan berkilau kendati tersaput lumpur. Dan tugas kita sebagai manusia adalah mengasah berlian agar tetap bersinar dan membersihkan noda kekurangan dengan air ilmu pengetahuan.

Dalam diri manusia ada otak yang menjadi “penerima sinyal” dari wujud alam semesta, otaklah yang merangkai susunan bintang di langit menjadi sebuah rasi sebagai penanda arah di kegelapan malam. Juga ada hati yang menjadi power bagi otak, yang mensuplai tenaga agar otak tetap bersemangat untuk terus berpikir dan berkarya.

Yap, Rasa bangga akan menghasilkan percaya diri, yang mampu menembus segala rintangan, yang membuka tabir kesulitan dengan menemukan ide-ide yang cemerlang.

Horeka, effort telah kembali…
Maka datanglah karya-karya nan brilian


Celesta, 22 Juli 2009

Dwi firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Effort, dimanakah kau berada??

23.23 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Seorang supervisor di sebuah perusahaan swasta mengeluhkan kinerja anak buahnya yang lebih banyak berdiam diri daripada bekerja. Para buruh datang ke kantor, absen, lalu mengerjakan tugas yang diberikan atasan secara tertulis, tanpa inisiatif, tanpa semangat, mungkin hanya 40 persen dari kemampuan sesungguhnya. Jika tidak ada tugas secara langsung, mereka memilih berdiam diri di smoking room, atau sengaja bergerombol ngrumpie, intinya menghindar dari pandangan atasan, karena takut diberi tambahan beban kerja.

Dan kemalasan yang tadinya hanya dimiliki oleh sebagian kecil karyawan saja, ternyata bergerak menyebar sangat cepat, satu per satu karyawan terkena virus malas, sehingga hanya menyisakan segelintir orang saja yang masih bersemangat. Namun si karyawan rajin ini pun mulai ragu akan “kerajinan” nya. Disatu sisi dia sering disindir kawannya karena dianggap cari muka dan sok kecentilan, disisi lain dia juga mulai ragu terhadap atasannya dan mulai tidak yakin bahwa “rajin” nya akan diapresiasi dengan benar.

Si supervisor bingung menghadapi tingkah laku anak buahnya yang jumlahnya banyak dan seolah kompak dalam kemalasan, sementara si buruh juga mulai menikmati ke”santai”annya dalam bekerja karena merasa kehilangan spirit. Sang atasan ibarat ibu yang kehilangan anak-anaknya dan jadi frustasi, sedangkan sang anak buah ibarat itik yang kehilangan induknya, kehilangan arah tujuan.

Benarkah semua buruh itu malas? Kenapa menjadi malas, padahal ditahun-tahun sebelumnya mereka adalah tim yang terkenal tangguh kinerjanya, dan diakui kesolidannya oleh perusahaan lain. Apa yang merubah tim yang sangat tangguh di masa lalu, tiba-tiba berubah menjadi tim loyo dan tanpa gairah.

Kalau dilihat secara umum, sebuah tim kerja biasanya terbagi menjadi 3 sifat kelompok, yang prosentase nya berubah-ubah tergantung situasi.

Pertama, kelompok berdedikasi tinggi, bagi orang-orang ini pekerjaan adalah tantangan yang harus ditaklukkan, kerja menjadi hobi yang selalu menggairahkan. Terhadap kelompok ini atasan tidak perlu berbuat banyak, cukup mengapresiasi kinerja mereka dengan benar dan tidak menjadikannya sebagai politisasi kerja bagi kepentingan diri. Atasan bersikap fair, dan anak buah pun akan bersikap dua kali lebih fair. Karakter kelompok ini biasanya diisi oleh professional yang mumpuni dibidangnya, sehingga akan banyak tawaran “side job” dari perusahaan lain. Jika perusahaan tidak mampu memberi income yang sesuai, sang atasan cukup mengingatkannya agar tetap professional dalam membagi waktu kerja dan side job.

Kedua, kelompok biasa-biasa aja, biasanya jumlahnya mayoritas dalam sebuah tim, yaitu jenis karyawan yang memiliki kemampuan individu yang standar, kinerjanya sangat tergantung kemampuan atasan dalam mengelolanya. Jika dikelola dengan benar, mereka akan berubah menjadi karyawan yang berdedikasi tinggi, mau belajar meng upgrade skill, tertarik untuk berkembang kearah yang lebih tinggi, dan merasa bangga jika berhasil menyelesaikan tantangan dari atasan. Namun, tipe ini bersifat sangat labil karena jumlahnya banyak, jika mereka merasa tidak dipedulikan, tidak diapresiasi, bisa berubah menjadi karyawan yang malas. Kemampuan atasan dalam berkomunikasi dan memahami karakter tiap individunya sangat penting. Terobosan atasan untuk memfasilitasi proses pengembangan kemampuan diri karyawan sangat dibutuhkan, karena tipe ini cenderung bukan orang yang mampu belajar secara otodidak. Intinya kelompok tipe ini adalah sebuah emas yang belum terasah, sehingga membutuhkan dorongan yang besar untuk menggiringnya maju.

Ketiga, kelompok pemalas, tipe ini memang sudah dari lahirnya menjadikan kerja hanya sebagai sumber penghasilan. Baginya hanya mengerjakan tugas pokok yang dibebankan, itu sudah cukup. Kelompok ini biasanya berkarakter gampang mengeluh, suka menuntut, tidak mau belajar, susah menerima masukan orang lain dan terkadang sok tahu karena merasa sudah berpengalaman. Tapi kelompok ini sebenarnya cemas dengan dirinya sendiri, terkadang dia gelisah melihat persaingan dalam kelompok dan merasa kalah. Dia juga takut akan menjadi korban jika ada perampingan karyawan perusahaan. Titik takut dan cemas inilah yang sebenarnya bisa memaksa mereka mengatasi kemalasannya. Sedikit ancaman akan bisa merubahnya menjadi karyawan yang berkinerja standar, sehingga seorang atasan harus pandai-pandai memanfaatkan celah ini


Lalu bagaimana jika kelompok pemalas ternyata menjadi mayoritas?? Dalam konteks ini perusahaan harus intropeksi diri, karena secara teori, jumlah mayoritas harusnya diisi karyawan berkinerja standar. Terjadinya pergeseran prosentase, menggambarkan ada situasi yang salah dalam kehidupan sosial kerja. Bagaimana mungkin karyawan yang tadinya berdedikasi tinggi tiba-tiba kehilangan effort kerja, padahal tipe ini biasanya sangat cerdas dalam membaca situasi. Hampir pasti ada yang salah kelola dalam manajemen, yang berakibat pada hilangnya kenyamanan kerja, runtuhnya semangat teamwork, dan rusaknya kebanggaan terhadap institusi.

Hilangnya effort (usaha untuk mencapai hasil terbaik) kerja karyawan biasanya disebabkan oleh beberapa hal;
1. Gaji dibawah standar,
dibawah standar bisa diartikan bermacam-macam; memang dibawah harga pasar yang berlaku dibanding perusahaan lain, dianggap tidak sesuai dengan beban kerja yang diberikan, atau dibanding profesi lain yang sejenis terjadi perbedaan yang signifikan.
2. Sistem karir yang tidak jelas,
Promosi karir merupakan hal yang diidam-idamkan karyawan, tapi terkadang sebuah perusahaan merusak sistem itu dengan melakukan promosi berdasarkan kedekatan atau kelompok tanpa ada kriteria yang jelas. Seorang karyawan yang berkali-kali kehilangan masa promosi dikarenakan tiadanya kesempatan tentu akan merasa jenuh.
3. Suasana kerja yang tidak nyaman
Seringkali kita menemukan karyawan yang tetap loyal dan bersemangat kerja kendati tidak mendapat penghasilan yang besar, dan penyebabnya adalah mereka sangat menikmati suasana kerja yang nyaman, kekerabatan yang kuat dan tim yang saling mendukung. Ketika kenyamanan itu hilang, maka hilang pula effort kerja sehingga mereka mulai berpikir tentang kecilnya gaji dan karir yang stagnan.

Banyak gambaran bagaimana pergeseran itu terjadi, contohnya dalam sebuah perusahaan yang mapan dan berdiri cukup lama biasanya memiliki sistem yang sudah baku dan disepakati oleh karyawan. Sehingga perubahan yang terjadi hanya pada tataran konsep suatu program atau produk, tidak lagi mengatur bagaimana cara karyawan bekerja. Kenyamanan bekerja bisa langsung hilang, jika perusahaan merubah sistem lama dengan sistem baru secara mendadak tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu, dan akibatnya karyawan kehilangan orientasi kerja. Apalagi jika perubahan itu dilakukan dengan perubahan struktur organisasi, dengan diiringi pergantian jabatan yang massal. Jika hal itu dilakukan melalui penilaian yang benar dan bertahap, mengkin riak yang terjadi akan mudah diantisipasi. Namun jika terjadi politisasi di perusahaan, hampir dipastikan orang-orang yang tergusur akan kecewa dan diam-diam membuat kelompok tandingan. Ini yang sangat berbahaya, disatu sisi perusahaan masih membutuhkan kemampuan mereka dan tidak punya alasan untuk membuangnya, disisi lain para pejabat baru juga kesulitan untuk menjalin komunikasi positif dengan mereka.

Ketidaknyamanan kerja yang akan muncul, rasa saling curiga antar karyawan, saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan. Situasi ini jika dibiarkan terus menerus akan menggerogoti semangat para karyawan yang lelah melihat pertikaian yang terjadi, sehingga mereka menjadi itik yang kehilangan induknya, tanpa perhatian, tanpa apresiasi, tanpa orientasi. Kehilangan orientasi itulah yang merusak effort kerja karyawan, mereka merasa hanya dijadikan pion bagi kesuksesan atasan sehingga memilih menjadi pemalas, toh mereka berpikir, para bos juga tidak melihatnya kok, misalpun melihat besok juga akan lupa lagi karena sibuk dengan urusannya sendiri.

Hilangnya effort kerja akan mempengaruhi out put yang dihasilkan, kinerja yang rendah akan menghasilkan produk yang rendah pula. Produk asal jadi tanpa kualitas, tentu akan membuat konsumen berpaling menggunakan jasa perusahaan, akibatnya perusahaan tidak mendapat keuntungan dan berpotensi merugi. Jika perusahaan rugi maka akan hilang bonus, kenaikan gaji, hingga efisiensi budget dan karyawan. Efisiensi akan menambah ketidaknyamanan dalam bekerja, sehingga output pun akan semakin rendah, output yang rendah akan membuat perusahaan tambah rugi, demikian seterusnya hingga merusak sistem yang ada.

Perubahan harus dilakukan, komunikasi, koordinasi dan reorientasi visi misi menjadi hal yang urgent, guna mengembalikan effort kerja yang sempat menghilang. Komunikasi dua arah harus dibangun dalam kesetaraan, yang salah dan merusak harus rela diganti atau dirubah, yang tidak mampu harus dikembalikan sesuai bidang kemampuannya, yang potensial harus diapresiasi kembali, harus ada kesamaan persepsi dalam menentukan langkah kedepan. Jalankan sistem dengan benar sesuai job desk nya, dan pastikan hal itu berjalan sesuai aturan, hilangkan kepentingan pribadi dan pertemanan dalam penilaian kinerja. Yang gagal harus rela mundur untuk diganti dengan yang lebih berpotensi. Hapuskan dendam, pretensi politik, dan hasrat untuk saling menghancurkan. Buka kembali kran keterbukaan dan keikhlasan untuk kembali berjuang. Dan terpenting adalah memenuhi kebutuhan minimal karyawan, sehingga bisa berkonsentrasi pada perusahaan, bukan memikirkan penghasilan tambahan diluar sana.

Mungkinkah itu bisa mengembalikan effort yang hilang?? Entahlah hehehe….


Celesta, 20 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Bom Ritz Carlton-JW Marriot Dan Pemilihan Presiden (Putaran Kedua)

02.07 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Ledakan bom di dua hotel internasional bintang lima dengan tingat pengamanan terketat di Jakarta, bahkan mungkin di Indonesia, tidak hanya merenggut nyawa 9 korban dan sekitar 50 korban luka. Namun juga bisa merubah tatanan perpolitikan di Indonesia yang baru saja menyelesaikan salah satu tahap pemilihan presiden yaitu pencontrengan pada 8 juli 2009. Rekapitulasi penghitungan suara oleh KPU hampir berakhir dan titik paling menentukan dan pastinya ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia adalah pengumuman pemenang pemilu presiden pada 24-25 Juli 2009 nanti, tinggal menunggu hari.

Semua kandidat pasti berharap-harap cemas, pasangan JK –Wiranto hampir dipastikan kalah dan capres Jusuf Kalla pun secara implisit sudah mengakui kekalahannya dengan memberi ucapan selamat (sementara) kepada pasangan SBY-Boediono, yang berdasarkan penghitungan cepat beberapa lembaga survey memenangi pilpres tahap pertama ini dengan perolehan angka sekitar 60%. Hampir pasti sebagai juara dan runner up pada pilpres tahap satu adalah pasangan SBY-Boediono dan Mega-Prabowo. Yang paling mendebarkan adalah prosentase perolehan angkanya, apakah hasil penghitungan manual KPU nantinya pasangan SBY-Boediono mampu meraih angka diatas 50%. Jika iya, maka peta perpolitikan akan berjalan normal seperti analisis banyak pengamat.

Namun seandainya informasi yang sempat dirilis media massa beberapa hari terakhir tentang adanya bocoran informasi yang diterima tim advokasi Mega-Prabowo bahwa penghentian proses tabulasi nasional oleh KPU dikarenakan perolehan pasangan SBY-Boediono hanya 47%, Mega-Prabowo 31% dan JK-Wiranto 23% itu benar, maka harus diselenggarakan putaran tahap kedua Pemilihan Presiden.

Putaran kedua pilpres bisa menjadi mimpi buruk bagi tim sukses SBY-Boediono, setelah adanya bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriot pada 17 Juli 2009 kemarin. Jika tidak ada bom, tim sukses SBY-Boediono akan mudah untuk menambah sisa 4 persen suara, karena hampir pasti suara pasangan JK-Wiranto yang terpecah, sebagian akan mendukung pasangan incumbment ini. Namun setelah peristiwa bom yang menewaskan beberapa warga asing dan melukai top eksekutif beberapa perusahaan multinasional, maka peta perpolitikan bisa berubah drastis.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya
1. Stabilitas keamanan Indonesia dari aksi terorisme yang selama ini dibanggakan oleh presiden SBY langsung runtuh.
Selama ini rakyat menilai bahwa dalam pelaksanaan tugas pemerintahan, presiden SBY menangani bidang politik dan keamanan, sedangkan wapres Jusuf Kalla menangani bidang ekonomi. Isu terorisme masuk dalam bidang keamanan yang menjadi tanggung jawab presiden. Ada kemungkinan persepsi masyarakat terhadap keberhasilan pemerintahan SBY bisa berbalik arah.

2. Dukungan perusahaan multinasional terhadap SBY.
Selama ini presiden SBY dianggap terbuka bagi masuknya investasi asing dibanding wapres Jusuf Kalla yang cenderung mengutamakan pengusaha lokal. Negosiasi Blok Cepu menjadi contoh bagaimana pemerintah kalah oleh tekanan asing. Namun ledakan yang menewaskan beberapa top eksekutif perusahaan multinasional yang sedang breakfast meeting, bisa merusak kepercayaan itu.
Beberapa WNA yang tewas adalah Timothy Mackay (presdir PT Holcim Indonesia) dan Garth McEvoy (commercial manager PT Thiess Contractors Indonesia). Juga melukai beberapa top eksekutif dari PT Freeport Indonesia, PT Castle Asia dll. Bukan rahasia umum bahwa dana kampenye terbesar para kandidat berasal dari perusahaan pendukung, bukan partai atau partisan.

3. Konferensi Pers SBY tentang bom yang menuai banyak konflik.
Dalam suasana genting dan penuh ketidakpastian soal pelaku pengeboman dan motifnya, seharusnya presiden cukup mengecam dan mengajak rakyat bersatu dalam melawan terorisme. Namun tuduhan secara implisit bahwa ada motif politik untuk mengacaukan hasil pilpres tentunya menyudutkan kandidat lain. Dan yang paling tersentil adalah Prabowo, cawapres dari Megawati. Karena dia adalah bekas militer, yang paling mungkin dianggap menguasai strategi teror.
Jika tim sukses Mega-Prabowo cerdas untuk menyikapi pidato presiden yang cenderung sentimentil dan paranoid itu, bukan tidak mungkin bahwa sosok Prabowo yang tegas dan keras ini malah bisa menjadi figur idola baru masyarakat untuk memberantas aksi terorisme.


Seandainya benar-benar ada putaran kedua pemilihan presiden 2009, tim sukses SBY-Boediono harus bekerja ekstra keras lagi dan merubah strategi kampanye nya. Dan tentunya akan membutuhkan biaya yang sangat mahal. Dan bukan tidak mungkin hasil pilpres putaran kedua akan berbeda dari putaran pertama.

Sency, 19 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Panggilan Hati

09.57 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

1
Usai menempuh jalan panjang berliku menuju puncak karirnya sebagai wartawan, seorang seniorku di kantor mendadak mendalami sebuah dunia yang sangat jauh dari hingar-bingar kerja, menjadi pelukis. Sebuah bakat terpendam yang lama disimpannya, tiba-tiba bergejolak untuk disalurkan. Goresan-goresan ujung kuas diatas kanvas atau kertas seolah menjadi prosesi untuk menggapai kebahagiaannya yang selama ini terlupa. Pigura kayu yang mengikat karyanya menjadi titik puncak ritual batin, walau tanpa nilai materi yang didapat. Kekosongan karir akibat persaingan kerja di dunia kapitalis malah menjadi hikmah untuk menemukan apa yang sebenarnya dicarinya dalam hidup.

Disaat orang lain menjadi gelisah, resah dan frustasi akibat kekalahan dalam persaingan jabatan yang seringkali dilakukan dengan cara kotor dan kejam. Beliau menemukan kedamaian diruang studio kecil rumahnya, disela-sela aktifitas kantor yang longgar.
Tatkala banyak orang merasa terancam, terintimidasi, dan galau atas kehidupannya dimasa depan. Beliau justru bisa mengasah sensitifitas hati, dan pencerahan pikiran lewat imajinasinya dalam merangkai garis-garis sketsa.

Menurut beliau, semuanya dilakukan karena panggilan hati. “Saat ini aku tidak merasa membutuhkan materi sebagai penghitungan nilai kebahagiaan. Secara nominal aku tidak dapat apa-apa, tapi aku sangat bahagia saat memberikan salah satu karyaku pada orang lain, dan diterima dengan penuh apresiasi dan kekaguman. Aku sangat menikmati saat-saat menyendiri meluapkan ide yang ada di otak, dan membiarkan tanganku bergerak mengikuti irama pikiran. Semua sangat ajaib dan menyenangkan.”

2
Sebelum akhirnya menetapkan diri untuk menikah, seorang kawanku sempat menjalani keresahan dan kegalauan hati, usia pacaran yang cukup lama lebih dari lima tahun, ternyata tidak bisa membuatnya yakin untuk bersegera mengambil keputusan menempuh jalan sunah rasul tersebut. Selalu ada ganjalan hati yang tidak pernah bisa dijawabnya, mengapa dia tidak berani menikah. Padahal usia sudah cukup, segi ekonomi mapan, pengenalan terhadap sang kekasih pun sudah tak ada yang disembunyikan lagi, masing-masing saling mengenal dan menerima kondisi pasangan luar dalam.

Entah kenapa tiba-tiba dia memutuskan untuk menikah, dan dalam waktu yang tidak melalui proses panjang, perhelatan sakral itu pun akhirnya terlaksana. Prosesi pun berjalan lancar, tenang dan mantap. Aura kebahagiaan sangat terpancar dari keduanya, ada kelegaan karena semua rencana berjalan tanpa hambatan, ada kepuasan karena ada akhirnya berani mengambil keputusan yang sangat penting itu.

Panggilan hati, kata temenku, saat kutanya apa yang melandasinya mengambil rencana itu. “Aku orang yang terbiasa menyelaraskan pikiran dengan hati, sehingga yakin atas setiap langkah dalam hidup”. Ketika logikaku berpikir iya, sedangkan hatiku risau atau berkata tidak, maka aku akan menundanya sampai keduanya mengatakan iya.”


3
Tidur diatas hamparan karpet masjid tipis, meninggalkan kenikmatan springbed empuk dan kesejukan AC kamar menjadi akitifitas malam seorang kawanku yang lain. Meninggalkan kehangatan dan keceriaan keluarga di rumah, demi menyebarkan ayat demi ayat kitab suci yang diyakini kebenarannya. Berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain, mengembara untuk membagi sedikit ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Mengajak orang lain pada kebaikan dan menyadarkan untuk menjauhi tidak munkar, mengajarkan aturan agama yang benar sesuai keyakinannya.

Disaat malam, dimana orang lain asyik dugem, karaoke, hang out di café atau bercengkrama dengan anak istri nya. Kawanku ini asyik berdzikir, beriktikaf di masjid berkomunikasi dengan Tuhannya. Mengajak diskusi warga sekitar masjid tentang agama, menafsirkan ayat, berguru ilmu dengan ustadz di kelompok pengajiannya, mengasah ilmu agama dan menyebarkannya walau hanya satu ayat.

“Kenapa mas? Kok tiba-tiba berubah menjadi sangat agamis, bukankah sebelumnya lumayan agak sekuler gitu” tanyaku suatu hari kepadanya. Dan dijawab dengan sederhana, “Panggilan hati mas, tiba-tiba aku ketemu orang yang mengajarkanku untuk berbuat lebih pada masyarakat dengan cara berdakwah sedikit-dikit. Aku pengin seperti Abu Bakar (sahabat nabi, khulafaur rasyidin-red) yang ikhlas berbuat menyebarkan agama tanpa memikirkan materi. Siang hari aku bekerja untuk menghidupi keluarga, malam hari aku menambah amal untuk akhirat nanti.”


Dengan segala keberagamannya, dengan segala variasi tindakannya, ketiga kawanku mencoba menyatukan hati dan pikiran untuk mencari titik kebahagiaanya yang nyata. Yang tidak terkotori oleh keserakahan, tidak ternoda olah gemerlap duniawi, terbebas dari intervensi orang lain. Semua mencoba menyelaraskan setiap langkah dalam hidupnya dengan berlandasan pada keikhlasan hati tanpa paksaan.

Sebuah karya lukisan akan tampak hidup dan bernyawa jika digoreskan dengan penuh rasa.
Sebuah pernikahan insya allah akan langgeng dan abadi jika didasari oleh cinta yang tulus, seberat apapun jalan yang akan dilewatinya.
Sebuah dakwah akan terasa ringan dan berkah, jika dijalankan dengan hati yang pasrah.

Sebaliknya sebuah karya lukisan akan terasa kosong dan hampa, jika digoreskan untuk tujuan komersial, seindah apapun karya itu.
Pun sebuah pernikahan akan rawan dengan godaan dan perselingkuhan, jika hanya didasari oleh nafsu dan hasrat duniawi saja.
Demikian pula sebuah dakwah akan menjadi berat dan tanpa hasil, jika ditujukan untuk meraih keuntungan pribadi atas nama agama.

Kita tidak akan bisa menilai sebuah kebahagiaan dari tolak ukur logika.
Kita pun tidak bisa menghakimi sebuah kebahagiaan dari sudut pandang mayoritas.
Kita juga tidak akan bisa ikut merasakan kebahagiaan orang lain, jika kita sendiri tidak berusaha memahami hatinya.
Dan membuka hati kita sendiri untuk ikhlas menerima kebahagiaannya.

Seringkali kita menemukan orang yang memaksakan dirinya hanya menggunakan akal pikiran dan menghapus nilai rasa dari hati.

Seorang yang hanya berpikir egois demi karir dan jabatan, lalu melakukannya dengan cara-cara yang menghancurkan rekan seprofesi, terkadang justru jatuh oleh sesuatu yang tidak diprediksinya, misalnya sakit atau ketahuan mark up dana kantor dll, sehingga dia harus kembali ketitik awal dimana dia tidak lagi dapat meneruskan pekerjaannya.

Atau koruptor yang hanya menggunakan logika cara instan mendapat kekayaan, justru terkadang gagal menikmati hasil jarahannya karena keburu ditangkap KPK, semua materi habis untuk biaya perkara, dan usai keluar penjara harus kehilangan keluarga yang meninggalkannya karena malu.

Pun calon legislative atau politisi yang memaksakan dirinya untuk bersaing merebut kursi wakil rakyat, hanya demi harapan untuk memperbaiki taraf hidupnya, seringkali malah kehilangan segalanya; hilang harta, hilang kepercayaan masyarakat, dan berakhir dengan rasa frustasi karena gagal mendapat jatah kursi yang diimpikannya. Banyak diantaranya yang menjadi stress, gila atau bunuh diri.

Semuanya terjadi karena manusia menutup pintu hatinya atas kebenaran.

Hati adalah insting yang paling sensitive.
Seekor binatang yang tak berakal, bisa merasakan gangguan yang mungkin akan mengganggu kehidupannya, sehingga bersegera menghindar.

Manusia dengan berkah hati, juga bisa merasakan insting kebenaran, asal diasah dengan baik.
Namun seringkali suara hatinya dikalahkan oleh logika otak, yang justru menyeret pada jurang kesalahan.

Ketidakselarasan pikiran dan hati akan menimbulkan keraguan.
Keraguan yang memuncak akan menimbulkan kegelisahan.
Kegelisahan yang tertimbun dalam akan menimbulkan kecurigaan.
Kecurigaan yang berlebih akan membutuhkan kambing hitam diluar diri.
Otaklah yang mengeksekusinya dengan mencari pembenaran diri dan menyalahkan orang lain tanpa alasan

Orang kemudian menjadi kehilangan instropeksi atas dirinya.

Orang yang paling bahagia adalah
Orang yang hatinya bersyukur ketika diberi nikmat, sekecil apapun itu
Orang yang hatinya tawakkal ketika diberi cobaan, seberat apapun itu
Dan orang yang hatinya tersenyum ketika melihat orang lain gembira

Ternyata kebahagiaan ada dimana-mana
Maka gapailah dengan sukacita…


Celesta, 13 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Antiklimaks Hasil Debat Capres/Cawapres

20.27 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Usai menyaksikan debat capres dan cawapres beberapa hari lalu sebelum pencontrengan, beberapa teman ngobrol berdiskusi baik secara langsung maupun via facebook, intinya mereka mencoba mencari gambaran dari opini orang lain terkait isi debat, kepiawaian kandidat, hingga program-program yang ditawarkan dalam debat. Sebagian bersepakat kendati debat tersebut masih jauh dari harapan, tapi cukup sebagai pembuka sebuah tradisi baru dalam berdemokrasi di Indonesia.

Dan sebagian kawan juga bersepakat bahwa ada satu sosok kandidat yang cukup kritis dan piawai dalam moment adu argumentasi lima tahunan itu. Sebagian kawan mengaku mencoba bersikap logis dan kritis usai menyaksikan debat, sehingga yang tadinya masih sebagai swing voter berubah menjadi pemilih tetap bagi kandidat yang berslogan lebih cepat lebih baik itu.

Namun usai pencontrengan, ternyata hasil quick count yang muncul sangat diluar dugaan. Kandidat yang kita anggap paling piawai dalam debat ternyata mendapat hasil yang sangat kecil, jauh dibawah prediksi beberapa lembaga survey sebelumnya, dan jauh dari perkiraan jumlah dukungan partai koalisinya. Ini sangat menarik, karena ternyata debat terbuka seperti itu belum bisa merubah opini masyarakat dalam memilih kandidatnya.

Iseng-iseng browsing di internet, saya menemukan tulisan Henry Subiakto, berjudul Kampanye Capres dan Budaya Komunikasi, yang mengatakan bahwa kandidat yang piawai berdebat belum tentu memperoleh simpati publik. Dan ternyata prediksinya terbukti benar.

Eforia Obama yang jago pidato dan piawai dalam adu argumentasi, ternyata tidak cukup mampu menyihir masyarakat Indonesia untuk merubah budaya politiknya. Debat capres/cawapres yang cukup heboh dengan moderator yang hebat, ternyata belum bisa merubah pandangan masyarakat terhadap pilihannya.

Menurut Henry Subiakto, budaya konteks tinggi (high context culture) dalam berkomunikasi masih sangat kental di masyarakat Indonesia, dalam budaya ini konteks atau budaya nonverbal diberi makna yang sangat tinggi. Masyarakat budaya ini kurang menghargai ucapan atau bahasa verbal. Komunikator lebih suka berbicara berputar atau istilah gaulnya “ngeles” dan menghindari substansi dalam menyampaikan pandangannya. Penyampai pesan akan memberikan simbol-simbol tertentu yang dianggap lebih santun dan berharap orang lain akan memahami keinginannya, tanpa harus mengucapkan inti permasalahan yang dimaksud.

Budaya konteks tinggi mungkin sangat dekat dengan budaya sebagian masyarakat Indonesia, dimana orang lebih menghormati dan bersimpati pada pemimpin yang halus, tidak frontal dalam menyampaikan keinginannya, dan tidak menjatuhkan lawan bicara dalam berkomunikasi.

Bahasa-bahasa santun seperti “kalau diberi amanat oleh rakyat” sebagai pengganti istilah “saya akan mencalonkan diri”, akan lebih diterima dihati masyarakat. Bahkan senyuman lembut saat menjawab kritikan kandidat lain akan lebih menimbulkan simpati masyarakat, dibanding jawaban yang keras dan menyerang walau sebenarnya logis dan benar.

Kalau kita review jauh-jauh hari sebelumnya, banyak masyarakat yang menyayangkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X secara terang-terangan mencalonkan diri menjadi calon presiden RI. Masyarakat jawa yang tadinya manut dan nurut pada rajanya, pada kondisi tertentu malah berubah kehilangan simpatinya karena menganggap Sultan sangat ambisius dalam mengejar kekuasaan.


Coba sekarang bandingkan dengan situasi debat Capres/Cawapres di Amerika. Hasil survey kandidat dari partai republik langsung menurun tajam, gara-gara calon wakil presiden Sarah Palin gagal menjawab materi debat dengan benar. Sebaliknya, kepiawaian Barack Obama dalam menguasai panggung dialog langsung mengerek perolehan suaranya.

Dalam berkomunikasi, masyarakat Amerika memiliki budaya konteks rendah (low context culture) dimana bahasa verbal amat dihargai untuk mengungkap ekspresi dan keinginan mereka. Karenanya kemampuan berorasi, pidato, berdebat dan berbicara didepan publik menjadi hal sangat penting dalam meraih dukungan masyarakat. Dalam kampanye presiden, perdebatan lewat televisi merupakan momentum yang sangat menentukan bagi keberhasilan capres/cawapres.

Di Indonesia, kampanye melalui debat di televisi menjadi hal yang unik, dimana seseorang yang menguasai debat, bisa menjawab pertanyaan moderator secara logis, bahkan mampu menyerang dan mengkritisi pernyataan kandidat lain, justru kehilangan simpati masyarakat karena berkesan ingin menjatuhkan dan mempermalukan calon lain.

Benturan antara budaya masyarakat yang santun dan mudah berbelas kasihan melihat orang yang terdesak atau kalah, dengan sistem kampanye melalui debat televisi yang cenderung saling menjatuhkan dan mengalahkan, mungkin akan menjadi antiklimaks. Karena yang kalah berdebat bisa jadi akan meraih dukungan besar dari masyarakat, sebaliknya si pemenang debat hanya dianggap sebagai orang yang pandai mengumbar janji saja. Kandidat boleh jadi piawai berdebat, tapi rakyat tetap punya pilihannya sendiri.

Hah, masak sich hanya dapat suara segitu??? hehehe...


Celesta, 9 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Tayangan Kekerasan di TV; Merubah “Anak Normal” Menjadi Agresif

09.12 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Tren tawuran dikalangan mahasiswa dan pelajar, seringkali menjadi wabah sosial yang nyaris tidak pernah habis diberitakan di media massa. Alasan saling berbaku hantam pun terkadang sangat sederhana dan tidak masuk akal; gara-gara rebutan pacar, senggolan dijalan antar pelajar, saling ejek tanpa alasan, hingga musuh bebuyutan antar universitas, atau bahkan antar fakultas di Universitas yang sama.

Tapi dampaknya sangat luar biasa, beberapa pelajar atau mahasiswa tewas akibat terkena lemparan batu atau tikaman senjata tajam, beberapa sekolah atau kampus rusak akibat amukan massa atau bahkan ada yang terbakar akibat bom molotov. Motif kecil tapi berdampak sangat besar, tentunya merupakan wacana sosial yang harus mulai dipelajari dan dicari solusinya.

Akar masalah pun sangat kompleks, beragam kondisi sosial dituduh sebagai penyebabnya; ada yang menyalahkan kelompok tertentu yang dianggap sebagai provokator, ada yang menunjuk alasan kondisi keluarga pelaku yang berantakan, atau mencuplik teori bahwa kekerasan adalah hal yang wajar terjadi dalam kondisi masyarakat dengan ekonomi yang sulit.

Tapi mungkinkah seorang pelajar atau mahasiswa yang notabene berasal dari keluarga harmonis, secara ekonomi mapan, bahkan secara intelektual pun sebenarnya cukup meyakinkan, bisa terlibat dalam tindakan anarkis???

Pelajar atau mahasiswa termasuk dalam kategori anak normal, dalam artian secara umum punya visi untuk berkembang dan maju, punya latar pendidikan yang cukup bagus, dan secara normative tidak mengalami gangguan sosial yang tinggi. Ada satu penelitian menarik dari Robert Liebert (1972), yang menyimpulkan bahwa tayangan kekerasan di televisi mungkin membantu menyebabkan perilaku agresif dari banyak “anak normal”.

Sebuah riset di Amerika, menganalis bahwa banyaknya tayangan kekerasan di televisi membuat seorang anak pada usia menjelang 12 tahun, rata-rata anak telah akan menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk 13.400 kematian (standfield, 1973). Riset seperti ini (mungkin) belum pernah dilakukan di Indonesia, tapi jika menghitung banyaknya program yang bernuansa kekerasan di TV nasional, bukan tidak mungkin bahwa angka yang cenderung sama, mungkin saja terjadi.

Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran, bullying, atau pemerasan antar teman, rawan terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungannya. Bahkan terkadang sangat agresif, sebagai contoh, banyak diberitakan di media massa, seorang pelajar SMP yang menusuk rekannya sendiri sampai tewas, gara2 menginginkan HP korban. Ini tentu sangat ironis.


Tayangan Kejahatan Tanpa Hukuman
Pernahkah anda menghitung, lebih banyak mana tayangan berita peristiwa kekerasan dibanding tayangan berita tentang hukuman yang diterima pelaku?? Pastinya tayangan berita peristiwa sebuah kekerasan jauh lebih banyak. Bagi televisi yang mengandalkan “gambar” untuk menarik pemirsanya, sebuah adegan peristiwa akan jauh menarik dibanding sidang pengadilan untuk sebuah kasus. Demikian pula jika kita menonton sebuah film atau sinetron, pernahkah melihat alur cerita tentang kehidupan antagonis di penjara sebagai balasan atas tindak kejahatannya. Tentunya sangat jarang. Sebuah kisah fiktif konflik, biasanya diakhiri dengan “ending cerita” yang singkat, tanpa pernah menggambarkan secara detil hukuman si antagonis.

Atau contoh paling sederhana adalah kartun Tom & Jerry yang penuh dengan adegan jahil dengan bumbu kekerasan tanpa rasa berdosa, dimana kedua tokoh kartun sering saling beradu strategi untuk bisa menyakiti lawannya, ternyata bisa menginspirasi anak untuk bertindak permisif terhadap kekerasan oleh dirinya. Kartun tersebut seolah mengajarkan bahwa si tokoh boleh berbuat jahat, toh lawannya akan hidup kembali dan tidak ada hukuman bagi tindak kekerasan itu sendiri.

Dalam sebuah riset terhadap tayangan kekerasan di televisi, menemukan fakta bahwa sangat sedikit tayangan kekerasan yang menunjukkan konsekuensi kekerasan jangka panjang, bahwa sebagian besar adegan kekerasan menunjukkan kekerasan itu tidak dihukum, dan bahwa sebagian interaksi kekerasan tidak menunjukkan kepedihan atau konsekuensi kekerasan negatif jangka panjang (National Television Study, 1996)

Berita tentang peristiwa tawuran antara mahasiswa YAI dan UKI di Salemba, Jakarta hingga mengakibatkan kebakaran beberapa bagian kampus akibat bom molotov, membuat beberapa mahasiswa yang dianggap sebagai pelaku kejahatan ditangkap polisi, tapi pemberitaan mengenai kelanjutan hukuman bagi para pelaku, nyaris tidak terekspose lagi. Sebagian tergeser isu-isu baru yang lebih ramai, sebagian media mungkin menganggap bahwa hal itu sudah tidak menarik lagi. Akibatnya masyarakat menganggap bahwa para pelaku kekerasan ini (mungkin) tidak mendapat hukuman atas kejahatannya.

Salah satu cara mengurangi dampak tersebut, peneliti National Television Study menyarankan agar produser lebih kreatif dalam menunjukkan lebih banyak tindak kekerasan yang dihukum, lebih banyak konsekuensi negatif dari tindak kekerasan dan lebih banyak alternatif pada penggunaan kekerasan dalam memecahkan masalah.


Beberapa Hipotesis
Dalam bukunya, Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr menyatakan bahwa ada beberapa hipotesis sehubungan dengan kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi pada perilaku manusia.
Hipotesis katarsis, menyatakan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan di televisi menyebabkan pengurangan dorongan agresif melalui ekspresi perilaku permusuhan yang dialami orang lain.
Hipotesis rangsangan, memprediksikan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif yang sesungguhnya.
Hipotesis menirukan atau mencontoh, menyatakan bahwa orang mempelajari perilaku agresif dari televisi dan kemudian mereproduksi perilaku itu.
Hipotesis kehilangan kendali diri, menyatakan bahwa televisi menurunkan rasa segan orang untuk berperilaku agresif terhadap orang lain.

Apabila hipotesis diatas benar, maka tayangan kekerasan di televisi mungkin mengajarkan norma umum bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk berhubungan dengan orang lain.

Daftar Pustaka:
Teori Komunikasi ; Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa
Oleh Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr


Note:
Terpaksa bikin tulisan, gara-gara “geram” liat Treeva tiap hari nonton kartun kesayangannya “Tom & Jerry” di TV dan DVD koleksinya, tanpa bisa diganggu gugat)
Dampak positifnya adalah jadi kreatif (njahilin orang) hehehe…
Dampak negatifnya adalah jadi super anarkis…

Celesta, 7 Juli 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label: