Rakyat dan Negara Pengemis

15.34 / Diposting oleh Phyrman / komentar (1)

Seperti biasa, shift kerja malam membuatku serasa jadi bapak rumah tangga di siang hari.
Siang bolong yang panas, memaksaku menjadi super ojek yang baik, dengan mengantar malaikat kecilku membeli kado untuk piknik sekolah esok hari.
Sebuah tradisi bagus, menjelang wisuda TK, tiap murid wajib membawa kado tanpa nama, untuk saling ditukarkan dengan teman-teman yang lain. Sekedar untuk mengingatkan mereka agar saling berbagi dengan ikhlas.

Pilih-pilih kado, dapat sudah, namun seperti biasa treeva selalu minta bonus mainan untuk dia. Ups, ini yang paling menyebalkan, harga mainan yang diminta selalu lebih mahal dari kado yang wajib dia bawa ke sekolah. Tarik ulur beberapa saat, akhirnya treeva mengalah membeli mainan murah, setelah ku bilang papa lagi gak bawa duit hehehe…

Usai berbelanja, kita pulang melewati jalanan yang luar biasa panas hari ini. Ditengah jalan, ada dua pengemis, Ibu dan anak yang berumur sekitar 5 tahunan juga berjalan menyusuri trotoar nan terik. Sejenak terpikir untuk menguji treeva, sejauh mana kepeduliannya kepada sesama. Perlahan ku hentikan roda dua ku, kuambil selembar uang kertas dari dompet, lalu kuminta treeva turun untuk memberikan pada pengemis itu. Aku tak mendengar dialog antar mereka, hanya kulihat ekspresi terima kasih dari sang ibu.

Sampai dirumah treeva langsung bertanya, “papa, anak kecil yang tadi mengemis bareng ibu nya emang rumahnya dimana? Kok gak bobo siang sih? Trus kalo seharian di jalan, berarti gak sekolah dong?”. Satu persatu pertanyaan kujawab secara agak ngawur. Pertama karena aku juga gak tahu dimana rumah para pengemis.
Kedua, aku gak tahu kenapa orangtua pengemis itu tega mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk hidup dijalanan disiang hari.
Ketiga, aku juga gak tahu cara berpikir pengemis terhadap pendidikan anak-anaknya.

Sepengetahuanku, pengemis itu terbagi menjadi beberapa kategori.
Yang pertama, pengemis yang benar-benar tidak tahu lagi cara mencari nafkah untuk membiayai hidupnya, sehingga “terpaksa” mengemis. Tipe ini biasanya karena gagalnya sistem pendidikan pada masyarakat sehingga menghasilkan manusia-manusia yang tidak punya kemampuan sama sekali. Tidak ada kepedulian negara untuk mengelola rakyatnya sehingga mereka kehilangan “pandangan” tentang cara mencari nafkah. Mereka sudah berusaha mencari nafkah secara halal, namun gagal mencukupi standar minimum hidup. Mengemis kemudian menjadi sebuah solusi terakhir.

Yang kedua, pengemis yang pemalas dan berpikir bahwa penghasilan menjadi pengemis ternyata lebih besar daripada menjadi buruh atau pedagang kakilima. Tipe ini menunjukkan lemahnya mental manusia, sehingga selalu berpikir instan dan menghalalkan segala cara untuk mendapat uang. Tipe manusia seperti ini hidupnya sangat tergantung dari kebaikan orang lain, kemudian cenderung pemarah dan kriminal jika orang lain tidak memberinya sesuatu. Ketika seseorang sudah berpikir bahwa meminta itu halal, maka kesengsaraan absolut dihari tua, tinggal menunggunya.
Saya jadi teringat cerita kawan yang pernah meliput ke wilayah konflik di timur tengah, kendati negara mereka hancur akibat peperangan dan penjajahan, namun tak ada satupun dari mereka yang mau menjadi pengemis. Tidak ada pengemis berkeliaran di pinggir jalan seperti di Indonesia. Bagi mereka “harga diri” diatas segalanya, meminta-minta di pinggir jalan berarti hancurnya harga diri tersebut. Mereka lebih memilih mengais-ngais makanan diantara reruntuhan bangunan, atau bekerja apa saja untuk dapat makan hari ini. Lebih baik mati kelaparan daripada menjadi pengemis. Sebuah sikap mandiri yang sangat kuat dan layak dihormati. Keyakinan yang besar akan adanya Tuhan dan hari keabadian lah yang menguatkan mereka.

Yang ketiga, adalah pengemis terorganisir. Ini semacam mafia jalanan yang mendapatkan uang dengan cara mengemis, dan sebagaian ternyata direkrut secara professional kriminal, terkadang dengan cara melakukan penculikan dan penjualan manusia. Kalo kita mendengar ada mafia narkoba, atau mafia prostitusi, saya masih tergambar bagaimana bentuk organisasinya seperti di film The Godfather. Namun mafia pengemis, saya baru mendapatkan cerita nyata di Jakarta dan sebagian dari film Slumdog Millionare yang bersetting di Mumbay, India.

Kisah nyata di Jakarta, saya alami sekitar 3 tahun lalu, saat harus membuat liputan semi investigasi BUSER kasus penculikan anak berumur 7 tahun yang dijadikan pengemis. Sang anak sempat hilang selama 3 bulan, dan ditemukan orang tuanya sedang mengemis di halte bendungan hilir, jakarta. Sang ayah yang hampir putus asa mencari keberadaan anaknya, secara tidak sengaja melihat pengemis cilik mirip anaknya nongkrong di halte itu, setelah didekati ternyata sang anak sama sekali tidak kenal dengan sosok sang ayah. Insting orang tua dan keyakinan yang kuat bahwa itu adalah anak kandungnya, membuat sang ayah nekat memaksa pengemis cilik tadi masuk taksi dan dibawa pulang kerumah. Setelah beberapa hari dibawa ke “orang pintar” dan ke dokter, akhirnya sang anak mulai mengenal keluarganya, walaupun masih sering histeris dan berontak ingin kembali ke jalanan.

Yang membuat saya bingung adalah cara “cuci otak” organisasi itu terhadap sang anak, sehingga bisa melupakan keluarga dan masa lalunya, terkesan lebih menikmati kehidupan jalanan dibanding keluarga. Ada semacam trauma psikologis yang sangat berat disertai perubahan perilaku yang drastis, dalam 3 bulan “hilang” ternyata si anak menjadi perokok berat dan ketergantungan “lem”.

Coba kita perhatikan anak-anak yang menjadi pengemis di perempatan jalan, saya sendiri sering bingung mendapati realitas seperti ini, mereka bahkan kalo dilihat wajah dan postur tubuh banyak yang berusia dibawah lima tahun, berlari bergerombol ditengah jalan, meliuk-liuk diantara mobil dan motor mengetuk kaca sopir dan menengadahkan tangan tanpa rasa takut. Terkadang mereka berlari naik bis, lalu kembali meloncat turun dengan gesit dan tanpa rasa takut.

Terkadang saya sering bandingkan dengan treeva, diusia yang sama, treeva masih memiliki rasa takut untuk pergi sendiri, masih sering nangis kalo lama nggak liat orang tuanya. Namun, anak-anak itu tampil berani dan ceria di jalan tanpa mengenal rasa takut, seolah pengendara motor, sopir, penumpang bus adalah sumber kehidupan mereka, orang tua mereka yang layak untuk dimintai uang.

Jujur, saya sering merasa takut dan cemas, apakah anak-anak pengemis itu adalah diri mereka sendiri, yang karena himpitan ekonomi menjadi lebih cepat dewasa dan ikut mencari nafkah. Atau jangan-jangan otak mereka telah “dicuci” dengan cara-cara tertentu, sehingga mereka sama sekali tidak mengenal diri sendiri. Mereka menjadi semacam robot yang di”remote” untuk mematuhi perintah sang majikan.

Negara lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap mereka. Pengemis kategori pertama bisa diselesaikan dengan membuka lapangan kerja padat karya, mempermudah sistem pendidikan gratis secara merata, atau memberi modal berwiraswasta dengan bungan rendah dan tidak mengikat.

Namun pemerintah juga harus disadarkan, bahwa selama ini negara kita juga merupakan “pengemis” hibah dan pengutang tanpa kontrol. Yang kemudian menjadi ironi, ternyata hasil mengemis dan hutang tersebut, dikorupsi dan ditukar dengan asset-aset sumber daya alam. Akibatnya negara kita secara ekonomi dijajah oleh negara donatur. Negara pengemis dan penghutang terbukti melahirkan rakyat pengemis dan penghutang juga.

Sedangkan pengemis kategori kedua dan ketiga, yaitu pengemis pemalas dan kriminal terorganisir, beragam cara sudah dilakukan dari menangkap koordinator pengemis dan menjebloskannya ke penjara, hingga bolak-balik merazia gelandang dan pengemis, tapi hasilnya tetap nihil. Para pengemis yang sebagian besar adalah orang yang sama, tetap kembali beroperasi ditempat yang sama dan dengan cara yang sama pula. Nyaris tidak ada efek jera yang tersisa.

Sebenarnya, ada satu contoh penyelesaian yang “sangat melanggar HAM” dilakukan di Cina, yaitu dengan cara membersihkan pengemis-pengemis dewasa lalu memaksa mereka bekerja di perusahaan tambang yang terisolir, hingga“mengeksekusi mati” mereka yang memberontak menjalankan sistem ini, lalu merawat anak-anak pengemis dan mendidiknya agar menjadi manusia mandiri dibawah kendali negara. Sangat sadis memang, tapi kota Shanghai yang 10 tahun lalu terkenal sebagai kota kumuh dan kriminal, sekarang sukses menjadi kota bisnis yang aman.

Sebuah prinsip yang sangat “mengerikan” pernah diberlakukan di Cina: “ lebih baik kami (pemerintah) menembak mati 1 juta orang pembangkang dan membuat 1 milyar lainnya hidup senang, daripada membiarkan 1 juta orang mengacau dan membuat 1 milyar rakyat lainnya menderita.”

Namun sekali lagi, solusi ini tidak “direkomendasikan” di Indonesia, masih banyak cara-cara lain agar para pengemis dapat terangkat kualitas hidupnya. Yang paling sederhana adalah “bersedekah” dan “tidak korupsi”.



Celesta, 28 Mei 2009


Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

"Kebringasan" Dalam Balutan Seragam

06.44 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Kalau mendengar kata beringas, otak kita akan membayangkan seekor singa yang sedang mengejar dan memangsa korban atau lawannya secara tidak terkontrol, kejam dan tega meluluhlantakan. Pokoknya beringas adalah titik tertinggi kepuasan emosi sang raja hutan untuk mengoyak mangsa yang diincarnya, tanpa belas kasihan atau getaran nurani sedikitpun.

Tapi singa itu kan binatang, wajar dong tidak punya hati atau pikiran. Bagaimana kalau watak beringas itu dimiliki oleh manusia? Dan ternyata tidak kalah buas dibanding singa, akibatnya pun tak kalah mengerikan dibanding kondisi mangsa si raja hutan.

Hal itu terjadi pada 2 mangsa yang menjadi korban keganasan Satpol PP, mangsa pertama adalah Siti Horiyah seorang bayi kecil berumur 4 tahun yang meninggal akibat terbakar dalam razia Satpol PP Surabaya, saat penggusuran pedagang kakilima di kawasan Jl. Pemuda Surabaya. Berawal dari tindakan seorang anggota Satpol PP yang menarik rambut Sumariyah, ibu kandung bayi Horiah,yang saat kejadian sedang berjualan pentol. Akibat tindakan itu, pegangan Sumariyah terhadap gerobaknya lepas, sehingga gerobak berisi pentol dan kuah itu terguling dan terbakar karena minyak kompor di dalam gerobak tumpah. Siti Horiyah yang duduk di atas gerobak disambar api dan tersiram kuah panas yang merendam pentol. Luka bakar 67% pada tubuh sang bayi, mengantarkannya menghadap sang Ilahi pada usia dini.

Mangsa kedua adalah Fifih Aryani, seorang PSK yang tewas tenggelam di sungai Cisadane tangerang, ketika dikejar2 dalam razia satpol PP. Menurut beberapa saksi, saat Fifih jatuh tenggelam, tak ada satupun anggota satpol PP yang saat itu berada dipinggir sungai, tergerak untuk turun menolong. Dan jasad Fifih pun ditemukan 1 KM dari tempat kejadian. Tentunya dengan tubuh penuh luka terkoyak batu.

Dan sang singa pun mengaum tanpa merasa bersalah.

Mari sejenak saya dan anda anggota satpol PP, duduk merenung, sekedar menyegarkan ingatan akan apa yang anda alami. Saya yakin, anda hanyalah manusia biasa seperti yang lain. Mungkin anda dirumah adalah seorang bapak yang baik, seorang suami penyayang istri, atau seorang anak yang berbakti pada ayah bunda.

Yang karena kondisi ekonomi sedang lesu, akhirnya terjebak dalam profesi menjadi pamong praja. Mungkin juga status anda hanyalah karyawan kontrak bukan PNS. Anda hanya kebetulan diberi seragam berlogo “Satuan Polisi Pamong Praja” di pundak kiri. Sebuah seragam tanpa makna, karena belum tentu dengan seragam itu anda bisa menghidupi keluarga secara layak dan berlebih. Saya yakin, penghasilan anda mungkin tidak jauh berbeda dengan orang yang anda gusur, artinya secara kelas sosial sebenarnya anda dan korban anda berada dalam kasta yang sama. Sama-sama miskin dan kempang-kempis dalam mengatur uang.

Tapi pertanyaan saya adalah kenapa saat memakai “seragam” itu, anda berubah dari sosok manusia yang melindungi keluarga, menjadi seekor singa pemangsa yang kejam tanpa belas kasihan. Anda bisa memangsa teman sekasta anda, dengan begitu brutal dan beringas. Ada apa dengan anda? Apakah karena faktor “seragam” yang membuat anda gede rasa dan lupa diri? Sehingga anda sesaat merasa sebagai manusia terhebat di negeri ini. Ada apa dengan seragam anda? Kok bisa merubah karakter seseorang dalam sekejap.

Ataukah gara-gara atasan yang memaksa anda memakai seragam itu, menjanjikan anda hadiah yang sangat besar sehingga cukup menghidupi anak cucu sampai tujuh keturunan.
Kalau iya, mungkin itu menjadi alasan yang logis bagi seseorang untuk mengkhianati nuraninya. Maksudnya, anda berbuat jahat sekali, setelah itu hidup mapan bersama keluarga dengan bonus hadiah yang besar.
Tapi jika ternyata atasan anda pun tidak mampu memberi hadiah besar, untuk apa anda mengkhianati jati diri. Menjual sifat kemanusiaan dan menggantinya dengan watak singa yang egois. Apa sebenarnya yang anda cari?

Atau jangan-jangan anda takut terhadap atasan, takut dianggap pengecut jika tidak bisa mengoyak para pedagang kakilima, takut dianggap pecundang jika gagal merazia PSK. Tidak sadarkah anda, bahwa mungkin atasan anda pun jauh lebih penakut dan pecundang dibanding anda, terutama saat dia harus bertanggung jawab atas kasus penghilangan nyawa manusia ini.

Saya percaya, anda pasti tidak tinggal dikawasan elit Pondok Indah, atau Menteng atau Pantai Indah Kapuk, yang tiap rumahnya berpagar tinggi, sehingga tidak bersosialisasi dengan tetangga. Anda mungkin tinggal di gang sempit, atau area kampung dengan kondisi masyarakat kelas menengah kebawah. Dan tentunya anda juga setiap hari melihat realitas sosial bagaimana rakyat kecil bertahan hidup; bekerja keras untuk sekedar makan tiga kali sehari, menyekolahkan anak2nya dan lain sebagainya.

Saat anda pulang ke rumah dan melepas seragam itu, anda akan kembali menjadi warga masyarakat biasa. Apa kata tetangga anda, saat mereka tahu bahwa anda telah memangsa teman sendiri sesama kasta. Akankah mereka akan tergerak untuk membantu, jika keluarga anda terbelit kesusahan. Lalu apa kata anak istri anda, saat mereka tahu bahwa orang yang selama ini mereka hormati, mereka sayangi karena menjadi pelindung hidup, ternyata hanyalah “Seekor Singa Beringas Berseragam”.


Celesta, 26 Mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Resensi: Lukisan Kaligrafi

20.00 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Resensi Buku
Judul : Lukisan Kaligrafi
Pengarang : A. Mustofa Bisri
Penerbit : Kompas, Jakarta
Halaman : 134 + IX

========================================================

“Sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan ketika difoto tidak jadi dan tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?”. (hal 71)

Salah satu cuplikan dalam cerpen berjudul Lukisan Kaligrafi ini seolah menggambarkan rasa penasaran manusia pada sisi mistis spriritual. Manusia modern yang sering disibukkan oleh pola pikir serba wah dan konspiratif, tergoda untuk menyelami kesederhanaan Ilahi dari sisi yang rumit. Padahal pemahaman spiritual Tuhan sangatlah sederhana, seperti yang digambarkan pada sosok ustadz Bachri yang mencoba melukis Ayat-ayat suci sesuai aturan kaligrafi yang benar.

Ke “ngawuran” manusia memahami agama digambarkan dengan analogi seniman yang melukis kaligrafi tanpa mengenal aturan-aturan penulisan khat Arab. Tidak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. (hal 63). Sehingga menghasilkan lukisan kaligrafi yang dangkal dan asal tampak indah, tanpa ada kedalaman hati didalamnya.

A. Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan julukan Gus Mus, mengumpulkan cerpen-cerpennya yang sangat sederhana dengan tema-tema sosial agama dengan setting pesantren dan kehidupan masyarakat abangan. Beragam cerita yang ditulis dengan gaya humoris tapi penuh renungan yang dalam ini, seakan menyindir kita untuk kembali pada hakikat sebagai makhluk. Makhluk yang diciptakan untuk menyembah sang khaliq, makhlik sosial yang semakin lupa pada hakikat “sosial”nya, makhluk yang tanpa sadar menganggap dirinya “lebih tinggi” dari manusia lain.

Cerpen favorit saya dalam buku ini adalah “Gus Jakfar”, yang menjadi pembuka dalam koleksi di buku ini. Ketidaksadaran manusia akan kesombongan dirinya digambarkan dengan cukup apik dan sederhana. Cerpen ini berkisah tentang pencarian hakikat ma’rifat oleh Gus Jakfar, seorang anak kyai besar yang memiliki kemampuan khusus untuk menerawang masa depan. Ada salah satu dialog yang menurut saya memiliki makna yang sangat dalam tentang bagaimana manusia memandang dirinya sendiri dan orang lain.

Dialog antara Kyai Tawakkal dan Gus Jakfar :
“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak pelu bersusah payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan surga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendakNya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke surga atau neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke surga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai Kyai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke surga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang diwarung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karna kita ingin dipandang baik olehNya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dariNya. Bukankah begitu? (hal 11).

A. Mustofa Bisri, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. menempuh pendidikan di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo, Kediri; Pesantren Krapyak, Yogyakarta; Pesantren Taman Pelajar, Rembang. Dan terakhir beliau belajar di Al-Qism al’Aalie lid Dirraasaati al-Islamiyah wal Arabiyah, Al-Azhar University, Cairo.

Fenomena munculnya komersialisasi dakwah, disindir melalui refleksi diri seorang ustadz yang rutin memberi pengajian di berbagai daerah dalam cerpen berjudul “Amplop-Amplop Abu-abu”. Ada enam amplop dengan nominal cukup besar yang diterima sang ustadz di setiap pengajian dari seseorang misterius yang rutin mengikuti pengajiannya, namun tiap amplop berisi pesan untuk sang ustadz;
Amplo pertama: Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik.
Amplop kedua: Sebelum anda menasehati orang banyak, sudahkah anda menasehati diri Anda Sendiri?
Amplop ketiga: Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga.
Amplop keempat: Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit.
Amplop kelima: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya? Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!.
Amplop keenam: Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memberdayakan!. (hal 26)

Salahsatu hal yang menurut saya agak sedikit mengganjal adalah cover belakang buku yang mencuplik refleksi sang ustadz dalam Amplop-amplop Abu-abu tentang kegetiran hatinya melihat fenomena maraknya pengajian tapi tidak diikuti perubahan perilaku peserta pengajian, cover ini seolah mewakili gambaran pesimis dari sang penulis dalam memandang realita social, padahal menurut saya, Gus Mus adalah seorang kyai yang sangat optimis dan penuh pengharapan dalam memandang realitas masyarakat, contohnya dalam cerpen Gus Jakfar yang memandang bahwa seorang “pelacur” yang diistilahkan sebagai “orang-orang yang ada diwarung” pun bisa berubah menjadi baik (diistilahkan tidak pasti masuk neraka) jika Allah memang menghendakinya. (hal 11)

Buku ini berisi 17 kumpulan cerpen yang sebagian sudah pernah dimuat diberbagai media massa, seperti Gus Jakfar (Kompas), Kang Amin (Jawa Pos), Ngelmu Sigar Raga (Media Indonesia) dan sebagainya.
Sebelumnya Gus Mus lebih dikenal sebagai penulis buku-buku renungan seperti Mencari Bening Mata Air (Kompas, Jakarta); Canda Nabi & Tawa Sufi (Hikmah, Jakarta); Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung) dll.
Gus Mus juga telah menghasilkan 8 buku kumpulan puisi-puisi seperti Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta); Tadarus (Prima Pustaka, Yogyakarta); Gelap Berlapis-lapis (Fatma Press, Jakarta); Gandrung, Sajak-sajak Cinta (Al-Ibriz, Rembang) dan lain-lain.


Celesta, 24 Mei 2009


Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Superdad Yang Minus Talenta

19.37 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Treeva, si malaikat kecilku kembali berulah, kali ini hobinya mengidolakan orang2 yang hebat..
Suatu malam, sepulang papanya pulang kantor, dia langsung nanya.
Treeva : Papa bisa main sulap gak?
Papa : Nggak
Treeva : kok nggak sich, om joni aja jago main sulap.
Trus, papa bisa main game balapan sampai menang gak?
Papa : Nggak, papa gak jago main game, lebih sering kalah lawan komputer daripada menang hehehe…
Treeva : (dengan muka kecewa) yaaa, papa kok gak jago apa2 sich. Kalo gitu aku mau jadi anaknya om joni aja dech.
*(om joni adalah rekan kantor dan tetangga rumah yang baik, sehingga treeva sering main kerumahnya)

Hehehe, Aku selalu pengin tertawa ingat dialog itu.
Treeva selalu berharap papanya bisa sehebat orang lain atau tokoh super seperti di televisi. Ya gak mungkin lahhhh hehehe…

Padahal setiap orang kan berbeda talenta-nya, ada yang memang dikaruniai super talenta di suatu bidang, misal hebat bermusik sehingga bisa menghasilkan album yang bagus secara otodidak. Atau otak super seperti Albert Einstein, Leonardo Da Vinci dll.

Ada juga yang multi talenta, yaitu hebat diberbagai bidang secara merata, banyak orang yang hebat diberagam bidang, udah jago desain, jago IT, jago fotografi, jago musik dan jago2 lainnya dalam satu otak. Contoh kongkret adalah Tompi, seorang dokter bedah yang sukses juga sebagai penyanyi.

Ada yang standar talenta, kalo yang ini talentanya tidak terlalu menonjol dan untuk bisa menghasilkan karya hebat, harus belajar dan bekerja keras terlebih dahulu.

Yang paling repot adalah minus talenta seperti aku, main musik gak bisa, melukis jelek hasilnya, hobi badminton kalah terus, sampai bingung sebenarnya talenta apa yang aku miliki dan bisa dibangun sebagai sebuah karir.

Kalo diibaratkan sebuah negara, talenta adalah sumber daya alam yang dimilikinya. Indonesia adalah contoh sebuah negara yang multi talenta dengan melimpah ruah beragam sumber daya alam, ada migas di berbagai propinsi, ada panorama indah di berbagai pulau, tanah yang subur, keanekaragaman budaya tradisional, namun tidak mampu dikelola dengan baik, sehingga tidak bisa memberi manfaat bagi rakyatnya.

Contoh lain gimana manusia sering gagal mengelola talenta, terjadi pada kawanku zaman kuliah dulu. Ceritanya lucu, kawanku ini orangnya sangat cerdas, mudah menghapal n memahami teori. Ibarat kalo aku dan teman2 yang lain harus belajar ekstra keras minimal seminggu sebelum ujian, kawanku ini cukap semalaman baca buku dan hasilnya sering lebih baik dari kita. Suatu hari pas hari H ujian, seperti biasa aku datang lebih pagi, sekedar mencari tempat duduk yang strategis buat mencontek, lalu mengerjakan soal hingga berkeringat dan tidak peduli kanan kiri, pokoknya fokus mikir dan mengeluarkan segala daya majinasi untuk mengerjakan soal. Usai ujian, aku dan teman2ku tidak melihat sosok kawan jeniusku itu. Mungkin dia selesai duluan dan langsung pulang kali yaa..

Dan bergerak kita ramai2 ke kamar kosnya, sampai disana kawan jeniusku sedang santai menghirup secangkir kopi, menghisap rokok sambil memetik gitar. Spontan aku bertanya: “gimana ujiannya?. Dan dijawabnya dengan santai pula : “Aku bangun kesiangan bro, ya udah tak lanjutin tidur aja, wong udah telat.”
Hah, bener2 dech ini anak, kalo dia telat bangun tapi tetap ke kampus dan melobi dosen untuk ujian susulan atau sekedar minta bonus waktu, mungkin akan dikabulkan kok.
Kalo gini, terpaksa dech, semester depan dia harus ngulang kuliah lagi..

Zona nyaman yang dirasakan seseorang, terkadang membuat dia malas sekedar untuk melakukan sesuatu yang baru, karena merasa cukup dengan apa yang dimilikinya saat ini.

Saya jadi teringat sebuah pengakuan sangat bagus dari Andy F Noya, pembawa acara kick andy, saat dia memilih mundur dari jabatanya yang superduper nyaman sebagai seorang direktur perusahaan televisi berita nasional. Alasannya sangat sederhana, yaitu usai membaca sebuah buku “who move my cheese”, dia merenung dan tergoda untuk membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih besar sesuai talentanya, tanpa harus dibatasi oleh sebuah dinding bernama institusi. Sebuah obsesi yang berani, dan mungkin berat untuk dijalani, karena meninggalkan sebuah kusi yang sudah teroganisir dengan rapi.

Sebuah talenta, jika diaktualisasikan lewat hobi dan profesi yang sesuai akan menghasilkan karya yang dahsyat, karena dilakukan dengan sepenuh hati.
Namun seringkali dalam realita hidup, sebuah profesi berbeda jauh dengan talenta yang dimiliki. Banyak contoh, orang yang jago musik tapi kerjanya sebagai administrasi, atau orang yang hobi dan berbakat masak, tapi bekerja sebagai guru.

Untuk mengembangkan talenta dibutuhkan sebuah inovasi yang berani dan kerja keras.
Talenta adalah sebuah karunia, yang tidak dapat ditolak keberadaannya dan harus disyukuri sebagai nilai lebih.
Talenta yang hanya tersimpan untuk diri sendiri adalah sebuah kemubaziran, karena tidak dioptimalkan kemanfaatannya.

Seorang motivator mengatakan; cobalah kenali bakatmu, gali potensi dirimu, optimalkan talentamu dan juallah secara professional, maka hasilnya akan lebih dari bayanganmu.

Oprah Winfrey, seorang pembawa acara terkenal lewat program Oprah Winfrey Show telah sukses menjual talenta Charice Pempengco, seorang gadis kecil asal filipina bersuara emas, setelah menemukannya disitus youtube. Kini penyanyi kecil itu telah sukses konser satu panggung dengan penyanyi2 kelas dunia seperti Celine Dion, Andre Bocelli lewat tangan dingin produser David Foster.
Arsene Wenger, pelatih tim sepakbola Arsenal adalah pencari bakat yang sukses setelah menemukan striker handal Theo Walcott pada usia dini.

Di Indonesia, televisi2 sibuk menayangkan program2 pencarian bakat yang dikemas dalam beragam reality show, dibidang musik ada Indonesian idol, festival rock dll.
Lalu dibidang yang lebih umum ada program Pemilihan Putri Indonesia, Dai Cilik, The Gong Show, The Master dsb.

Kini diberbagai universitas ternama muncul banyak sekali sponsor beasiswa bagi mahasiswa brilian dengan berbagai kualifikasi. Perusahaan2 besar juga berbagi donasi memburu pelajar2 ber IQ tinggi agar kelak tertarik masuk dalam jajaran manajemennya.

Kurikulum pendidikan nasional kita yang kini dianggap kadaluarsa karena menyamakan talenta semua orang sama, sehingga mata pelajarannya bersifat lebih umum, kini mulai ditinggalkan dengan munculnya sekolah2 favorit yang secara khusus mengajarkan sesuai talenta siswa, yang hobi menari akan diperdalam bakatnya dengan tari balet, tari tradisional dll. Yang hobi lukis akan didatangkan pengajar les privat dari pelukis2 ternama. Yang hobi fisika disibukkan dengan praktek2 laboratorium dengan guru selevel dosen. Berbagai kurikulum luar negeri pun dipakai misal sekolah montesorry yang mengadopsi kurikulum di filipina, atau beragam sekolah standar internasional yang mengadopsi kurikulum di singapura.

Semua individu, sekolah, perusahaan kini bergerak mencoba mengenal dan mengasah talenta diri dan manusia sekitarnya.

Kembali ke Treeva, beberapa minggu terakhir ini ada sebuah produk sabun keluarga, yang mengiklankan peranan superdad di televisi. Wah, tugasku sebagai superdad yang minus talenta bakal semakin berat nich.
Treeva pun kembali bertanya, “Papa bisa seperti superdad di TV gak, yang bisa ngambil bola dikandang gajah, menang melawan pesumo dan berani menantang singa”.
Yang lagi2 kujawab: “gak mungkin sayaaaang, papa bukan manusia super, ntar kalo papa kalah dan dimakan singa gimana?? hehehe…”

Syukur kali ini dia udah lebih dewasa, jadi langsung berkomentar: “kalo papa gak bisa jadi superdad seperti di TV, papa jadi superdad dirumah aja dech. Tugasnya gampang kok, kalo mama ke kantor, papa yang nganterin. Trus kalo aku pengin beli majalah bobo atau pengin renang, papa juga yang nganterin. Gampang kan??”
Yang spontan saja kujawab : “ Kalo itu sih keciiiil, dijamin bisa dech.”

(btw, aku ini superdad atau tukang ojek yaaa???) hehehe…


Celesta, 19 Mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Bola-bola Hiperbola

19.25 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Saat ikut demo di depan gedung BI Surabaya beberapa hari lalu,, dalam rangka solidaritas untuk rekan wartawan sctv yang “tertanduk” satpam BI, ada beberapa hal yang menurut saya ngawur plus hiperbola..

Ngawur yang pertama adalah jumlah polisi yang berjaga2 ternyata hampir dua kali lipat jumlah wartawan yang berdemo. Berawal dari informasi yang memang ngawur dan guyon, saat koordinator wartawan ditelpon oleh pihak kepolisian, tentang jumlah wartawan yang akan berdemo, lalu dijawab secara bombastis dan sok serius sekitar 100 orang lebih. So, untuk menghindari hal2 yang tidak diinginkan, maka 2 peleton pasukan pun diturunkan. Padahal wartawan yang berdemo hanya sekitar 50 orang, akibatnya adalah susah membedakan mana demonstran dan mana polisi. Ditambah kedua kubu yang berhadapan sudah saling kenal dan biasa nongkrong bareng. Demonstrasi pun menjadi arena guyonan yang dipenuhi acting hiperbola hehehe…

Ngawur kedua adalah pada isi dari isyu yang sempat tergiring, yaitu wacana untuk menuntut agar Gubernur BI Boediono harus bertanggung jawab dan memberikan keterangan pers terkait kejadian tersebut. Lho, opo gak berlebihan iki?
Seandainya Pak Boediono harus turun ke polres dan jadi saksi untuk mempertanggungjawabkan hal2 sepele kayak gini, mungkin nilai tukar rupiah akan langsung turun drastis. Karena figure seorang gubernur BI adalah sangat sentral dan independen, serta tidak boleh terkait perkara kriminal. Kredibilitasnya sangat berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dan kepercayaan dunia internasional.
Akibatnya, negara bisa rugi milyaran rupiah kalo tuntutan wartawan itu dituruti.

Jangan2 besok ada wartawan kesenggol sapu office boy istana RI 1 dan terluka, lalu presidennya suruh bertanggungjawab. Wah, bisa bubaran negeri ini hehehe…

Ada cerita lucu dari cak rahmat, koresponden sctv Surabaya yang menggambarkan pandangan masyarakat terhadap hiperbola wartawan.
Saat berdemo, seorang polisi yang berjaga sempat ber-celetuk ala suroboyoan: “ yok opo wartawan iki, giliran ono sithok sing kesampluk, sak Indonesia raya krungu kabeh. Tapi giliran polisi pitu kesadhuk, tonggone barang gak ngerti.” Terjemahan bebasnya mungkin begini: “wartawan ini lho, giliran ada satu (wartawan) terluka (secara tidak sengaja), seluruh rakyat indonesia tahu. Tapi giliran ada 7 polisi terluka, tetangganya (polisi) pun nggak dengar beritanya.” hehehe…

Wajar kok sebagai wartawan punya solidaritas yang tinggi terhadap corps dan profesinya. Asalkan kemudian tidak terdorong untuk melakukan tindakan yang emosional dan irrasional. Karena sesuai teori peluru dalam komunikasi massa, informasi yang beredar akan diterima oleh otak komunikan, (terkadang) tanpa bisa disaring kebenarannya terlebih dulu. Keseimbangan informasi dan tidak berat sebelah harus menjadi catatan penting dalam penulisan berita.

Seorang kawan menuliskan comment yang sangat bagus pada note saya “arogansi yang menghancurkan diri” terdahulu, intinya dalam kasus “tandukan satpam BI” kesalahan tidak 100% berasal dari arogansi satpam BI, tapi juga arogansi wartawan yang tidak mau menyerahkan KTP sebagai identitas yang disyaratkan oleh aturan pengamanan BI. Artinya ada “Etika yang terlanggar” dalam kasus ini. Etika berkomunikasi dengan tuan rumah, etika menjadi tamu yang baik dan etika bersopan santun terhadap manusia lain, apapun profesinya.

Sering kita bersikap hiperketus terhadap orang yang kita anggap punya profesi lebih rendah dibanding kita seperti office boy, pembantu rumah tangga, satpam, tukang gado2 dll. Tapi disisi lain kita bersikap hipercarmuk (cari muka-red), hipersantun, hiperbasa-basi dihadapan orang yang berprofesi lebih tinggi dari kita, seperti pejabat, pengusaha, artis terkenal dll.

Kalo berkomunikasi didepan direktur, kita bisa hiperlembut, tapi kenapa kalo berbicara dengan anak buahnya level terbawah, kita jadi hiperketus yaa?
Padahal dimata Tuhan semuanya sama kok, yang beda cuman Taqwa nya aja…
(hehehe, gw udah kayak hiper ustadz belum yaa?)

So, biarkan bola-bola menggelinding seperti apa adanya, jangan biarkan menjadi hiperbola (lho, gak nyambung yaaa hehehe)


Celesta, 16 mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Arogansi yang menghancurkan diri

04.52 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Hari ini hamper semua status facebook kawan2ku diisi dengan ungkapan rasa prihatin disertai kutukan dan makian terhadap tragedy “tandukan” satpam Bank Indonesia terhadap reporter Liputan 6 SCTV, Carlos Pardede. Semua status FB hampir seragam, malah ada yang sama persis satu sama lain (mungkin copy paste kali yaa), ada juga berkreasi sendiri, tapi intinya sama.

Tidak ada yang salah, karena ini merupakan bentuk perlawanan terhadap sebuah kekerasan, apapun bentuk dan alasannya. Semua orang dari berbagai kalangan, entah wartawan atau non wartawan, boleh marah, memaki, atau teriak2 di fesbuk, asalkan tidak memukul. Karena kalo sampe terjadi pemukulan, resikonya berat, monitor atau keyboard computer anda bisa pecah hehehe…

Emosi dan arogansi adalah dua hal yang saling mendukung, orang yang cepat emosi biasanya arogan, dan orang yang arogan biasanya cepat emosi.
Saya tidak mau terjebak dalam sebuah teori konspirasi, bahwa kejadian di gedung Bank Indonesia adalah sebuah konspirasi untuk menjegal Pak Boediono menjadi Cawapres pak SBY. Minimal menjadi sebuah kampanye hitam, agar terkesan karyawan Bank Indonesia arogan2 misalnya. Wong, satpam yang notabene adalah karyawan dengan level terendah aja udah sombong, gimana direkturnya? Hehehe…

Saya yakin, adegan “tandukan” yang mirip Zinedine Zidane di piala dunia dulu, hanyalah sebuah bentuk emosi yang tak terkendali akibat arogansi diri yang sudah terlanjur tertanam di hati para satpam itu. Sebuah kekhilafan hati yang bisa berakibat hancurnya masa depan diri si pelaku.

Arogan atau sombong, merupakan suatu kondisi seseorang di mana ia merasa lain dari yang lain (dengan keadaan tersebut) sebagai pengaruh kebanggaan terhadap diri sendiri, yaitu dengan adanya anggapan atau perasaan, bahwa dirinya lebih tinggi dan besar daripada selainnya, sehingga meremehkan segala sesuatu, entah itu masalah yang dihadapi atau orang disekitarnya

Bersikap arogan bukanlah pelanggaran hukum, bukan pelanggaran hak azasi manusia, dan bukan perbuatan criminal. Sah2 saja kok orang merasa dirinya hebat, atau pamer kekuatan didepan umum, asalkan tidak melakukan tindak kekerasan. Tapi kalo udah sampai criminal, itu jelas melanggar hak asasi, jadi layak dimusnahkan dari bumi pertiwi hehehe…

Menurut saya, satpam BI yang sampai bertindak keterlaluan “menanduk” kawan saya carlos, pasti tidak berpikir bahwa akibat tindakan spontanitasnya itu, masa depannya menjadi suram. Resiko dipenjara dalam kasus penganiayaan, trus pemecatan sebagai karyawan bias jadi tak bias dihindari. Apalagi isyu ini melibatkan media massa yang secara kompak mengutuknya. So, hampir pasti pak kapolres, pak jaksa dan pak hakim tidak berani main2. Ditambah lagi, BI sedang menciptakan image yang baik bagi pak Boediono, sudah sewajarnya mereka akan meng “ikhlas” kan karyawannya yang salah untuk dihukum.

Arogansi memang memancing emosi, dan menutup hati nurani. Kalo satpam tidak arogan, pasti akan bertanya baik2, trus menceritakan prosedur BI untuk wawancara dan sebagainya. Wong, hampir setiap hari wartawan pasti berkeliaran di gedung BI kok, kenapa harus pakai emosi. Biasa aja lagi hehehe…

Mungkin ini pelajaran terbaik baik semua orang, bahwa arogansi yang memancing emosi ternyata bisa merusak diri sendiri. Bang Carlos mungkin lukanya bisa sembuh dalam beberapa hari kedepan, tapi luka si satpam yang arogan tadi bisa berbulan2 bahkan bertahun tahun baru sembuh.
Luka pertama adalah ancaman bui,
luka kedua adalah pemecatan BI,
luka ketiga adalah hilangnya nama baik dan susah mencari kerja lagi,
luka berikutnya adalah luka anak istri, yang tak dapat dihidupi.

So, kalo emang tidak hebat, kenapa harus arogan?? Biasa aja kaliii….

Darmo Permai, 13 Mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Ada Waktu Ritual dan Ada Waktu Nakal

22.27 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Kalo inget masa2 indah jaman kuliah di yogya dulu, gw sering tersenyum sendiri, moment yang selalu teringat adalah gimana kita satu gang BC 13 (Broadcasting UGM 94-red), ngakalin hati dan logika agar bisa selalu berjalan beriringan, menyelaraskan kenakalan dengan ritual, sehingga bisa bandel tanpa terlalu merasa bersalah.

Salahsatu rutinitas tiap malam minggu adalah kongkow2 para jomblo sambil dikit2 “penerbangan”, yang menarik adalah waktu “take off” harus diatas jam 7 malam, atau setelah sholat isya. Sang pilot memutuskan jam tersebut demi menghormati anggotanya yang rajin beribadah, karena ada larangan agama untuk sholat dalam kondisi “terbang”. Yap, dan aturan tersebut disepakati dan ditaati oleh seluruh anggota gang.
So, konsep STMJ (sholat terus maksiat jalan) bisa lancar berjalan hehehe…
Abis beribadah terus nakal dan abis nakal sholat lagi hehehe…

Pengaturan jadwal antara kemaksiatan dan ritual ternyata juga terjadi di kawasan Dolly. Pemerintah Kota Surabaya menetapkan larangan pembukaan prostitusi Dolly selama bulan ramadhan, jadi dalam 1 tahun, ada masa jeda waktu 1 bulan kemaksiatan. Ada waktu untuk insyaf dan bertobat. Demikian pula, kegiatan malam dalam keseharian di kawasan itu, biasanya dimulai usai berakhirnya ritual agama di masjid At taubah, yang terletak tepat di jantung kawasan ramai itu.

Pada hari2 biasa masjid At Taubah lebih banyak dipergunakan untuk sholat berjamaah saja, dan sedikit sekali untuk kegiatan pengajian, taddarusan dll. Sedangkan pada bulan ramadhan, baru kegiatan keagamaan seperti sholat tarawih, tilawatil quran, TPA marak dilakukan.

Menilik sejarahnya, Masjid At-Taubah ini dibangun pada 1989 di atas tanah wakaf seorang muncikari yang insaf. Surip, muncikari itu, terpaksa memberikan tanahnya karena anaknya sakit. Ia telah membawa si anak berobat ke mana-mana dengan hasil nol besar. Perubahan baru terjadi setelah seorang kiai menasihatinya agar membangun masjid atau musala.

Hingga kini masjid megah itu masih tegak berdiri, menjadi oase bagi manusia yang penuh maksiat agar teringat Tuhannya. Laksana nyala lilin di tengah kegelapan hutan yang pekat, walau hanya secercah namun bisa menjadi pengingat bahwa Tuhan masih ada dan akan selalu ada.

Ya, masjid At Taubah juga menjadi sarana belajar bagi anak2 mucikari dan PSK agar tetap mengenal Tuhan dan agama. Setiap orang pasti berharap agar anak2nya kelak menjadi yang terbaik, tidak seperti mereka. Karenanya harapan akan terputusnya kemaksiatan sebuah generasi pasti ada. Selalu ada asa berakhirnya periode kemaksiatan dalam keluarga, dan digantikan periode keemasan pada anak2nya.

Mungkin saat ini, gema adzan yang berkumandang, akan bergantian dengan hingar bingar musik disko yang memekakkan telinga. Agama dan prostitusi memang selalu hidup berdampingan, bahkan menurut sejarah, prostitusi hadir lebih dulu dibanding agama. yap, karena agama datang untuk mengurangi prostitusi. Dan selama itu ada, kehidupan manusia akan tetap berjalan beriringan.

Sebuah tempat peribadatan seperti masjid, pasti punya aura magis tersendiri bagi pemeluknya. Karena disitulah, segala kelemahan jiwa terasa, dan semua kebesaran Tuhan memancar dalam doa.
Masjid Istiqlal, Sunda Kelapa, Cut Mutia, dan beragam masjid agung di berbagai kota pernah ku coba, dan semuanya punya aura khas masing2.

Jadi penasaran juga nich, seperti apa aura khas masjid At Taubah hehehe…


Darmo Permai, 9 Mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

(Ternyata) Ada Lagu Qasidah Di Dolly...

21.43 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Beberapa hari lalu, seperi biasa abis sholat maghrib gw pulang dari biro surabaya menuju hotel santika
kali ini gw pulang bareng mas yuda, salah satu karyawan kantor yang baik hati jadi volunteer nunjukin jalan alternatif, dari jalan girilaya yang memanjang di kawasan dolly, kita berbelok masuk ke gang banyu urip yang merupakan salah satu gang yang berisi rumah2 intim (walau bukan gang utama kata temanku)...

Sebelumnya sepanjang girilaya, keramaian musik2 house, disko regge dan disko dangdut terasa memekakkan telinga dalam kemacetan jalanan, pertanda dimulainya kehidupan malam dikawasan itu. Namun saat memasuki gang banyu urip yang relatif sepi, dan lebih banyak berisi perumahan warga, terdengar alusan musik yang mendayu-dayu dan terasa berbeda. musik khas timur tengah terdengar menggema, suara rebana yang menjadi instrumen resmi lagu qosidah mengalun dalam ritme cepat.

Lalu di teras rumah warga terlihat puluhan laki2 berpeci dan berbaju koko tampak asyik bercengkerama usai mengaji, juga beberapa wanita dalam bingkaian baju muslim yang rapat. Tak lama kemudian mereka berjalan keluar rumah dan menyusuri jalan banyu urip, yang dibeberapa titik tampak wanita berdandan seksi, dengan rok mini dan tank top sedang menunggu pelanggannya. Sebuah pemandangan yang kontras, antar dua kelompok itu tidak ada yang saling menyapa, mungkin juga karena tidak saling kenal. Namun juga tidak ada yang saling berbisik, mengggosip atau menghina. Semua berjalan seperti biasa dan tidak saling terganggu.

Sebuah toleransi yang sangat tinggi, dimana masing2 manusia saling menyadari kelemahan dirinya dan tidak saling menyerang. Yang agamis mungkin berpikir mereka lemah dihadapan Tuhan karena tidak mampu mengangkat harkat dan martabat saudari2nya sehingga tidak terjerumus dalam nista. Yang seksi juga berpikir bahwa mereka tak dapat mengikuti ritual agamanya sendiri, seperti sang agamis, (mungkin) karena faktor ekonomi.

Toleransi secara etimologis berasal dari kata tolerare yang berarti 'menanggung' atau 'membiarkan'. Toleransi dapat mempunyai warna etis-sosial, religius, politis dan yuridis serta filosofis maupun teologis. Secara kasar toleransi menunjuk pada sikap membiarkan perbedaan pendapat dan perbedaan melaksanakan pendapat untuk beberapa lapisan hidup dalam satu komunitas. Pada umumnya arah pemahaman toleransi mencakup pendirian mengenai membiarkan berlakunya keyakinan atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai pada level religius, sosial, etika politis, filosofis maupun tindakan-tindakan yang selaras dengan keyakinan tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu masyarakat atau komunita.

Kamus Oxford menegaskan bahwa toleransi adalah kemampuan untuk menenggang rasa atas keyakinan dan tindakan orang lain dan membiarkan mereka melakukannya. Kamus tersebut juga menggambarkan toleransi sebagai "kemampuan untuk menanggung penderitaan atau rasa sakit".

Yap, Kalo mengikuti kamus oxford, toleransi juga berarti kepeduliaan.
Toleransi terendah adalah membiarkan dengan tidak menggangu, tapi juga tidak peduli.
Toleransi tertinggi adalah kepedulian itu sendiri..
Seandainya ada tetangga yang sakit, kita membezuk dan membantu
Jika ada warga yang miskin, kita bersedekah
Dan seterusnya, dari hal2 terkecil yang kita mampu dan ikhlas
Jika orang lain menderita, kita ikut merasakan penderitaannya
Jika orang lain sakit, kita ikut berempati terhadap sakitnya


Ah, begitu indahnya toleransi.
Namun di area lain, toleransi ala dolly, sering tidak terjadi.
Sering satu kubu (mengaku agamis) menghakimi kelompok yang lain yang dianggap sebagai perusak moral, lalu malah tambah merusak dengan cara menyerang bangunan fisik milik orang itu ( aneh kan, wong yang rusak moralnya kok, yang dirusak gedungnya atau fisik orang, harusnya kan dengan memperbaiki moralnya).
Terus kubu yang diserang akan balas menyatakan bahwa kubu penyerang munafik, karena anggota2nya juga banyak yang "dilayani" hehehe...

Nabi idolaku, Muhammad SAW dalam sebuah hadits menyatakan iman itu fluktuatif, bisa naik turun dan bahkan sirna. Artinya orang beriman bisa saja berubah menjadi kafir. Sebaliknya orang kafir suatu saat bisa kembali beriman bila Tuhan memberinya hidayat. Karenanya realitas yang ‘kafir’ di luar sana adalah misteri. Demikian halnya maksiat tidak selamanya permanen. Selalu saja ada ruang pertobatan.
Menyikapinya secara a-priori adalah kurang bijak.

Tuhan lah yang Maha Tahu dan kuasa membuat seseorang beriman atau bertobat.
Tuhan yang membiarkan seseorang menjadi kafir atau membuatnya menjadi beriman.
Adalah di luar kuasa manusia membuat seorang hamba beriman, apalagi dengan paksaan atau kekerasan.
Ini adalah sikap keimanan yang tidak toleran.

Seseorang yang tadinya beriman, bisa jadi tergoda untuk menjadi kafir duniawi
Juga seseorang yang kafir, juga ada harapan untuk menjadi beriman surgawi
So, yang merasa beriman dan (terkadang) merasa kafir, bertoleransilah
Karena kita bisa menjadi kedua2nya hehehe...

(sebagian sumber data dari dunia maya)

Darmo Permai, 9 Mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Hedonisme (terkadang) membawa bencana...

17.28 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

studio lagi, studio lagi hehehe...
sambil "nyetir bajaj" siaran studio pagi hari ini, kulirik layar monitor sambil nonton berita yang tayang, seperti biasa kasus antasari masih menjadi lead nya, disusul flu babi dan seterusnya... sedangkan segmen lokal jawa timur masih mengangkat penggusuran stren kali jagir, kisruh bank centuri, namun ada berita kriminal kecil yang cukup menarik perhatianku.. berita dari jombang ini berisi kasus pembunuhan seorang PSK oleh pelanggannya, disebuah kamar prostitusi usai mereka saling melakukan transaksi...

lho kok bisa yaa, bukankah mereka habis bersenang-senang, kok bisa langsung ada adegan pembunuhan, menurut keterangan polisi yang langsung bisa meringkus tersangka di TKP usai diserahkan warga, motifnya amat sangat sederhana, yaitu gara2 si PSK meminta uang lebih, maka pelanggan marah dan langsung menusuknya dikamar tersebut pake pisau dapur. sesederhana itukah?

kalo kejadian tersebut melibatkan orang besar seperti pejabat negara, pengusaha dsb, mungkin kita akan berpikir ada sebuah konspirasi. namun karena melibatkan rakyat jelata, yang menurut pandangan saya saat melihat visual tersangka, biasa saja dan bukan orang kaya, maka hampir pasti ini kasus kriminal biasa. yak, karena tersangka langsung ditangkap warga sekitar.

kok bisa yaa, orang yang tidak kaya, usia juga udah tua (dari visual wajah tersangka), tetap nekat memakai jasa PSK, sementara mungkin uangnya pas-pasan. bukankah kalo tidak punya harta, sebaiknya menahan diri untuk tidak "bertransaksi". jika dia tidak datang, mungkin akhir kejadiannya tidak akan seperti itu. pun kita berandai-andai, kenapa juga si korban meminta uang lebih seusai bertransaksi, keinginan yang mungkin tidak bisa dikabulkan oleh tersangka, sehingga berakibat hilangnya nyawa. seandainya korban tidak meminta uang lebih, mungkin juga tersangka tidak akan marah dan menghabisinya. uang adalah sebuah bentuk kesenangan yang lain, disamping seks dan berbagai kesenangan dunia yang lain. mungkin asal muasal atas tindak pidana itu hanya satu, yaitu hedonisme, atau pandangan bahwa kesenangan adalah sebuah tujuan utama.

menurut wikipedia, Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."

orang yang berpikir hedonis cenderung egois untuk dirinya sendiri, dialah yang utama, sehingga melupakan tanggungjawabnya.. banyak kasus lain, yang lebih sederhana tentang perilaku hedonis yang berakhir pembunuhan secara tidak langsung terhadap keluarganya, contoh yang paling sederhana adalah merokok oleh orang miskin, betul, merokok adalah hak asasi, karena saya dulu adalah perokok, tapi orang miskin yang memaksakan sebagian hartanya untuk kenikmatan gumpalan asap adalah hal berbeda.

contoh kasus adalah kematian balita akibat gizi buruk, karena kemiskinan. usut punya usut sebenarnya kemiskinan itu bukanlah kemiskinan absolut, dalam artian benar2 ortu tidak punya penghasilan cukup, tapi ini kemiskinan hedonis, karena sang ayah lebih memilih menghabiskan uangnya untuk membeli rokok untuk kesenangannya daripada membelikan susu dan makanan bayi untuk anaknya. dengan perhitungan harga 1 bungkus rokok adalah 10 rb dan 1 hari 1 bungkus, maka selama 30 hari uang rokok adalah 300 rb, cukup untuk membeli susu murah di puskesmas mungkin.

maaf, saya menulis ini bukan untuk menghakimi orang miskin, tapi menghakimi orang yang terkadang tidak sadar bahwa kesenangannya ternyata membawa konsekuensi tersendiri, yang bisa jadi akibatnya tidak pernah dia prediksi. menjadi pembunuh bagi orang lain dan keluarganya sendiri...

kalo mau hedonis, sesuaikanlah dengan kemampuan diri hehehe...

Pun, jika ternyata dalam kasus pembunuhan Nasrudin yang menghebohkan itu, benar2 terbukti bahwa pak antasari membunuh karena motif asmara, atau sebaliknya ada fakta bahwa nasrudin mempergunakan rani untuk memeras pak antasari, itu juga sebuah contoh hedonisme berlebihan yang berakibat bencana, bagi korban dan tersangkanya, yang terjadi pada orang kaya...

tapi hedonis emang enak dan tidak mengenal kasta hehehe...


Darmo permai, 7 mei 2009

Dwi Firmansyah

http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

"Aku gentle kan, makanya berani datang..."

03.51 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

"Saya gentle kan, makanya berani datang..."

arrrhhhhggg, bener2 gak tau diri dech ini orang...
gak biasanya aku langsung emosi liat omongan orang lain, yang gak kukenal, gak pernah liat sebelumnya, bahkan baru tadi ketemu... mungkin gara2 terbawa suasana juga kalee yaa, atau mungkin gara2 disebelahku wanita hamil, jadi aku bertoleransi untuk gantian mual hehehe...

Ceritanya siang tadi, selasa 5 mei 2009, aku dan mbak Dian Ardianti, reporter biro surabaya yang lagi hamil besar, dapat ploting liputan ke DPRD II surabaya, terkait kasus penggusuran di stren Kali Jagir, Wonokromo, Surabaya. Dengar pendapat antara anggota komisi C, pemkot surabaya dan warga korban gusuran, yang harusnya berlangsung panas dan penuh solusi, ternyata sangat mubazir.

iyaa, gimana gak mubazir? untuk kasus sebesar itu, yang mengorbankan ratusan rakyat kecil, ternyata hanya dihadiri oleh 3 anggota DPRD II yang pintar berorasi, 4 pemkot surabaya yang tidak punya kompetensi dan wewenang, dan puluhan warga yang histeris..

Sidang diawali orasi anggota DPRD II, yang seperti biasanya, hebat dalam mengumbar kata2, sok kritis mengurai pertanyaan, pandai menarik simpati dan sok berani menunjuk pimpinan eksekutif dianggap bersalah tp tidak datang (kalo pak walikota hadir, dia masih berani teriak2 kayak gitu gak yaaa? hehehe).. Namun hasilnya nol besar, hanya pengulangan orasi hari2 sebelumnya, tetap tanpa hasil)..

Pertanyaan "kritis" anggota dewan yang terhormat, sekali lagi untuk kasus penggusuran sebesar itu, ternyata hanya dijawab oleh PNS pemkot yang datang mewakili pejabat pemerintahan, dengan nada datar, sok tidak memahami kasus yang terjadi, lempar tanggung jawab bahwa bukan wewenang mereka untuk menjawab, dan lagak yang sok berempati.

Hah, terus kalo mereka hanya "pion" yang mewakili pemerintah dan tidak punya wewenang, kenapa harus datang. tidakkah mereka berpikir bahwa rakyat butuh keputusan yang tepat dan cepat untuk segera menyelesaikan kasus ini, minimal sebelum bego-bego yang kini berada di stren Kali Jagir, meluluh-lantakkan rumah2 warga tersebut.

Hei, tidakkah mereka berpikir, bahwa penggusuran tersebut masih bermasalah, karena warga tidak diberi kesempatan melawan secara hukum negara, dan tidak ada sosialisasi sebelumnya, sehingga warga tidak tahu lagi kemana harus pindah. Serta anak2 sekolah yang harus rela terbengong2 menyaksikan sekolah dan rumah mereka dihancurkan untuk sesuatu yang tidak mereka pahami.

Huh, tidakkah mereka punya nurani, sekedar untuk berempati mempercepat penyelesaian solusi, bukan hanya datang untuk merusak sebuah "sidang" yang diharapkan menemukan titik-temu oleh rakyat kecil.
Tidakkah kebodohan mereka (entah pura2 bodoh, atau bodoh beneran saat menjawab pertanyaan) justru merusak asa dan harapan warga yang menggantungkan masa depannya pada kebijakan pemerintah daerahnya.

Dan emosiku mencapai titik puncaknya, saat usai rapat yang tanpa hasil dan mubazir ini..
seorang PNS pemkot yang datang mewakili atasannya itu, berceletuk sambil bergurau kepada warga, "saya gentle kan, makanya berani datang ke sidang ini..."

arrrrrrgggghhhhh, dasar tak tahu diri..
Tidakkah dia sadar diri, bahwa dia tuch bukan datang karena gentle dan berani, dia tuch datang karena "takut" atasan akan memecatnya jika tidak datang mewakilinya..
Tidakkah dia tahu diri, bahwa dia tuch hanya "pion" yang tunduk diketek bos, pion yang tanpa ide dan hanya berani ngomong "baik pak! saya akan datang" asalkan jabatannya aman.

Coba anda lihat foto ini (sumber :www.detikfoto.com)





Menurut anda, layak kah, saya dan mungkin juga anda untuk marah???

Darmo Permai, 5 Mei 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Dolly dan Keceriaan Peradaban Manusia

06.49 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Setiap hari, selama BKO di biro Surabaya, jalurku ke kantor selalu melewati rute yang sama, Hotel Santika – Dolly – Darmo. Yang pertama dan terakhir tidak usah dibahas, karena pasti tidak akan menarik bukan? Hehehe…

Sedangkan rute tengah, adalah jalur yang penuh keceriaan. Disebut ceria, karena berisi manusia-manusia yang sedang berusaha membahagiakan dirinya sendiri, dengan wajah yang ceria asli dan ceria palsu. Para lelaki yang baru datang pastinya hadir dengan wajah yang ceria asli dan berseri2, karena sedang membayangkan sebuah keindahan yang akan dinikmatinya. Sedangkan para wanita yang menunggu, berusaha menampilkan acting wajah yang sok ceria dan menggoda (walau mungkin hati cemberut hehehe), karena lelaki ceria akan memilih wanita ceria, untuk menambah keceriaan hatinya.

Tetapi kondisi mungkin akan sedikit berubah, saat para lelaki beranjak meninggalkan lokasi, keceriaan wajahnya sedikit berkurang seiring menipisnya harta kekayaan dan kembali memikirkan bagaimana harus menghidupi keluarganya. Sedangkan para wanita akan sedikit bertambah senyum ceria, karena terlepas dari siksaan dan dapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mungkin juga keluarganya.

Dolly adalah nama seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina, Dolly Khavit, yang pada tahun 1967, mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang Timur I. Lantaran dianggap sebagai perintis, Dolly kemudian diabadikan sebagai nama daerah itu. Dari hanya beberapa wisma, Dolly lantas berkembang menjadi kawasan pelacuran yang ramai tahun 1980-an.

Sejarah Dolly hanyalah salahsatu sejarah tentang perkembangan prostitusi di dunia, sejarah yang hadir sejak munculnya awal peradaban manusia. Dolly adalah pelarian, pencarian dan penghidupan bagi manusia itu sendiri. Dia ada karena dibutuhkan dan dia dibutuhkan maka dia ada. Dolly adalah wujud toleransi sifat manusia yang paling tinggi, dia hadir diantara kepungan masjid, dimana ritual keagamaan hadir bersamaan dengan kemaksiatan.

Sejarah prostitusi hadir karena dunia dikendalikan laki-laki, berbagai sejarah mencatat bahwa awal mula prostitusi adalah perbudakan dan praktek pergundikan. Praktek pengambilan gundik ini kemudian menjadi cikal bakal perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual.

“Di kerajaan jawa misalnya perempuan pada zaman dulu acapkali dijadikan upeti kepada para bangsawan, baik sebagai upeti kalah perang atau agar memperoleh jabatan tertentu di istana. Tidak heran jika raja memiliki ratusan gundik.
Di Bali Raja berhak menikmati layanan seks dari janda yang berkasta rendah. Bila raja tak ingin memasukkan janda tersebut dalam rumah tangganya, ia mungkin akan dikirim untuk bekerja sebagi pekerja seks yang gajinya sebagian dikirimkan kepada raja. (Sulistyaningsih:2002-3; Hull 1999) Hal ini menunjukkan bahwa perempuan tidak ubahnya seperti barang yang bisa dipertukarkan atau dihadiahkan dan tidak memiliki kebebasan atas dirinya. Akibatnya, perempuan telah mengalami sejarah panjang diskriminasi dan kekerasan, karena dia adalah perempuan.” (sumber:internet)

Ini berarti prostitusi wanita akan selalu ada dimana laki-laki masih berjaya sebagai pemimpin dunia. Tapi menurut hitungan matematis sebenarnya keberadaan prostitusi tidak logis. Berdasarkan prosentase jumlah penduduk didunia, jumlah wanita adalah 3 kali lipat jumlah pria, menurut hitungan saya, logikanya 1 pria bisa melayani 3 wanita, tapi kok terbalik yaa, ini 1 wanita malah bisa melayani lebih dari 10 pria, trus kalo para wanita kemaruk gini, temen2nya gak kebagian dong hehehe…

Ada agama menghalalkan praktek poligami, yang berarti seorang laki-laki boleh menikah dengan lebih dari 1 wanita, namun harus ada unsur keadilan didalamnya, syarat inilah yang sering dikesampingkan oleh para pria egois, sehingga hanya setuju menjalankan fiqh nya, tapi tidak mau mengerjakan esensi dari aturan tersebut.

Disisi lain, aturan agama sering disalahgunakan untuk menghalalkan praktek prostitusi, yaitu via kawin kontrak, ada penghulu sebagai hakim, ada saksi-saksi, bahkan sering yang menjadi saksi pengantin wanita adalah orangtuanya sendiri. Trend jual beli anak secara "halal" kalee yeee hehehe...

Trend seperti ini ternyata muncul dalam beragam versi diberbagai daerah, di beberapa desa dikawasan Indramayu misalnya, sebuah praktek prostitusi bisa dilakukan dirumah sendiri, dikamar yang berdampingan dengan sang ortu, dan tukang ojek sebagai marketingnya.

Tapi dewasa ini banyak alasan seseorang terjun ke dunia prostitusi yang agak mengada-ada, tp ini guyonan aja yaa, saya gak percaya kalo penyebab utama banyaknya prostitusi adalah kemiskinan, kok bisa? kalo emang kemiskinan yang menjadi penyebabnya, seharusnya banyak juga muncul lokasi "prostituso" alias prostitusi cowok, kan yang miskin bukan hanya perempuan, laki2 juga banyak yang kere kok, buktinya banyak cowok2 patah hati gara2 wanita idolanya gak mau kawin ama pria yang belum mapan hehehe...

Trus saya juga gak percaya, kalau kebodohan juga menjadi faktor penyebab..buktinya kan sekarang sekolah gratis, dan di indonesia hak perempuan untuk berpendidikan sejajar dengan laki-laki. Lagian prostitusi termahal saat ini malah didominasi kalangan mahasiswi dan pelajar SMP/SMA yang cerdas-cerdas.

Nah, kalo yang ini alasannya terlalu dibuat2, ada wanita yang terjun ke prostitusi gara2 dendam sama laki2 yang merenggut kegadisannya, lho kok enak? Kegadisan wanita terenggut hanya satu kali, yaitu saat pertama kali, lho kok malah balas dendamnya berkali-kali dengan banyak pria lagi. apakah dengan membalas dendam, kegadisannya akan kembali? gak mungkin kalee hehehe... bukannya mending dia balas dendam dengan cara ngakalin calon suaminya, pura2 karena jatuh dari sepeda kek atau jujur sambil agak2 akting menghiba2 bahwa saat itu dia khilaf, kalo emang cinta pasti akan nerima kok, asal kebelakang hari tetap setia... (ngajarin yang gak bener yaa hehehe)

Lalu apa dong penyebabnya? kayaknya sich complicated; karena ada unsur kesenangan duniawi, kemudahan mencari uang, kepuasan membalas dendam, atau alasan yang agak heroik, kebahagian bisa membantu keluarga, kelancaran membayar SPP kuliah, biaya pengobatan anak atau ortu dan beragam faktor yang bersifat pribadi.

Kalo melihat fenomena yang udah semakin ceria dan semarak gini, adalah sikap yang naif dan 'absurd' untuk menghapuskan prostitusi, biarlah dia berjalan sesuai kodratnya, toh tiap manusia punya pilihan yang terbaik untuk hidupnya sendiri. Agama hanya membuat aturan moral, dan UU hanya membuat aturan hukum, tapi manusia lah yang akan menjalaninya, karena kebahagiaanya hanya dirinya yang berhak menentukan.

Mampir gak yaaaa?
Astaghfirullah, Ya Allah, kuatkan hatiku agar tidak tergoda


Darmo Permai, 3 Mei 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label:

Jangan Ada Sinis Diantara Kita

02.08 / Diposting oleh Phyrman / komentar (0)

Jumat pagi, 1 mei 2009, bertepatan hari buruh sedunia dan hari pertama berlaku efektif kabinet baru di Liputan 6. Ruang studio kami kehadiran narasumber dialog yaitu juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri, Dino Patti Jalal, dengan tema dialog Penghargaan Majalah Time kepada presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di atas bumi ini. Sesuai dengan nomor keramatnya, kali ini SBY pun dapat peringkat ke 9, untuk kategori “Pemimpin dan Tokoh Revolusioner”, Time memilih 20 orang tokoh. Selain SBY, tokoh lain yang masuk kategori ini antara lain Edward Kennedy, Gordon Brown, Christine Lagarde, Thomas Dart, Avigdor Lieberman, Joaquin Guzman, Nouri al-Maliki, dan Hillary Clinton. Tentunya ini kabar ini juga menggembirakan bagi rakyat Indonesia, karena kualitas dan kapasitas presidennya ternyata diakui juga oleh negara lain.

SCTV mengangkat tema ini, tentunya terkait sempat munculnya rumor bahwa nama SBY sempat menghilang dari daftar 100 tokoh berpengaruh versi Time, padahal sebelumnya sudah diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Bahkan Dino Patti Jalal pun sempat mengatakan, jika informasi yang dia dapat salah, maka akan mengundurkan diri.
Wuih, sikap yang sangat gentle menurut saya. Karena jarang ada pejabat di Indonesia yang berani bersikap seperti itu jika salah ucap. Biasanya mereka akan bilang “saya tidak pernah mengatakan seperti itu kok, wartawan aja yang salah menafsirkannya”, padahal jelas2 wartawan punya rekaman suaranya hehehe…
Ada, tiada dan kembali ada, syukurlah akhirnya Time jadi memasukkan SBY pada 100 tokoh paling berpengaruh, sehingga mas Dino pun batal mundur.

Dialog antara presenter David Silahoij dengan Dino Patti Jalal berlangsung datar saja, karena memang suasana yang terbangun pun santai dan gembira. Maklum masih dalam eforia kemenangan hehehe… Dalam diskusi itu ada satu pernyataan Mas Dino yang menurut saya agak menarik untuk dijadikan bahan renungan,” bahwa masyarakat kita cenderung sinis terhadap kesuksesan yang didapat oleh bangsanya sendiri, sehingga terkesan mengabaikan keberhasilan itu sendiri”.

Benarkah karakter kita, termasuk saya tentunya, seperti itu? Ketika bangsa lain memberi penghargaan, rakyat sendiri malah cenderung cuek dan meremehkan. Atau jangan2 kita termasuk karakter minder, sehingga lebih menghargai Obama yang berada nun jauh disana, daripada kesuksesan salahsatu warga negeri sendiri.

Arti sinis lebih berarah negative (ketidak sukaan seseorang akan sesuatu) dan biasanya seperti rasa sentimen,dan mengandung subjektifitas yang tinggi. Sinis juga berarti: bersifat mengejek atau memandang rendah; tidak melihat suatu kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yg ada pada sesuatu. Sinis adalah karakter yang iri, sehingga lebih bahagia jika melihat teman gagal daripada sukses, kebanggaan diri yang terlalu berlebihan, narsis, berpikir meremehkan orang lain dan menganggap rendah prestasi yang didapat teman lain, padahal belum tentu mampu melakukannya. Karakter seperti ini biasanya NATO alias No Action Talk Only.

Sinis ada disekitar kita. Di kantor, kita sering sinis pada atasan sampai owner, kita sering berpikir bahwa pekerjaan bos enak banget yaa, cuman duduk2 doang dapat gaji gede, padahal kita tidak melihat bagaimana perjuangan atasan kita untuk meraih posisinya tersebut. Atau sinis liat teman2 progsus SIGI yang tiap minggu dapat SPJ, tapi giliran kita disuruh investigasi kasus pembalakan hutan, kaki udah gemeter ketakutan hehehe… Atau sinis sama owner gara2 bonus gak keluar, tapi giliran kita dipersilahkan keluar dari perusahaan, kita langsung tertunduk diam.

Disekolah, kita liat rasa sinis dimulai dari usia muda, saat ada teman yang dapat nilai bagus, kita bilang dia nyontek, padahal kita sendiri yang udah nyontek dan dapat nilai jelek. Atau teman yang terpilih jadi ketua OSIS, trus dituduh gara2 sering carmuk ama guru. Atau ada teman2 yang sukses manggung teater, kita anggap orang yang aneh, sok seniman dan kurang kerjaan.

Banyak sekali ucapan / tindakan bernada sinis, yang bertujuan untuk mendiskreditkan prestasi orang lain, dengan tujuan agar kita dianggap hebat, padahal belum melakukan apa-apa. Sikap sinis kerapkali merusak suasana baik yang sudah terbangun, misalnya dalam diskusi yang hangat kita akan tergoda mencari kesalahan2 lawan debat yang bersifat pribadi daripada mengapresiasi pemikirannya. Atau dalam ruang demokrasi, parpol cenderung menyerang kehidupan tokoh dari pada program-program partainya.

Sinis bersifat lebih destruktif ketimbang konstruktif. Sinis akan menghasilkan manusia yang rela bertempur dan terluka, tanpa tahu tujuan pertempuran itu sendiri dan tanpa ada manfaat yang didapat.

Trus gimana cara menghilangkan sinis? Gampang kok, kuncinya cuman satu yaitu ikhlas.
Kalo dikantor, bekerjalah dengan ikhlas, jangan mengeluh.
Kalo disekolah, belajarlah dengan ikhlas, jangan menyontek.
Kalo diruang diskusi, berdebatlah dengan ikhlas, apresiasi pemikiran lawan.
Kalo dipolitik, bersainglah dengan ikhlas, adu program terbaik, kalah menang biasa.
Kalo dikehidupan dunia, jalanilah hidup dengan ikhlas, siapa tahu masuk surga hehehe…

Alangkah indahnya Indonesia, jika masyarakatnya bersikap anti sinis
Dikantor, kita mengagumi kinerja rekan seprofesi, sehingga terpacu memberi hasil lebih
Disekolah, kita terpesona melihat nilai ranking 1, sehingga terpola belajar lebih keras
Diruang diskusi, kita mengapresiasi pemikiran lawan, sehingga muncul ide yang brilian
Dipolitik, oposisi mempelajari program pemerintah, sehingga terpikir program efektif
Dikehidupan dunia, kita saling menyayangi, sehingga bisa saling berkolaborasi

Jangan ada sinis diantara kita…

Celesta, 1 Mei 2009

Dwi Firmansyah
http://ruangstudio.blogspot.com

Label: